-->

Perceraian Marak, Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh!


Oleh : Rini Mumtazsabrina

Fenomena perceraian di Indonesia, Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan terdapat 399.921 kasus perceraian sepanjang 2024. Angka ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 408.347 kasus. Meski begitu, jumlah tersebut masih jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi COVID-19 yang hanya 291.677 kasus.

Sedangkan jumlah pernikahan di Indonesia malah terus menurun. Pada 2020 misalnya, tercatat sekitar 1,78 juta pernikahan, sementara pada 2024 jumlahnya menyusut menjadi hanya 1,47 juta.
Namun yang menjadi sorotan sekarang ini bukan saja soal alasan perpisahan, melainkan struktur perceraian yang didominasi oleh cerai gugat, yaitu gugatan yang diajukan oleh pihak istri.

Menurut data BPS, pada 2024 terdapat 308.956 kasus cerai gugat atau sekitar 77,2 persen dari total perceraian nasional. Sedangkan kasus cerai talak, yaitu yang diajukan oleh pihak suami, sebanyak 85.652 kasus

Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan kini memiliki keberanian lebih besar untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk ketika memilih keluar dari relasi yang tidak lagi sehat.

Menurut Heidi Kar, psikolog dan pakar kekerasan dalam rumah tangga di Pusat Pengembangan Pendidikan di Amerika Serikat, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi adanya peningkatan kasus cerai gugat belakangan ini. Salah satunya adalah kemandirian finansial yang dialami perempuan membuat mereka lebih berani mengajukan perceraian.

Adapun sepanjang Januari hingga Oktober 2025, publik dikejutkan oleh perceraian sejumlah artis dan publik figur, mulai dari Deddy Corbuzier dan Sabrina Chairunnisa, Raisa dan Hamish Daud, Baim Wong dan Paula Verhoeven, hingga Sherina Munaf dan Baskara Mahendra. Nama-nama lain seperti Acha Septriasa, Asri Welas, Arya Saloka, dan Pratama Arhan juga masuk daftar panjang pasangan yang berpisah tahun ini.

Banyak dari mereka mengumumkan perpisahan dengan cara yang tenang dan saling menghormati, tapi sebagian lain menjadi perbincangan luas di media sosial. Publik menyoroti bagaimana perempuan kini lebih vokal menyuarakan kebutuhan emosional dan batas sehat dalam hubungan, sesuatu yang dulu kerap dianggap tabu.

Yang Melatar Belakangi

Dari sisi nasional, perselisihan dan pertengkaran terus-menerus menjadi penyebab utama perceraian (63%), disusul masalah ekonomi (25%). Tekanan finansial pascapandemi dan meningkatnya biaya hidup menjadi alasan umum yang membuat banyak pasangan tak lagi mampu bertahan.

Selain itu, KDRT, perselingkuhan, hingga perbedaan pandangan hidup turut memperumit dinamika rumah tangga. Meski jumlahnya tak sebanyak dua faktor utama, kasus KDRT yang mencapai lebih dari 7 ribu laporan pada 2024 tetap mengkhawatirkan.

Provinsi-provinsi di Pulau Jawa mendominasi angka perceraian. Jawa Barat mencatat 88.985 kasus, disusul Jawa Timur (79.293 kasus) dan Jawa Tengah (64.937 kasus). Di luar Jawa, Sumatera Utara dan Lampung menjadi wilayah dengan jumlah perceraian tertinggi.

Rasio perceraian di Indonesia kini mencapai sekitar 27 pasangan bercerai dari setiap 100 pasangan menikah. Angka ini mencerminkan perubahan besar dalam cara masyarakat memandang pernikahan dan perceraian, terutama di tengah meningkatnya kesadaran terhadap hak perempuan dan kesehatan mental.

Jika dulu perceraian dianggap aib, kini semakin banyak perempuan yang berani menentukan arah hidupnya sendiri. Para selebritas yang berpisah pun sering menjadi simbol perubahan itu: bahwa kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan mental layak diperjuangkan.

Namun di sisi lain, tren ini juga jadi peringatan bagi pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya memperkuat ketahanan keluarga. Sebab ketika pernikahan kian sedikit dan perceraian tetap tinggi, stabilitas sosial pun ikut diuji.

Dampak perceraian terhadap anak

Dampak terbesar dari perpisahan antara ayah dan ibu, lebih sering dirasakan oleh anak. Seringkali kondisi ini mempengaruhi kesehatan mental dan kondisi psikologisnya. Anak-anak yang orang tuanya bercerai biasanya menjadi lebih pendiam, tertutup, bahkan mengalami perubahan dalam cara bergaul dengan teman-temannya. Anak merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian. Hal ini bisa mengganggu kestabilan emosi dan pola pikir mereka, diantaranya ;

1. Mengalami depresi
Anak-anak memiliki perasaan yang lembut dan mudah terluka, sama seperti orang dewasa. Ketika mendengar kabar perpisahan orang tuanya, rasa sedih dan kecewa pasti muncul dalam hati mereka.

2. Merasa kesepian atau kesendirian
Anak yang tumbuh di lingkungan broken home akibat perceraian orang tua kerap merasa kesepian, seolah-olah ditinggalkan. Perasaan kehilangan sosok ayah atau ibu membuat kondisi psikologis mereka terguncang.

3. Cemas berlebihan
Anak-anak yang masih berada dalam usia sekolah, terutama usia 6–9 tahun, sangat rentan mengalami kecemasan saat menghadapi perceraian orang tua. Kecemasan ini bisa mengganggu proses tumbuh kembang mereka.

4. Kemampuan pola pikir anak menurun
Salah satu dampak serius dari perceraian adalah terganggunya kemampuan berpikir anak. Anak bisa saja mengalami trauma karena tekanan emosi seperti stres, rasa bersalah, atau emosi yang tidak stabil.

5. Muncul rasa paranoid
Anak-anak dari keluarga yang bercerai juga bisa mengalami paranoia rasa takut yang berlebihan terhadap lingkungan sekitar atau orang lain. Kondisi ini membuat mereka enggan bersosialisasi, menutup diri, dan kehilangan rasa percaya diri.

Islam Menyajikan Solusi Komprehensif

Di dalam islam, seluruh aspek kehidupan baik individu, keluarga, masyarakat maupun negara menjadi prinsip dasar tegaknya kesejahteraan yang hakiki, ketentraman jiwa yang mendalam, serta terjaganya iman dan taqwa manusia kepada Allaah SWT , hingga terwujud kehidupan manusia yang terarah pada keadilan dan kasih sayang. 

Negara Khilafah sebagai institusi pemerintah yang menerapkan islam secara kaffah akan melakukan edukasi secara massif dan terstruktur pada seluruh warga masyarakatnya, melalui system pendidikan berbasis aqidah islam. Sehingga terbentuk individu – individu yang berkepribadian islam , yakni berpola pikir dan bersikap sesuai dengan syariat. 

Pendidikan dalam Khilafah tidak semata bertujuan untuk mencetak manusia cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk akhlak yang mulia dan ketaqwaan yang mendalam.

Dengan fondasi ini, setiap warga negara baik sebagai orang tua, anak , suami, istri, anggota masyarakat maupun pemimpin, akan mampu menjalankan perannya masing – masing secara benar, bertanggung jawab dan penuh kasih sayang sesuai tuntunan Allaah SWT dan RasulNya. 

Maka dalam masyarakat yang di bina oleh Khilafah, kekerasan dan kemaksiatan dalam keluarga dapat di cegah sejak dini, karena setiap individu di bekali dengan kesadaran ruhiyyah, dan pemahaman yang utuh tentang hak dan kewajiban dalam kehidupan social dan rumah tangga. 

Negara juga akan memainkan peran strategis dalam menguatkan pemahaman terhadap hukum – hukum keluarga islam. Baik melalui kurikulum pendidikan islam, media masa , hingga kebijakan – kebijakan public yang berlandaskan syariat. 

Dengan demikian, setiap individu dalam keluarga baik suami, istri, maupun anak, akan memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak – haknya sesuai dengan ketentuan yang telah di tetapkan oleh islam. Bukan semata karena tekanan social ataupun aturan legal formal , melainkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allaah SWT. 

Inilah yang menjadi pondasi kokoh bagi terbentuknya ketaatan keluarga yang sesungguhnya. Dimana keluarga dibangun atas dasar iman, tanggung jawab dan kasih sayang. Ketahanan semacam ini , tidak akan pernah lahir dari system sekuler yang mengabaikan peran agama dalam mengatur urusan kehidupan. 

Hanya dalam naungan system Khilafah yang menerapkan syariat islam secara menyeluruh, ketahanan keluarga yang hakiki dapat terwujud dan menjadi banteng utama yang mencegah munculnya berbagai bentuk kekerasan dan kemaksiatan dalam rumah tangga

Wallahu’aalambishawab