Menyoal Fatamorgana Gencatan Senjata
Oleh : Ummu Maryam
Sejak diumumkannya gencatan senjata, banyak pihak di dunia menilai bahwa ada harapan baru untuk perdamaian yang diidam-idamkan. Namun, kenyataannya hanya merupakan jeda sementara, kondisi sulit yang dialami penduduk Gaza masih berlangsung.
Sejak gencatan senjata berlaku pada 10 Oktober 2025, masyarakat Gaza harus hidup di bawah batasan tertentu. Terdapat dua zona yang dikenal sebagai Garis Kuning, yaitu zona Timur yang dikendalikan oleh militer Israel dan zona Barat yang memberikan kesempatan bagi warga Gaza untuk beraktivitas dengan batasan. Garis ini membatasi ribuan orang yang seharusnya bisa kembali ke daerah timur dan utara, tetapi tertahan.
Ada tenda Halawa bagi para pengungsi. Penduduk melaporkan bahwa drone dan tank ditempatkan hanya beberapa ratus meter dari posisi mereka di zona Timur, dan setiap hari mereka mendengar suara tembakan, ledakan kecil serta kegiatan buldoser yang merobohkan rumah dan meratakan lahan. Garis tersebut juga menjadi ancaman karena bila mendekati atau melintasi batas garis, mereka berisiko ditembak oleh militer Israel. Analis Akram Attallah menyatakan bahwa garis ini menunjukkan upaya Israel untuk mengubah secara sengaja pengaturan keamanan dan politik di Gaza (antaranews. com, 15/09/25).
Ditambah dengan kondisi lingkungan dan perubahan iklim di wilayah Timur. Menurut laporan dari Lembaga Bantuan atau Badan PBB untuk Pengungsi di Timur Dekat, yang dikenal dengan UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East), situasi di Jalur Gaza semakin mencemaskan. Hujan lebat dan banjir melanda di musim dingin, memaksa sejumlah orang yang tinggal di sana untuk mencari tempat yang lebih terlindungi atau menggunakan tenda darurat sebagai tempat tinggal sementara. Sebab, tempat penampungan mereka sangat rusak dan tidak dapat bertahan menghadapi hujan sehingga terendam air. Mereka juga tidak mendapatkan bantuan kebutuhan dasar yang sangat penting untuk bertahan di musim dingin.
UNRWA menekankan bahwa bantuan dan perlengkapan tempat tinggal sangat dibutuhkan mengingat dampak bencana bagi para pengungsi, sementara akses bagi bantuan masuk ke Jalur Gaza sangat diharapkan. Mereka juga berharap agar ada upaya internasional yang terus mendesak Israel untuk membuka pintu bantuan dari luar. Meskipun dalam kondisi yang terbatas, mereka tetap berusaha menjalankan tugas kemanusiaan untuk memastikan para pengungsi memiliki kehidupan yang layak di tengah bencana yang melanda.
Tawaran Gencatan Senjata Bukan Solusi Tuntas
Dengan dilakukannya gencatan senjata, seolah-olah perekonomian Gaza sudah kembali berfungsi dan masyarakatnya bisa hidup normal. Kenyataannya, mereka masih bergelut dalam kesulitan. Situasi semakin memburuk dan pihak lawan terus mencari cara untuk menghilangkan kehidupan yang layak di sana, sehingga rencana mereka untuk menguasai daerah tersebut dapat berjalan tanpa gangguan.
Kesengsaraan yang dialami di Gaza belum usai, karena mereka masih berada dalam pengawasan. Setiap gerakan mereka menjadi taruhannya nyawa. Hal ini disebabkan oleh keberadaan militer Israel yang masih berada di perbatasan wilayah yang mereka anggap aman sebagai tempat pengungsian.
Sejak gencatan senjata dimulai, tercatat ada 260 orang tewas dan 630 lainnya terluka. Banyak warga sipil terancam akibat tembakan dan ledakan sporadis yang terus dilancarkan oleh militer Israel, menurut laporan dari pihak kesehatan Gaza di laman antaranews. com pada 15/09/2025.
Pengkhianatan ini seharusnya menjadi sinyal bahwa gencatan senjata tidak akan pernah mampu menyelamatkan Gaza secara keseluruhan. Mereka masih terjebak dalam derita setiap harinya. Inilah bentuk penjajahan yang nyata yang direncanakan dengan cermat untuk terus dipertahankan.
Para musuh tidak akan menawarkan peluang untuk hidup dengan layak, dan penderitaan akan terus dialami hingga warga sipil musnah dan menyerah. Gaza masih berada dalam cengkeraman penjajahan dan terus merasakan kesedihan. Para pejuang kemerdekaan Palestina harus semakin kuat untuk mengakhiri penjajahan ini, karena ini merupakan inti dari masalah. Pendudukan Israel atas Palestina disertai dengan penjajahan dan genosida. Jangan pernah ragu atau merasa puas dengan solusi gencatan senjata yang sering kali dikhianati oleh pihak yang tidak terpuji. Solusi dua negara pun tidak memadai; justru hal itu melegitimasi penjajahan, yang pada hakikatnya sangat tidak adil. Sudah menjadi sifat bahwa Barat adalah musuh bagi Islam yang dengan sadar tidak akan mau menyelesaikan atau memberikan kedamaian bagi Palestina, termasuk Gaza.
Kepemimpinan Global dalam Sistem Islam Sebagai Solusi yang Tepat
Menariknya, ada perdebatan yang cukup serius mengapa banyak pemimpin negara Islam tampak tidak berinisiatif untuk membantu sesama mereka. Mereka merasa cukup dengan perjanjian damai yang seringkali tidak ditepati. Lebih menyedihkan lagi adalah pengkhianatan dari para pemimpin Muslim yang justru menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam genosida atau penindasan.
Saat ini, para pemimpin negara Islam fokus pada urusan masing-masing yang tidak berdampak baik bagi saudara-saudara Muslim lainnya. Ancaman dari negara bangsa menciptakan tembok penghalang yang nyata. Tembok ini jelas membatasi upaya kita untuk memberikan bantuan kepada sesama.
Para pemimpin Muslim dan komunitas Islam tampaknya terbuai oleh alat penjajahan yang juga diterapkan di negara mereka melalui nasionalisme. Mereka dengan nyaman merasa cukup aman dengan keadaan di negara mereka sendiri. Tidak mengherankan jika kemenangan yang diidamkan masih tidak nyata dan hanya menjadi harapan yang tak kunjung terwujud hanya dengan mengandalkan gencatan senjata.
Palestina, terutama Gaza, sangat membutuhkan solusi yang segera, bukan sekadar gencatan senjata atau kesepakatan voting merdeka di meja PBB. Pasalnya, semua rencana tersebut sudah diatur agar tidak menghasilkan kemerdekaan ketika diperantarai oleh Amerika dan sekutunya. Solusi parsial hanya akan menambah kesengsaraan mereka, meskipun terdengar menghibur. Musuh-musuh terus merencanakan taktik baru untuk menghancurkan tanah Syam.
Kekuatan kolonialis yang dilakukan oleh negara-negara besar harus diimbangi dengan keberadaan negara yang kuat untuk melawannya. Negara yang menyerukan jihad harus berperang dengan tentara secara langsung, bukan dengan menyerang warga sipil yang tidak bersenjata. Ini adalah sikap yang lemah dan sempit.
Negara yang mendorong jihad hanya bisa muncul jika menerapkan syariat. Sebuah negara yang menjalankan syariat akan dapat memberikan solusi sesuai dengan prinsip agama, bukan sekadar kepentingan pribadi. Negara Islam dengan sistem pemerintahan Khilafah menjadi kunci untuk menyelamatkan tanah Syam.
Khilafah sebagai pelindung akan mampu memusnahkan penjajahan dengan kekuatan penaklukan. Khilafah akan memanggil umat untuk jihad di bawah satu kepemimpinan. Khilafah akan menjaga komunitas dengan tujuan syariah yang mendatangkan manfaat dan menghapus keburukan. Umat akan terlindungi akidahnya, darah, harta, nyawa, serta kehormatannya.
Khilafah tidak dapat muncul secara tiba-tiba. Namun, perlu dilakukan usaha untuk menciptakan persatuan di kalangan umat Islam yang menggerakkan dakwah dengan mengikuti cara yang diajarkan oleh Rasulullah. Islam sebagai dasar atau ideologi memiliki potensi untuk diterapkan dalam negara dan menjadikannya sebagai negara superpower yang kuat. Negara tersebut harus menjaga kesejahteraan dan mengembangkan peradaban yang baik di dalamnya.
Kepemimpinan tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi, individualisme, hedonisme, atau penjajahan. Sebab, kepemimpinan ini berfungsi untuk menjaga amanah dengan menerapkan syariat tanpa terkecuali bagi seluruh umat.
Bumi Syam akan selamat melalui jihad dan khilafah. Gerakan dakwah yang menyerukan penerapan Islam secara menyeluruh harus terus dilakukan untuk membangkitkan kesadaran umat dan menyatukan mereka dalam perasaan serta pemikiran yang serupa.

Posting Komentar