Gen-Z : Tidak Masalah Tidak Menikah, Daripada Hidup Susah
Oleh : Asha Tridayana
Tidak dipungkiri, keadaan perekonomian masyarakat sekarang tidak semakin membaik justru kesulitan hidup semakin bertambah. Hal ini juga dialami para Gen Z sekalipun diliputi kecanggihan teknologi tetapi kehidupannya masih serba susah. Apalagi tidak jarang yang malah terjebak dan terjerumus dalam digitalisasi karena tidak mampu mengontrol diri seperti pinjol, judol dan lain sebagainya demi memenuhi eksistensi diri. Sehingga bagi Gen Z untuk mencapai kondisi ekonomi yang dinilai stabil sangatlah sulit bahkan dapat dikatakan mustahil. Dampaknya, banyak Gen Z memilih lebih fokus bekerja dan menunda menikah dengan alasan belum mapan daripada harus hidup miskin bersama pasangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa pendapatan per kapita Indonesia tahun 2024 mengalami kenaikan menjadi Rp 6,55 juta per bulan namun kebutuhan hidup juga tinggi. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia sehingga kenaikan pendapatan tidak signifikan memberikan perubahan. Selain itu, Gen Z dianggap lebih konsumtif, implusif dan hedonisme sekalipun kesadaran menabung sudah ada tetapi tidak konsisten dan displin sehingga tetap belum dapat mencukupi kebutuhan hidup. Disisi lain, angka pernikahan justru menurun drastis sejak 2023. Menurut Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Unair, Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog bahwa faktor yang mendasari tidak lain adanya pemberdayaan perempuan, kemiskinan dan ketidaksiapan fisik, mental dan finansial (www.kompas.com 22/11/25).
Tidak hanya itu, mayoritas Gen Z juga beranggapan bahwa menikah bukan lagi prioritas justru kestabilan finansial yang menjadi fokus saat ini. Mereka mengesampingkan keinginan berkeluarga dan tidak menanggapi tuntutan segera menikah. Sehingga istilah marriage is scarry menjadi benar adanya karena kehidupan setelah menikah tentu menuntut kondisi ekonomi yang jauh lebih stabil. Pergeseran orientasi Gen Z tidak sekadar tren sesaat tetapi memang berdasarkan fakta perekonomian sekarang yang menunjukkan beban hidup semakin kompleks seperti tingginya harga kebutuhan, biaya hunian ditambah lagi persaingan kerja yang semakin ketat. Hingga pada akhirnya berpikir bahwa dengan menunda menikah menjadi jalan untuk bertahan hidup.
Terlebih adanya perubahan nilai yang dirasakan Gen Z bahwa berkarir dan berpendidikan tinggi atau memiliki kebebasan hidup menjadi lebih bermakna daripada sebuah pernikahan. Menikah bukan satu-satunya kunci kebahagiaan karena kesehatan mental, psikologis dan kualitas hidup lebih penting untuk dicapai. Apalagi melihat realita bahwa ketidakmampuan dalam hal materi akan lebih memperburuk keadaan daripada tidak menikah. Bahkan pernikahan dapat berujung perceraian akibat faktor ekonomi yang tidak terpenuhi. Data BPS menunjukkan sekitar 100.198 kasus perceraian karena masalah keuangan (www.kompas.id 27/11/25).
Memang hidup di era modern semakin besar tantangannya. Kemajuan teknologi justru menuntut lebih banyak pengeluaran materi untuk mencukupi kebutuhan atau sekadar memuaskan keinginan. Apalagi mekanisme pengaturan hidup yang melingkupi masyarakat justru membawa kerusakan, tidak lain sistem kapitalisme. Segala hal dinilai berdasarkan materi sementara laju perekonomian dikuasai para pemodal/kapitalis. Mereka yang menentukan nilai di pasaran akibatnya biaya hidup semakin tinggi mengikuti prinsip ekonomi kapitalis. Sementara lapangan pekerjaan dipersulit dengan upah yang minim. Karena bagi kapitalis, tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sebisa mungkin ditekan agar keuntungan maksimal. Sehingga semakin kompleks ketakutan yang dirasakan masyarakat terlebih Gen Z jika harus hidup miskin yang serba kekurangan.
Keruwetan hidup masyarakat seharusnya menjadi perhatian khusus negara sebagai institusi yang berwenang dalam membuat kebijakan. Namun, faktanya negara tidak berdaya dan berlepas tangan dalam menjamin kelangsungan hidup rakyat. Bahkan berpihak pada kapitalis dengan dalih membuka peluang usaha dengan menjalin kerja sama. Padahal negara tidak lebih hanya sebagai regulator yang memuluskan kapitalisasi sektor-sektor penting negara. Pada akhirnya kesejahteraan rakyat dirampas dan seluruh beban hidup menjadi urusan masing-masing individu.
Tidak hanya itu, kapitalisme juga telah merusak tatanan pendidikan menjadi sekuler. Akibatnya terjadi perubahan gaya hidup masyarakat menjadi materialis, hedon, dan konsumtif. Ditambah kemudahan akses media yang menggiring dan mempengaruhi pemikiran masyarakat pada nilai-nilai kebebasan. Sehingga bukan hal mustahil, pemahaman masyarakat teracuni dan semakin jauh dari syariat Islam yang semestinya menjadi landasan dalam setiap aktivitas. Terlebih Gen Z yang dinilai lebih labil dan mudah terbawa arus digitalisasi semakin rawan terjerumus persoalan.
Termasuk anggapan terkait pernikahan yang menjadi beban dan memperparah kondisi finansial. Sehingga masyarakat ataupun Gen Z berpandangan lebih baik tidak menikah karena takut hidup susah. Padahal pernikahan merupakan ibadah seumur hidup dan jalan melanjutkan keturunan. Tidak sebatas menghabiskan materi tanpa tujuan, justru melalui pernikahan pintu rejeki semakin terbuka dengan keridhoan Allah swt. Kebahagian dalam pernikahan juga tidak dinilai dengan pencapaian atau kepemilikan sesuatu melainkan kebersamaan dalam menjalankan syariat Islam.
Hal demikian hanya dapat terwujud saat negara menyadari posisinya sebagai periayah rakyat termasuk menjamin kesejahteraan hidup. Melalui jaminan lapangan kerja dengan upah memadai, kebutuhan pokok tercukupi bahkan hunian yang layak dan terpenuhinya sederet kebutuhan dasar dan komunal lainnya. Tentu dengan penerapan sistem ekonomi Islam bukan sistem ekonomi kapitalis yang menyengsarakan. Negara memiliki pembiayaan yang jelas sesuai kebutuhan rakyat dan ketentuan syariat. Termasuk kepemilikan umum yang dikelola oleh negara bukan swasta/asing sehingga hasil yang diperoleh dapat diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat dan mampu menekan biaya hidup.
Kemudian dari sisi pendidikan, negara mampu mencetak generasi yang berkepribadian Islam dan tidak mudah terjebak pada gaya hidup hedonisme dan materialisme. Karena negara menjadikan akidah Islam sebagai poros kehidupan dan membentuk kesadaran untuk senantiasa terikat dengan hukum syara'. Dengan begitu, generasi muda dapat menjadi penyelamat umat yang mampu melihat persoalan hidup dari akar masalahnya. Bukan terpengaruh apalagi ketakutan terhadap kemungkinan yang tidak pasti. Mereka lebih fokus pada tujuan hidup hakiki yakni keridhoan Allah swt.
Pembentukan karakter semacam ini tidak terjadi secara instan tetapi bertahap melalui peran keluarga yang menjadi madrasatul ula. Kemudian negara juga mendorong orang tua untuk senantiasa terlibat terutama seorang ibu yang memiliki waktu untuk mendidik anak-anaknya bukan teralihkan dengan bekerja dan sejenisnya. Sehingga pondasi keluarga menjadi kuat, gambaran realita pernikahan menjadi lebih bermakna dan terindera oleh anak sebagai generasi muda. Pemahaman pernikahan merupakan ibadah dan penjagaan keturunan dapat terealisasi. Bukan menjadi ketakutan apalagi menambah beban hidup.
Wallahu'alam bishowab.

Posting Komentar