Era Digital dan Pengaruhnya Pada Generasi Muda dan Aktivisme
Oleh : Endang Setyowati
Saat ini, siapa yang tidak kenal smartphone? Pasti kebanyakan lintas generasipun akan tahu yang namanya smartphone. Apalagi anak-anak yang mendapat julukan Gen Z dan Gen Alpha, yang diidentifikasi sebagai digital native karena lahir dan tumbuh di era digital. kebanyakan dari mereka tak lepas dari smartphone.
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang paling dekat dengan teknologi dan media sosial.
Survei Profil Internet Indonesia 2022 oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet (APJII) pada Juni 2022 terhadap lebih dari tiga ribu responden Gen Z menunjukkan bahwa lebih dari 90% mereka mengenal dan menggunakan internet yang mayoritas menggunakan internet untuk mengakses media sosial.
Mereka tumbuh dalam era digital yang memberikan kebebasan berekspresi tanpa batas. Melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, dan lain sebagainya, mereka dapat menampilkan identitas, minat, serta pandangan hidup mereka secara luas.
Namun ternyata di balik kebebasan ini, muncul pertanyaan besar yaitu apakah mereka benar-benar bebas atau justru semakin terjebak dalam tekanan sosial yang diciptakan oleh media sosial itu sendiri?
Yang mana fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memberikan ruang untuk Berekspresi, namun realitasnya sering berbeda bagi Gen Z. Media sosial bukan hanya tempat untuk berekspresi, tetapi juga arena persaingan yang tak terlihat.
Standar kecantikan yang nyaris sempurna, gaya hidup hedon yang dipertontonkan, serta tuntutan untuk selalu tampil menarik sukses menciptakan tekanan yang luar biasa bagi Gen Z. Ibarat seperti pisau bermata dua bagi Gen Z. Di satu sisi, platform seperti Instagram dan TikTok memberi mereka ruang untuk mengekspresikan diri. Namun, di sisi lain, tekanan sosial yang muncul justru sering membatasi kebebasan itu sendiri. Kebebasan berekspresi di media sosial bisa menjadi ilusi jika terus-menerus diukur dari validasi orang lain.
Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, 5,5% remaja usia 10-17 tahun mengalami gangguan mental, dengan rincian 1% mengalami depresi, 3,7% cemas, 0,9% mengalami post-traumatic syndrome disorder (PTSD), dan 0,5% mengalami attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Selain itu, sebuah laporan hasil survei di 26 negara termasuk Indonesia menemukan penggunaan medsos membawa rasa khawatir dan cemas lebih besar pada Gen Z dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.
Dengan data yang menunjukkan bahwa 5,5% remaja mengalami gangguan mental dan penggunaan media sosial meningkatkan rasa cemas pada Gen Z lebih besar dibanding generasi sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa tekanan sosial dari media digital berperan signifikan dalam memperburuk kesehatan mental remaja, bukan sekadar menjadi sarana ekspresi yang bebas.
Selain dampak terhadap kesehatan mental, tekanan ini juga berimbas pada cara Gen Z mengekspresikan diri di media sosial. Mereka tidak hanya merasa cemas, tetapi juga takut menyuarakan pendapat yang berbeda. Hal ini sering kali dibatasi oleh norma, tren, dan tekanan sosial, terutama ketakutan akan perundungan (cyberbullying).
Menurut Polling Indonesia dan APJII, sekitar 49% pengguna internet di Indonesia pernah mengalami perundungan di media sosial. Hal ini menciptakan atmosfer yang tidak aman bagi pengguna lain yang ingin mengekspresikan diri. Survei Indikator Politik Indonesia (2022) juga menunjukkan bahwa 62,9% masyarakat semakin takut mengeluarkan pendapat. Ketakutan ini diperkuat oleh laporan CNN Indonesia (2022) yang menyatakan bahwa mayoritas responden enggan berbicara karena takut dihujat atau dikucilkan di media sosial (detik.news, 21/04/2025).
Gen Z muslimpun ikut terdampak dan mereka masuk dalam asuhan platform digital. Mereka mendapatkan tantangan dalam melakukan aktivitasnya, yang mana dalam konteks budaya digital, dengan kemudahan membangun pergerakan dengan tagar(#) lebih pas kita gunakan dengan istilah aktivisme, yaitu tindakan sadar, terencana, dan terorganisir yang dilakukan seseorang atau kelompok untuk mendorong perubahan sosial, politik, budaya atau lingkungan.
Penguasaan terhadap teknologi digital menjadikan Aktivisme generasi muda tidak lagi hadir dengan format lama. Mereka memakai format baru yaitu protes digital berupa meme, video singkat, film dokumenter, stand up komedi hingga petisi. Aksi digital di media sosial ini berlanjut ke aksi unjuk. rasa turun ke jalan. Generasi muda ini mudah untuk bergerak, karena koneksi mereka tidak terbatas ruang dan tempat.
Mereka hanya berkoordinasi di medsos, namun ribuan orang bisa digerakkan dalam waktu singkat.
Sebagai contoh protes pada tahun 2024-2025 melalui #Indonesiagelap dan #IndonesiaDarurat oleh Asia Research Centre, Universitas Indonesia (ARC UI) dan Research Centre for Politics and Governmen, Universitas Gadjah Ada (POLGOV UGM).
Dan baru-baru ini generasi muda melakukan penggalangan dana dan memberikan bantuan kepada para korban bencana maut di Sulawesi dan Sumatera yang mana penanganan dari negara sangat lambat.
Ciri dari Aktivisme digital Gen Z ini yaitu cair ya gerakan mereka.
Sosiolog Spanyol Manuel Castells menyebut fenomena ini sebagai networked social movements, yaitu pergerakan yang cair tanpa pemimpin tunggal, tetapi justru kuat karena sulit dipatahkan.
Gen Z terjebak dalam Kapitalisme platform, mereka didikte oleh algoritma digital, yaitu serangkaian instruksi, sinyal, dan data yang mengatur cara konten difilter, diberi peringkat, dipilih, dan direkomendasikan kepada pengguna di platform.
Para pemuda menjadi target produk yang sesuai dengan preferensi mereka yang dianggap penting, yang lagi tren siapa yang terlihat dan bagaimana realitas ditafsirkan. Sehingga perilakunya menjadi konsumerisme, Fomo hedonistik, permisif sekuler, liberal dan kapitalistik.
Sudah seharusnya kita menjaga generasi penerus, agar Gen Z dan Gen alpha ini tidak tergerus dengan hegemoni digital yang sekuler dan rakus cuan. Karena hegemoni digital ini membentuk pemuda muslim hanya fokus pada duniawinya saja, misal harus glowing dengan outfit kekinian, matang finansial sebelum menikah serta ukuran meteriel yang sejenisnya.
Sudah seharusnya kita kembali kepada aturan syariat Islam, yang mana bisa membawa kaum muslim kepada perubahan yang hakiki. Karena sebagai umat Islam sudah seharusnya kita mengambil Islam secara total, yaitu tidak memilah-milah syariat seperti sedang makan prasmanan. Mana yang kita suka kita ambil, namun tatkala kita tidak suka justru kita tinggalkan.
Dan pemimpin benar-benar hadir untuk menjaga generasi agar tidak tergerus oleh arus saat ini, karena pemimpin dalam Islam adalah perisai bagi rakyatnya. Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) - nya." (HR Muttafaqun 'alah dll).
Sehingga negara(Khilafah) memiliki kedaulatan digital, yaitu kemampuan negara untuk mengendalikan data, perangkat keras maupun perangkat lunak yang digunakan. Khilafah memiliki Internet sendiri dan akan mengembangkan perangkat lunak maupun perangkat keras sendiri sehingga infrastruktur digitalnya mulai dari properti hingga aksesnya berada di bawah kendalinya. Sehingga negara mampu berkuasa penuh atas konten maupun informasi yang yang beredar di ruang digital.
Sudah seharusnya sebagai kaum Muslim kita menggunakan ruang digital ini untuk dakwah pemikiran agar mewujudkan opini umum yang dibangun atas kesadaran tentang Islam. Sehingga generasi muslim memiliki kesadaran untuk melakukan pembinaan yang menanamkan akidah spiritua(ruhiyah) dan politis(siyasiyah) yang membentuk totalitas dalam syariat dan kesadaran politis sehingga lahirlah kader dakwah baru dari kalangan generasi muda yang tidak tergerus dengan arus Barat.
Sehingga menjadi pemuda pelopor perubahan.
Wallahu a'lam bi showab

Posting Komentar