-->

Generasi Muda Takut Nikah, Luka Ekonomi Kapitalisme


Oleh : Umma Almyra

Ketakutan anak muda terhadap pernikahan kini bukan sekadar cerita di media sosial, tetapi sebuah fenomena sosial yang semakin nyata. Banyak pemuda dan pemudi menunda menikah bukan karena mereka tidak ingin hidup berpasangan, tetapi karena mereka merasa hidup terlalu berat bahkan sebelum melangkah ke jenjang itu.

Mereka melihat realitas: biaya hunian yang melonjak, harga kebutuhan pokok yang merangkak naik, pekerjaan yang semakin sulit diperoleh, dan gaya hidup serba mahal yang terus didorong oleh arus kapitalisme. Narasi “marriage is scary” menjadi sangat kuat karena ia bersenyawa dengan pengalaman hidup sehari-hari.

Generasi hari ini tumbuh melihat orang tuanya berjuang sepanjang hidup demi biaya rumah, sekolah, dan kesehatan. Mereka melihat teman-teman sebayanya menikah hanya untuk kemudian tenggelam dalam tumpukan cicilan. Mereka membaca berita tentang harga rumah yang tidak masuk akal bagi fresh graduate. 

Mereka merasa realitas hidup tidak stabil, sehingga menikah tampak seperti menambah beban, bukan menambah kekuatan. Kesadaran tentang pentingnya kestabilan ekonomi semakin menguat, membuat pernikahan ditunda hingga waktu yang tidak pasti. Bagi sebagian anak muda, menikah bukan lagi prioritas, tetapi risiko finansial.

Namun, pertanyaannya layak diajukan: apakah pernikahan yang salah, ataukah sistem yang membuat hidup begitu menekan sehingga pernikahan terlihat menakutkan? Jika kita telusuri lebih dalam, jawabannya hampir tidak terbantahkan: ketakutan ini adalah luka yang ditanamkan oleh sistem kapitalisme.

Luka yang Ditorehkan Kapitalisme pada Generasi Muda

Kapitalisme membentuk pola pikir bahwa hidup harus selalu berkompetisi, bergerak cepat, dan berusaha keras demi bertahan. Di dalam sistem ini, setiap orang dipaksa berjuang sendirian. Pemerintah tidak berfungsi sebagai pelindung, tetapi sekadar pengawas yang membiarkan pasar menguasai hidup rakyat. 
Harga pangan, listrik, air, hingga transportasi dibiarkan bergerak sesuai logika pasar. Tak heran, biaya hidup terus melahirkan ketakutan struktural.

Upah pekerja berjalan lambat, sementara biaya hidup melonjak tinggi. Sebuah studi dari berbagai media nasional, termasuk Kompas, menunjukkan ketakutan generasi muda terhadap kemiskinan lebih tinggi dibanding ketakutan terhadap tidak menikah. Ini bukan sekadar preferensi pribadi, tetapi refleksi dari struktur ekonomi yang tidak memberikan kepastian hidup. Ketika tempat tinggal menjadi aset spekulasi, pendidikan menjadi komoditas, dan kesehatan menjadi ladang bisnis, pernikahan pun terasa seperti loncatan ke jurang beban baru.

Di sisi lain, kapitalisme juga menanamkan gaya hidup materialistik melalui kurikulum pendidikan sekuler dan media liberal. Anak muda dibentuk untuk mengejar standar hidup yang tinggi: rumah estetik, pesta pernikahan mewah, karier gemerlap, dan gaya hidup konsumtif. Dengan standar seperti itu, wajar jika mereka merasa tidak siap menikah. Sebab mereka menganggap “siap menikah” berarti harus memiliki semua itu terlebih dahulu.

Padahal dalam Islam, pernikahan adalah ibadah dan jalan penyempurna agama. Tetapi makna ini tertutup oleh narasi dunia kapitalis yang menjadikan kebahagiaan sebagai produk, dan cinta sebagai beban finansial.

Ketika Negara Melepas Tanggung Jawabnya

Dalam Islam, negara memiliki peran besar dalam mengatur kesejahteraan masyarakat. Negara bertugas menjadi raa’in—pengurus rakyat—yang wajib memastikan seluruh kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Rasulullah ﷺ bersabda :
“Imam adalah pengurus rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”

Namun di bawah kapitalisme, negara tidak berfungsi sebagai pelindung kesejahteraan, tetapi hanya menjadi regulator yang menjaga stabilitas pasar. Rakyat dibiarkan bertarung di arena ekonomi yang brutal. Pekerjaan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Lapangan kerja bergantung pada investasi asing. 
Sumber daya alam diberikan kepada korporasi. Air, listrik, dan energi diprivatisasi. Alhasil, rakyat menanggung harga mahal.

Ketika negara lepas tangan, keluarga pun kehilangan penyangga utamanya. Anak muda melihat bahwa mereka harus menghidupi diri sendiri secara penuh bahkan sebelum menikah. Maka pernikahan pun dipersepsikan sebagai penambahan beban yang tidak mampu mereka pikul. Padahal Allah telah menjanjikan rezeki bagi pasangan muda yang menikah:
“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.”
(QS. An-Nur: 32)

Namun janji Allah itu tidak dapat dirasakan dalam sistem yang mengabaikan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Rasa takut mengalahkan keimanan karena struktur sosial tidak mendukung keberanian itu.

Runtuhnya Makna Pernikahan di Tengah Hedonisme

Selain ketakutan ekonomi, hilangnya pemahaman sakral tentang pernikahan juga menyumbang pada fenomena “takut menikah”. Banyak anak muda kini memandang pernikahan bukan sebagai ladang pahala, tetapi sebagai beban emosional, mental, dan finansial. Media sosial dipenuhi konten yang menggambarkan pernikahan sebagai drama tanpa ujung. Survei online, thread viral, hingga curhatan random seringkali memperkuat narasi bahwa pernikahan adalah sumber masalah.

Padahal jika ditimbang dengan kacamata iman, pernikahan adalah penjaga kehormatan, penyempurna agama, dan pintu ketenangan. Allah SWT berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu memperoleh ketenangan darinya.”
(QS. Ar-Rum: 21)

Tapi ketenangan itu hilang di tengah kehidupan hedonistik yang menuntut semua aspek pernikahan terlihat sempurna di mata manusia, bukan di mata Allah. Generasi muda tidak lagi mendengar nasihat agama di sekolah, di media, atau di lingkungan masyarakat. Mereka dibesarkan oleh konten, bukan aqidah.

Hasilnya: mereka takut gagal, takut miskin, takut tidak bahagia, takut tidak mencapai standar “cinta ideal”. Padahal pernikahan bukan tentang kesempurnaan materi, tetapi tentang keberanian bersama dalam ketundukan kepada Allah.

Solusi Islam: Mengembalikan Keberanian Generasi Muda

Islam tidak hanya memberi anjuran untuk menikah—Islam menyediakan sistem yang membuat pernikahan terasa mungkin, ringan, dan penuh berkah.

1. Negara Menjamin Kebutuhan Dasar Rakyat
Dalam sistem ekonomi Islam, negara memastikan kebutuhan pokok seperti pangan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan dapat diakses semua rakyat. Sumber daya alam tidak boleh diprivatisasi; ia dikelola negara sehingga hasilnya kembali kepada rakyat. Harga listrik, air, dan energi dapat ditekan. Biaya hidup tidak menjadi momok yang menakutkan. Ketika hidup tidak mahal, pernikahan pun tidak lagi menakutkan.

2. Lapangan Kerja yang Layak
Islam mewajibkan negara membuka lapangan pekerjaan tanpa bergantung pada investor asing. Setiap individu diberi kesempatan bekerja dengan hasil yang layak. Dengan pekerjaan yang manusiawi, generasi muda tidak lagi dihantui masa depan kabur.

3. Pendidikan Berbasis Aqidah
Pendidikan Islam membentuk karakter generasi yang tidak terjebak hedonisme. Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup bukan ajang pamer, tetapi ladang amal. Pernikahan dipandang sebagai ibadah, bukan beban. Mereka siap hidup sederhana namun penuh berkah.

4. Penguatan Institusi Keluarga
Islam memuliakan keluarga sebagai institusi penting bagi keberlangsungan umat. Negara dan masyarakat saling mendukung pernikahan, bukan mempersulitnya. Biaya pernikahan sederhana didorong, bukan dipermalukan. Pasangan muda diberi bimbingan, bukan tekanan.

Mengembalikan Makna Pernikahan

Pernikahan tidak lagi menjadi hantu. Ia menjadi harapan. Ia bukan sumber kecemasan. Ia menjadi sumber kekuatan. Ia bukan gerbang ke kesulitan. Ia menjadi jalan menuju ketenangan.
Ketakutan generasi muda bukanlah kesalahan mereka. Mereka tumbuh dalam sistem yang menekan, mahal, dan mendorong gaya hidup yang tidak realistis. Mereka bukan lemah—mereka adalah korban dari sistem yang salah. Tetapi luka ini bisa sembuh jika kita berani kembali kepada aturan Allah.

Islam pernah menghadirkan masyarakat di mana pemuda menikah muda tanpa takut, karena negara menjamin kehidupan mereka. Generasi yang tidak takut melangkah, karena hidup tidak menakutkan. Kita percaya, dengan kembali pada syariat yang kaffah, keberanian itu akan kembali tumbuh.

Wallahu Bi’shawab