-->

Generasi Rapuh Hasil Pendidikan Sistem Sekuler


Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok 

Sungguh miris! Lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental. Sebagaimana yang diungkap Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan mental dari total 20 juta peserta pemeriksaan kesehatan jiwa gratis (berita.murianews.com, 30/10/2025). Angka tersebut seharusnya menjadi alarm keras generasi kita sedang menghadapi kerapuhan mental mendalam yang tidak bisa dijelaskan hanya oleh satu atau dua faktor saja.

Kerapuhan mental anak hari ini tidak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme dan pendidikan sekuler yang membentuk pola hidup masyarakat. Sistem ini menjadikan materi sebagai standar nilai, hingga anak-anak tumbuh dalam tekanan “harus menjadi sesuatu” yang bersifat duniawi, bukan karena visi hidup, tetapi karena tuntutan sistem. Beban ekonomi keluarga, konflik rumah tangga, dan tekanan gaya hidup semakin memperparah keadaan. Anak tumbuh menyaksikan orang tua yang kelelahan, rumah yang tidak harmonis, dan lingkungan sosial yang menilai manusia dari penampilan luar.

Di saat yang sama, media sosial menjadi percepatan kerusakan mental. Paparan konten negatif seperti pornografi, judi online, pinjol, cyberbullying, trafficking, moderasi pemikiran yang menyesatkan, perbandingan sosial, hingga budaya mencari validasi membuat remaja semakin rentan. Remaja yang sedang mencari jati diri menjadi kelompok paling mudah terseret arus. Tanpa fondasi nilai yang kuat, mereka kehilangan arah.

Lebih disayangkan lagi, negara dengan sistem sekulernya gagal hadir sebagai penjaga. Ekosistem ruang digital tidak dikelola untuk melindungi generasi muda dari konten yang merusak. Akibatnya, cara berpikir, bersikap, bahkan cara beragama remaja banyak dipengaruhi oleh konten yang salah. Lahirlah generasi muda Muslim yang rapuh, terpecah jiwanya, dan semakin sekuler. Semua ini merupakan konsekuensi dari sistem yang memisahkan kehidupan dari nilai-nilai Allah SWT.

Yakinlah, pendidikan sekuler memang mampu mengasah otak, tetapi sering kali mengabaikan jiwa. Sistem ini menilai keberhasilan semata-mata dari capaian akademik dan prestasi duniawi. Anak diarahkan untuk unggul dalam persaingan, meraih nilai tinggi, dan mengejar reputasi. Namun tidak ada upaya serius untuk membentuk kepribadian yang kokoh, menyiapkan mental menghadapi tekanan, atau menanamkan kesadaran bahwa hidup memiliki tujuan yang lebih tinggi. Agama ditempatkan hanya sebagai teori, bukan sebagai asas pembentuk pola pikir dan pola sikap.

Akibatnya, lahirlah generasi muda Muslim yang mungkin cerdas secara teknis, tetapi rapuh secara emosional. Ketika masalah datang, mereka tidak tahu ke mana harus kembali. Pendidikan sekuler memutus hubungan anak dengan Rabb-nya, dan di situlah pondasi kehidupan mereka mulai runtuh.

Lebih dari itu, paradigma kedewasaan ala Barat yang diadopsi Indonesia turut memperparah keadaan. Kedewasaan dipatok berdasarkan usia 18 tahun, sedangkan dalam Islam, kedewasaan ditentukan oleh balig dan kemampuan berpikir (aqil). Karena itu, pendidikan Islam menanamkan tanggung jawab sejak dini. Sementara pendidikan sekuler justru memperlambat kematangan mental dengan menunda pembebanan moral.

Mengapa kurikulum yang merusak generasi penerus ini bisa terjadi? tTdak lain disebabkan berbagai kerusakan yang dilakukan oleh manusia, yakni tiadanya iman, tidak adanya akidah. Dengan kata lain, tidak ada keyakinan terhadap Allah, tidak ada keyakinan manusia akan dibangkitkan di Hari Kiamat untuk dimintai pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan dan dibalas atas apa yang dikerjakan. 

Ketika nilai keimanan hilang, remaja pun kehilangan kebahagiaan hakiki. Akhirnya, lahirlah generasi yang lemah kepribadian dan mudah dipengaruhi. Tidak heran jika mereka rentan terjerat perilaku negative. Buruknya sistem kapitalisme menjadikan pendidikan yang tidak berpijak pada akidah.

Bandingkan dengan sistem pendidikan Islam yang membangun pendidikan di atas akidah. Negara Islam berfungsi sebagai raa’in dan junnah, yang mempunyai visi sebagai penyelamatan generasi. Semua kebijakannya memastikan perlindungan kepada rakyat baik di dunia nyata maupun ruang digital. Negara Islam akan ketat menyaring masuknya konten-konten yang merusak dengan teknologi tercanggih dan menggunakan ruang digital sebagai sarana pendidikan.

Karena akidah bukan sekadar pelajaran, tetapi asas yang mewarnai seluruh proses pembentukan manusia. Tujuan pendidikan Islam pun akan membangun aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah, sehingga anak tumbuh memahami siapa dirinya, apa misinya, dan kepada siapa ia kembali. Dengan paradigma ini, anak memiliki kekuatan menghadapi ujian hidup. Ia tidak mudah runtuh oleh tekanan, tidak kehilangan arah hanya karena gagal. Sebab ia memahami bahwa setiap ujian adalah bagian dari takdir Allah sekaligus sarana untuk meningkatkan ketakwaan.

Islam juga menyiapkan anak menuju fase aqil, yaitu kematangan akal yang dibarengi dengan tanggung jawab atas amal. Karena itu, pendidikan sebelum balig diarahkan untuk mematangkan akal dan karakter, bukan sekadar memenuhi kepala dengan teori. Secara sosial, penerapan sistem Islam pun menghilangkan banyak faktor penyebab stres, sehingga tekanan hidup tidak mudah berubah menjadi krisis jiwa. Dengan kurikulum yang berasaskan akidah dan berorientasi pada pembentukan kepribadian, pendidikan Islam mampu melahirkan generasi yang tangguh, berkarakter, dan berkepribadian Islam.[]