Jaminan Perumahan untuk Rakyat, Bukan Sekadar Mimpi!
Oleh : Alin FM, Praktisi Multimedia dan Penulis
Indonesia menghadapi krisis perumahan yang semakin kompleks, akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan hunian dan ketersediaan rumah yang layak. Data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat, backlog (kebutuhan) perumahan mencapai 9,9 juta unit dan terus meningkat seiring waktu, melihat adanya pertumbuhan rumah tangga baru yang diperkirakan mencapai 700 hingga 800 ribu tiap tahunnya.
Berdasarkan Susenas Maret 2023, sebanyak 13,56% rumah tangga, atau jutaan keluarga, tinggal di rumah yang bukan milik sendiri dan juga tidak memiliki properti di tempat lain. Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap ketidakpastian (Perkim.id, 05/08/2025).
Upaya pemerintah melalui program subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang menargetkan 220.000 unit per tahun seringkali terkendala praktik pengembang yang tidak bertanggung jawab. Otoritas Jasa Keuangan (2022) mencatat 1.820 pengaduan terkait properti, mayoritas akibat kegagalan pengembang dalam memenuhi kewajiban mereka. Kasus-kasus penipuan seperti Jatiasih Central City yang menipu 260 pembeli rumah, serta masalah kepemilikan 120.000 sertifikat KPR Bank BTN yang diperkirakan muncul pada tahun 2025, menunjukkan lemahnya perlindungan konsumen.
Dampak dari lemahnya regulasi ini terlihat jelas pada kasus penggusuran seperti di Perumahan Taman Duren Sawit, Jakarta Timur, pada 16 Maret 2023.
Empat rumah mewah yang telah dihuni selama belasan tahun digusur akibat sengketa lahan, meskipun penghuni telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kejadian ini menunjukkan masyarakat, bahkan yang telah memiliki dokumen legal, tetap rentan terhadap ketidakpastian hukum dan ancaman kehilangan tempat tinggal.
Penggusuran tidak hanya menyebabkan kehilangan tempat tinggal tetapi juga berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Studi LIPI (2021) menunjukkan 68% korban penggusuran mengalami kecemasan dan stres.
Sementara itu, dari sisi ekonomi, harga properti yang meningkat 20–30% (BI, 2023) membuat masyarakat semakin kesulitan mencari hunian baru, diperparah dengan penurunan nilai properti di daerah terdampak penggusuran hingga 15% (Laporan PSPI, 2022).
Inilah Kekacauan Perumahan Kapitalisme Sekuler
Kenyataan pahit yang dihadapi jutaan rakyat Indonesia, ditandai dengan tingginya harga properti, maraknya penipuan pengembang, hingga penggusuran di tengah kepemilikan SHM, adalah buah dari sistem kapitalisme sekuler yang diadopsi. Dalam sistem ini, rumah dan tanah diperlakukan semata-mata sebagai komoditas investasi, bukan sebagai hak dasar rakyat.
Kebijakan negara didominasi oleh kepentingan pasar dan korporasi, sehingga negara gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai penjamin kesejahteraan. Keterlibatan perbankan konvensional yang memfasilitasi transaksi melalui skema utang berbasis riba (bunga) semakin memperparah penderitaan rakyat, menciptakan utang yang mencekik dan ketidakadilan yang struktural.
Landasan Islam tentang Jaminan Kesejahteraan
Kenyataan pahit yang dihadapi jutaan rakyat Indonesia ini menegaskan betapa mendesaknya intervensi yang adil. Kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal adalah salah satu kebutuhan primer manusia, sejajar dengan sandang dan pangan. Dalam pandangan Islam, jaminan atas kebutuhan pokok ini bukan hanya urusan pribadi semata, melainkan juga merupakan tanggung jawab kolektif yang diemban oleh negara. Rumah, dalam terminologi fiqih, seringkali dikaitkan dengan konsep al-sakan (tempat bermukim) yang merupakan bagian dari Dharuriyyat al-Khams (Lima kebutuhan pokok yang wajib dilindungi).
Sayangnya, realitas yang kita hadapi menunjukkan kepemilikan rumah layak masih menjadi mimpi mahal bagi mayoritas rakyat, terutama kaum dhuafa dan keluarga muda. Harga tanah dan properti yang terus melambung, dipadukan dengan skema kredit perbankan konvensional berbunga tinggi, telah menciptakan jurang lebar antara kemampuan finansial rakyat dengan akses terhadap perumahan.
Islam mengajarkan setiap individu memiliki hak untuk hidup layak dan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Khalifah Umar bin Khattab ra pernah berpesan, "Jika rakyat lapar, maka pemerintahan yang salah." Logika ini dapat diperluas, jika rakyat tidak memiliki tempat tinggal yang aman dan layak, maka sistem ekonomi dan kebijakan negara perlu dievaluasi secara serius.
Dalam kerangka Maqashid Syariah (tujuan hukum Islam), jaminan perumahan yang layak termasuk dalam upaya menjaga kehormatan diri (hifzh an-nafs) dan keturunan (hifzh an-nasl). Sebuah rumah yang layak adalah pondasi bagi pembentukan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, tempat pendidikan karakter anak, dan benteng moral masyarakat. Sulit membayangkan sebuah keluarga dapat menjalankan fungsinya dengan optimal jika mereka terus menerus dihantui ketidakpastian sewa atau tinggal di kawasan kumuh yang minim sanitasi.
Solusi Berbasis Prinsip Islam
Untuk mewujudkan jaminan perumahan untuk rakyat, pemerintah dan segenap elemen bangsa perlu kembali kepada prinsip-prinsip ekonomi Islam yang menekankan keadilan dan pemerataan. Beberapa langkah strategis yang patut dipertimbangkan, yakni:
Pertama, pengendalian harga tanah dan property. Negara harus aktif mengintervensi agar tanah tidak hanya menjadi komoditas spekulasi para kapitalis. Tanah yang tidak dimanfaatkan (terutama tanah mawat yang dikuasai korporasi) wajib dikembalikan fungsinya untuk kepentingan rakyat. Kebijakan pajak progresif yang tinggi bagi pemilik properti lebih dari satu unit juga dapat membatasi penimbunan aset.
Kedua, skema pembiayaan berbasis syariah. Tinggalkan skema riba (bunga) yang mencekik. Pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi skema pembiayaan murabahah (jual beli) atau ijarah muntahiyah bit-tamlik (sewa diakhiri kepemilikan) dengan margin keuntungan yang sangat rendah dan terjangkau, khusus bagi rakyat berpenghasilan rendah. Skema ini harus murni bersifat ta’awun (tolong menolong), bukan berorientasi profit besar.
Ketiga, optimalisasi Dana Zakat, Infaq, dan Wakaf (ZISWAF). Dana umat ini memiliki potensi besar membantu penyediaan perumahan bagi gharimin (orang yang berutang karena kebutuh mendesak) atau kaum fuqara' (fakir miskin) yang tidak mampu membeli rumah. Wakaf uang (tunai) dapat digunakan untuk membangun rumah susun sewa yang sangat murah dan dikelola secara profesional untuk menjaga keberlangsungan aset.
Keempat, prioritas pembangunan infrastruktur sosial. Alih-alih terfokus pada proyek mercusuar, negara harus mengalokasikan anggaran besar untuk pembangunan perumahan bersubsidi yang terintegrasi dengan fasilitas publik seperti sekolah, pasar, dan transportasi massal. Ini adalah wujud nyata dari amanah baitul mal (kas negara) sebagai harta milik seluruh rakyat.
Akhir Kalam, Mengubah Mimpi Menjadi Kenyataan
Jaminan perumahan untuk rakyat bukan sekadar mimpi, melainkan manifestasi dari keadilan sosial dan perintah agama. Ketika setiap keluarga dapat menempati rumah yang layak, martabat mereka terangkat, kualitas hidup meningkat, dan stabilitas sosial terjamin.
Umat Islam dan para pemangku kebijakan wajib menjadikan isu perumahan sebagai agenda utama. Dengan menjalankan kebijakan yang berpihak pada keadilan, didasari oleh semangat ukhuwah (persaudaraan) dan prinsip syariah yang bersih dari riba dan spekulasi, cita-cita memiliki rumah layak bagi setiap warga negara pasti dapat terwujud.[]

Posting Komentar