-->

Sistem Kapitalisme Lahirkan Bencana Sumatra


Oleh : Zunairoh

Tak lama bencana tanah longsor menimpa Kabupaten Cilacap dan Banjarnegara, kini kembali terjadi bencana longsor dahsyat hingga banjir bandang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam situs resminya mencatat korban tewas dalam bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bertambah menjadi 810 jiwa, korban hilang 612 orang. (CNN Indonesia, 3/12/2025) Selain itu, puluhan warga terpaksa mengungsi, banyak rumah warga terendam, akses jalan terputus dan kerusakan infrastruktur yang signifikan. Sehingga ke tiga provinsi utama (Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat) menetapkan status tanggap darurat untuk mempercepat penanganan.

Awalnya, hujan deras dengan intensitas tinggi mengguyur wilayah Sumatera secara terus-menerus sejak sekitar tanggal 21-23 November 2025, namun daya tampung wilayah menurun drastis sehingga terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang sangat parah. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), ada beberapa factor pemicu terjadinya bencana banjir di wilayah Sumatera antara lain Siklus Tropis Senyar, Siklus Tropis Koto dan Indeks Ocean Dipole Negatif. Kombinasi fenomena cuaca ini menciptakan kondisi atmosfer sangat tidak stabil, menyebabkan curah hujan jauh di atas normal dan memicu bencana hidrometeorologi berskala besar.

Berbeda dengan Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang menyatakan bahwa kejadian banjir di wilayah Sumatera bukan semata anomaly cuaca, melainkan krisis iklim yang dipicu oleh ambruknya daya dukung lingkungan akibat kebijakan berbasis ekstraktivisme. Seperti eksploitasi SDA besar-besaran, deforestasi, penambangan dan dominasi kepentingan korporasi lainnya.
 
Menurutnya, ada tujuh perusahaan yang diduga paling bertanggung jawab atas bencana ekologis berupa banjir bandang dan longsor yang melanda kawasan Tapanuli. (jakartasatu.com, 03/12/2025)
Bencana yang terjadi saat ini bukanlah karena faktor alam atau sekadar ujian semata, tapi dampak kejahatan lingkungan yg telah berlangsung lama dan dilegitimasi oleh kebijakan penguasa meliputi pemberian hak konsesi lahan, mudahnya izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU Minerba, dan UU Ciptaker. Penguasa dan pengusaha kerap kompromi untuk menguasai hak milik rakyat atas nama pembangunan. Padahal bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Beginilah ketika negara mengatur kehidupan manusia menggunakan asas sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Sistem ini telah menihilkan peran Al-Khaliq sebagai pencipta dan pengatur kehidupan. Sistem ini lebih mengedepankan kepentingan hawa nafsu segelintir orang daripada aturan atau hukum yang telah Allah Swt. turunkan melalui Nabi Muhammad saw.

Dalam Islam telah jelas larangan merusak lingkungan, baik yang ada di darat maupun di laut. Allah berfirman dalam QS. Al-Araf: 56 “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Musibah banjir dan longsor di Sumatra merupakan bukti nyata akibat kerusakan lingkungan, terlebih dengan pembukaan hutan besar-besaran tanpa memperhitungkan dampaknya.
Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah memberi peringatan “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)
Hanya dengan penerapan hukum Islam, negara dapat meminimalisir terjadinya banjir dan longsor yang menyengsarakan rakyat. Seorang kepala negara dalam Islam akan fokus pada setiap kebijakannya untuk mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar. Dia akan merancang blue print tata ruang secara menyeluruh, melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya, tempat tinggal dengan semua daya dukungnya, industri, tambang, dan himmah.