BERBAGAI BENCANA MENDERA, PENANGANAN LAMBAN DAN INSIDENTAL
Oleh : A. Salsabila Sauma
Banyak kejadian terjadi di Indonesia selama bulan November. Puncaknya ketika banjir bandang dan longsor melanda banyak wilayah di Pulau Sumatra. BNPB menyebutkan sebanyak 50 kabupaten terdampak akibat bencana banjir dan longsor ini.
Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani mengungkapkan faktor utama penyebab bencana banjir hingga longsor di Sumatra adalah tingginya curah hujan pada 21-23 November 2025 dan mencapai esktrem pada 25-27 November 2025 lantaran kemunculan fenomena siklon tropis senyar di sekitar Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat. Dia juga menambahkan, tanah di wilayah setempat tidak mampu menadah tumpahan air hujan ekstrem. Sehingga mengakibatkan banjir dan longsor yang besar. (kompas)
Per 2 Desember 2025, BNPB memperbarui data korban akibat banjir dan tanah longsor di Sumatra. Jumlah korban meninggal 631 jiwa, korban hilang 472 jiwa, dan terluka 2.600 jiwa. Selain itu, terdapat 3,2 juta jiwa korban terdampak dan 1 juta jiwa pengungsi. Rumah dan fasilitas pun ikut terdampak akibat banjir dan longsor besar di Sumatra ini. (detik)
Masalah lain dialami pasca bencana. Proses evakuasi korban terhambat karena terkendala medan. Jembatan penghubung kota yang putus dan hancur mengakibatkan tim evakuasi kesulitan untuk menjangkau wilayah terampak. Para korban pun tidak bisa pergi ke mana pun karena akses ke wilayah lain tertutup banjir dan tanah longsor.
AKIBAT DEFORESTASI
Di Sumatra Barat, tumpukan kayu gelondongan memenuhi area muara dan bibir Pantai Parkit, Kota Padang. Sementara di Sumatra Utara, kayu gelondongan terbawa arus banjir bandang di wilayah Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Sibolga. Sedangkan di Aceh, ditemukan seekor Gajah Sumatra mati dengan kepala tertimbun material yang terbawa banjir. (cnnindonesia)
Berbagai macam video berisi banjir yang membawa kayu gelondongan ini berseliweran di media sosial dan menjadi perbincangan hangat di kalangan warga internet. Masyarakat heran. Mereka bertanya-tanya dari mana asal kayu gelondongan itu karena air sederas apapun tidak mungkin bisa membelah pohon dengan bentuk serapih itu.
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada, Hatma Suryatmojo, menduga ada dosa deforestasi masif dibalik banjir bandang hingga longsor yang melanda wilayah Sumatra. Hatma menilai curah hujan ekstrem hanya pemicu awal. Menurut beliau, rusaknya ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai yang menghilangkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pangkal untuk meredam curah hujan tinggi. Hatma mengungkapkan ini akibat maraknya konsesi dan aktivitas perusahaan, mulai dari penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas. (cnnindonesia)
Deforastasi tertinggi terjadi di wilayah Sumatra. Pada tahun 2024, deforestasi di wilayah Sumatra Barat mencapai 32 ribu hektar dan hanya menyisakan wilayah hutan di area lereng curam Bukit Barisan, yang jika terus berkurang, risiko tanah longsor dan banjir bandang naik
Hatma Suryatmojo mengungkapkan bahwa peraturan penataan dan pengendalian kawasan berdasarkan fungsi tidak pernah berjalan dan sangat lemah. Akibatnya marak perambahan hutan dan ahli fungsi lahan hutan menjadi kebun sawit serta _illegal logging_ di kawasan hulu. Hal ini menyebabkan berbagai bencana hidrometeorologi kerap muncul di wilayah tersebut. (cnnindonesia)
TATA KELOLA LINGKUNGAN YANG TERUS MEMBURUK
Ini bukan musibah alam. Ini bencana ekologis akibat buruknya tata kelola lingkungan hidup dan pemanfaatan SDA. Hutan digunduli, sungai didangkalkan, bukit dikeruk. Pemerintah harus menghentikan akar bencana”, kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Aceh, Ahmad Shalihin. Beliau mengatakan bahwa ini merupakan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalu investasi ekstraktif. (beritasatu)
Deforestasi terus terjadi. Hutan dibabat habis untuk dijadikan kebun kelapa sawit, pertambangan, dan perminyakan tanpa mau memperhatikan dampak jangka panjangnya, Ini tidak hanya terjadi di wilayah Pulau Sumatra melainkan hampir di seluruh hutan di Indonesia. Otoritas pemerintah pun nampaknya tidak memusatkan perhatian ke sini sebab kebijakan yang dikeluarkan terhadap tata kelola lingkungan justru semakin lemah dan merosot.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan cadangan gambut tropis terbesar di dunia. Umumnya, fakta ini mengharuskan pemerintah untuk menempatkan perhatian khusus kepada hal tersebut. Ekosistem gambut harusnya dijaga karena manfaatnya terhadap mitigasi bencana alam. Apabila terjadi kerusakan pada ekosistem gambut, dampaknya akan langsung dapat dirasakan masyarakat. Mulai dari peningkatan risiko banjir, penurunan permukaan tanah (subsiden), hingga pelepasan gas rumah kaca yang memperparah perubahan iklim. Kerusakan gambut juga dapat mengurangi cadangan air tawar.
Sayangnya, otoritas pemerintah tidak ada yang serius menangani hal ini. Dari pada rehabilitasi, para pemangku kebijakan malah lebih memilih berkonsentrasi pada segelintir elit dengan membebaskan mereka mengeruk sumber daya alam. Bukannya mencegah ketika mengetahui dampak buruk dari investasi ekstraktif, otoritas pemerintah yang malah memuluskan prosesnya. Tidak peduli meski bencana akan tiba segera setelah kesepakatan dijalankan.
Kebijakan publik mudah sekali dibajak kepentingan sempit. Proyek pembangunan yang mengatasnamakan rakyat justru yang paling rentan menyakiti mereka. Segala kebijakan yang disahkan hanya untuk memuaskan segelintir elit dan menelantarkan kesejahtaraan rakyat. Kondisi ini persis sebagaimana sistem kapitalisme itu berjalan.
TATA KELOLA LINGKUNGAN DALAM ISLAM
Krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini menuntut respons kolektif dari umat Islam berdasarkan prinsip-prinsip keislaman dan kekhilafahan. Dalam konsep ekologis, Islam mengembangkan konsep-konsep khusus yang relevan dengan isu-isu lingkungan kontemporer, seperti hima (kawasan lindung) yang merujuk pada praktik Nabi Muhammad SAW yang menetapkan kawasan-kawasan tertentu sebagai area lindung dimana eksploitasi sumber daya alam dibatasi demi kemaslahatan umum. (mui)
Terdapat beberapa prinsip utama yang dapat menjadi kerangka praktis bagi umat Islam dalam mengelola lingkungan. Pertama, prinsip tauhid yang menuntut pengakuan bahwa segala bentuk eksploitasi lingkungan yang melampaui batas merupakan bentuk kesyirikan ekologis—menempatkan kepentingan manusia di atas kehendak Allah SWTT terhadap ciptaan-Nya. Kedua, prinsip khilafah yaitu peran manusia sebagai penanggung jawab atas keberlanjutan bumi. Ketiga, prinsip ekologis yang mengharuskan distribusi manfaat SDA secara merata dan melakukan pencegahan kerusakan lingkungan yang mempengaruhi kelompok marjinal. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Islam dan lingkungan adalah hubungan spiritual yang mencerminkan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.
Dengan demikian, umat Islam perlu kembali pada pemahaman menyeluruh tentang tugasnya sebagai khalifah. Islam mengajarkan sikap disiplin menjaga lingkungan dan ini akan muncul secara naluriah apabila negara juga ikut serta melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Kemudian saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyitas mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana. Bukan pengabaian seperti yang dilakukan otoritas saat ini. Apabila itu Negara Islam, sang khalifah pasti menjamin kesejahteraan rakyatnya terpenuhi
Wallahu’alam bi showab

Posting Komentar