Pedang Bermata Dua bernama "Media Sosial"
Oleh : Dinda Kusuma W T
Era Milenium disebut juga era digital ditandai dengan berbagai kemajuan di bidang teknologi informasi berbasis digital. Namun kemajuan dalam kehidupan sekuler ternyata adalah sesuatu yang tak tentu arahnya. Bahkan pada satu titik, akan muncul pertanyaan di benak kita, "benarkah ini sebuah kemajuan atau justru sebuah kemunduran?"
Sebuah fakta mencengangkan, Indonesia yang notabene adalah negara berkembang, bukan negara maju, ternyata berada di peringkat atas dunia dalam hal penggunaan media sosial. Top Digital and Social Media Trends in Indonesia dari We Are Social mengungkapkan, masyarakat Indonesia rata-rata menghabiskan 21 jam 50 menit per minggu di depan layar media sosial, termasuk untuk menonton video online. Sedangkan rata-rata penduduk dunia hanya menghabiskan 18 jam 36 menit setiap pekan di media sosial dan menonton video online. Digital 2025 Global Overview juga mencatat sebanyak 98,7% penduduk Indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk online, melampaui Filipina dan Afrika Selatan yang mencatat 98,5% (www.cnbcindonesia.com, 29/11/2025).
Tentu ini bukan sebuah pencapaian yang patut dibanggakan. Justru harus diwaspadai, dicermati dan dicari solusinya. Penggunaan media sosial berlebih pasti berbanding terbalik dengan produktivitas seseorang.
Masyarakat yang kecanduan gadget akut cenderung menyia-nyiakan waktu. Alih-alih melakukan hal-hal kreatif dan bermanfaat, generasi dilemahkan oleh suguhan video-video kontra produktif. Banyak penelitian bahkan mengatakan bahwa berlama-lama selancar di dunia maya bisa menyebabkan berbagai kerusakan mental, pembusukan otak (otak enggan atau tidak bisa berfikir), demensia dini, rasa kesepian dan lain sebagainya.
Yang lebih mengerikan, media sosial saat ini bisa menjadi pendorong sekaligus ladang terjadinya kriminalitas. Tidak main-main kejahatan yang mengintai generasi kita. Mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa bisa menjadi korban kejahatan di media sosial.
Anak-anak dan remaja yang luput pengawasan orang tua, sangat mungkin akan terpapar pornografi hingga bisa menjadi pelaku atau korban kekerasan seksual. Tidak sedikit jerat pinjol (pinjaman online) dan judol (judi online) menjadi sumber kehancuran dan tindak kejahatan, baik pada anak-anak maupun orang dewasa.
Seluruh kerusakan yang terpampang dihadapan kita, hampir semuanya bermuara pada media sosial. Marak bullying berakar dari sajian konten kekerasan, marak perselingkuhan dan perceraian bersumber dari konten porno dan komunikasi di media sosial tanpa batas. Banyak orang depresi hingga bunuh diri hanya karena tergerus budaya flexing.
Gadget dan media sosial adalah alat sempurna bagi kapitalisme untuk merusak mental generasi bangsa Indonesia. Secara tidak sadar, masyarakat Indonesia dicetak berperilaku konsumtif. Bukan hanya dalam hal barang dan jasa, Indonesia juga menjadi pasar potensial bagi berbagai platform internet. Kita dipaksa berada ditangga terbawah dalam sistem perekonomian, yaitu konsumen yang memberikan keuntungan besar bagi kaum kapitalis.
Ketiadaan Perhatian Negara
Pada dasarnya, media sosial yang disebut pisau bermata dua ini mampu memberikan kontribusi positif yang maksimal apabila diatur dengan baik oleh negara. Sayangnya, bukannya memberikan aturan dan kebijakan yang menyelamatkan bangsa, negara justru menjadi fasilitator kaum kapital. Turut serta berbisnis dengan rakyat tanpa mempertimbangkan efek negatif dari kebijakan tersebut.
Tidak ada pembatasan konten, tidak ada pembatasan usia, bahkan situs pinjol dan judol menjamur adalah bukti abainya pemerintah. Padahal, sangat mudah bagi pemerintah sebagai pemangku kekuasaan untuk menetapkan sebuah aturan. Misalnya negara China yang membatasi akses media sosial bagi rakyatnya. Pelajar hanya disuguhi konten atau website yang mendukung kegiatan belajar mereka. Ini hanyalah satu contoh kecil bahwa negara punya kuasa.
Namun sayang, inilah kenyataan negara yang dikuasai oleh kapitalis dengan sistem sekulerisme. Para penguasa hanya peduli untuk memperkaya diri sendiri. Tak heran, dalam sistem ini kesenjangan ekonomi sangat tinggi. Para pemodal besar tiap hari makin kaya, tapi rakyat jelata makin terpuruk dan sengsara.
Kembali pada Islam
Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah melenyapkan kapitalisme dan sekularisme di Indonesia dan di seluruh dunia. Kembali pada fitrah manusia yaitu Islam. Sebagai agama yang memiliki aturan lengkap, baik ibadah ruhiah maupun muamalah, Islam adalah sistem yang mampu mewujudkan kebahagiaan hakiki. Jelas, kemajuan teknologi dan informasi akan menjadi sebuah potensi besar apabila berada dalam sebuah sistem masyarakat yang takut kepada Allah SWT. Dalam Islam, media sosial akan menjadi sumber kebaikan bukan sumber kerusakan seperti yang terjadi sekarang ini. Wallahu a'lam bishawab.

Posting Komentar