-->

Pemerintah Enggan Tetapkan Banjir Sumatera Sebagai Bencana Nasional, Ilusi Penjagaan Nyawa Rakyat dalam Kapitalisme


Oleh : Alimatul Mufida (Mahasiswa) 

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra--Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) sejak beberapa waktu lalu. Jumlah korban jiwa di ketiga provinsi jiwa per 30 November tercatat sebanyak 442 orang. Sementara jumlah orang hilang saat ini dicatat sebanyak 402 jiwa. Koalisi masyarakat sipil Aceh mendesak Presiden RI, Prabowo Subianto agar segera menetapkan status darurat bencana nasional di Pulau Sumatera. Tiga provinsi di wilayah Sumatera yang terdampak banjir, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ketiganya luluh lantak akibat diterjang banjir dan tanah longsor sejak 25 November 2025. Namun ironisnya, pemerintah pusat belum menetapkan bencana di Pulau Sumatera sebagai darurat bencana nasional. 

Menjadi pertanyaan besar mengapa negara begitu enggan menetapkan bencana banjir Sumatera sebagai bencana nasional. Padahal, ratusan nyawa rakyat sudah menjadi korban, seluruh infrastruktur hancur, bahkan kabarnya para pengungsi berasa di fase kehabisan bahan pangan. 
Bukan tanpa alasan, dengan adanya penetapan status darurat bencana nasional akan memberikan legitimasi politik kepada presiden guna melakukan proses yang selalu ingin dihindarinya, secara tidak langsung pemerintah akan mulai memberlakukan audit lingkungan, moratorium izin kelola tanah/hutan, hingga penegakan hukum terhadap figur-figur yang ditengarai menjadi perusak kawasan yang mengakibatkan munculnya bencana hidrometeorologi ini. Dengan kata lain, keadilan akan ditegakkan. Selain itu, kerusakan infrastruktur strategis seperti jalur lintas Sumatera yang berdampak pada mobilitas logistik nasional dan pemulihan ekonomi juga membutuhkan intervensi APBN, tentunya akan sangat menguras APBN karena banyak dana yang digelontorkan untuk memberikan bantuan secara langsung maupun membenahi infrastruktur yang rusak. 

Bencana alam bukan hanya terjadi akibat keadaan cuaca tetapi lebih sering terjadi terjadi akibat kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan. Alih fungsi lahan secara masif, deforestasi besar-besaran, dan aktivitas industri ekstraktif tanpa disertai AMDAL menjadi akibat daripada bencana. Ditambah lagi penanganan bencana yang lamban menunjukan sistem mitigasi masih lemah dan tidak komprehensif, baik pada tataran individu, masyarakat dan negara. Pemerintah sebagai penanggung jawab penanganan kebencanaan nampak tidak serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana.

Hal ini sangat kontras dengan paradigma Islam. Islam memiliki solusi komprehensif terhadap bencana. Pertama adalah dimensi ruhiyah, yaitu memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah. Ini diartikan sebagai refleksi bahwa seharusnya kita lebih mendekat pada-Nya, semua yang terjadi adalah ketetapan-Nya. Ini tidak akan mengurangi keimanan justru semakin menambah keimanan kita.

Artinya, kesulitan maupun kemudahan yang ada tidak lain hanyalah ujian bagi manusia, apakah masih berpegang teguh pada aturan-Nya atau sebaliknya justru menyalahkan takdir. Dimensi kedua adalah siyasiyah yaitu refleksi terkait kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana. Apa yang sebenarnya ditanam adalah yang dipanen. Apabila kebijakan yang diterapkan hanya disesuaikan dengan hawa nafsunya maka hal yang wajar akan terjadi kehancuran. Artinya, kembali merujuk pada bagaimana Allah memberikan aturan yang bukan hanya menyejahterakan manusia tetapi juga mengkompensasi berupa pahala. 

Edukasi ruhiyah dapat diadakan untuk memahamkan ayat-ayat dan hadits terkait bencana akibat ulah manusia, bahwa merusak alam itu adalah membahayakan diri sendiri dan membahayakan kehidupan. Apabila terjadi bencana, negara dalam Islam akan melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga martabat dan keselamatan jiwa rakyatnya. Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab penuh memberikan bantuan secara layak, pendampingan secara emosional dan mental, hingga para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana. Deskripsi seperti ini seharusnya sudah cukup untuk menerima dan menerapkan kembali aturan Allah. Wallahu a'lam bisshawwab