-->

DI BALIK BERBAGAI BENCANA YANG KEMBALI MENYAPA


Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Indonesia berduka. Berbagai Bencana mendera, rakyat semakin menderita. Terjadi banjir, longsor, hingga puting beliung di beberapa daerah.
Bencana tanah longsor terjadi di Cilacap, Presiden pun menginstruksikan harus segera ditangani (www.mediaindonesia.com, Sabtu 15 November 2025) (1). Di Banjarnegara juga terjadi bencana longsor (www.cnnindonesia, Senin 17 November 2025) (2). Banyak warga menjadi korban dan belum terevakuasi (www.mongabay.co.id, Rabu 19 November 2025) (3). 18 orang meninggal saat longsor di Cilacap (www.bbc.com, Selasa 18 November 2025) (4), ada 2 korban yang belum ditemukan-padahal evakuasi sudah masuk hari ke-10 (www.mediaindonesia.com, Sabtu 22 November 2025) (5).
Di Kepulauan Seribu pun dilanda banjir rob, melanda 5 RT (www.antara.com, Ahad 23 November 2025) (6). Banjir pun terjadi di Sulawesi Tengah, di daerah Toli-Toli, Morowali Utara dan Buol; yang juga mengalami bencana angin puting beliung dan abrasi pantai. Dan bencana paling dahsyat adalah banjir yang Padang Pariaman, Sumbar; yang cakupan wilayahnya lebih luas (www.cnnindonesia.com, Minggu 23 November 2025) (7). BNPB dan BPBD kesulitan dalam proses evakuasi akibat kendala cuaca, medan, dan keterbatasan tim.

Penanganan bencana lamban, menunjukan sistem mitigasi masih lemah dan tidak komprehensif; baik pada tataran individu, masyarakat dan negara. Setelah sekian hari, bencana longsor di Cilacap masih ada yang belum dievakuasi, begitu juga di Banjarnegara. Terlebih di Sumatera yang cakupannya lebih luas dan dampaknya lebih parah. Pemerintah sebagai penanggung jawab penanganan kebencanaan tidak serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif dalam mitigasi bencana, karena dalihny selalu berujung pada keterbatasan dana.
Bencana alam banyak terjadi akibat kesalahan tata kelola ruang hidup dan lingkungan. Terutama di daerah Sumatera. Karena terbukti banjirnya banyak membawa kayu gelondongan yang jelas jenis pohon-pohon yang berasal dari penebangan liar (ilegal logging).

Organisasi lingkungan seperti WALHI menyatakan bahwa gelondongan kayu yang hanyut itu adalah hasil penebangan liar (illegal logging) dari aktivitas perusahaan di kawasan hutan Batang Toru, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah; yang ada tujuh perusahaan (www.tribunnews.com, Minggu 30 November 2025) (8). Dampak ilegal logging ini mengurangi fungsi hidrologis hutan sebagai penyangga air. Ini menunjukkan lemahnya negara dalam mengawasi tata kelola hutan, yang seharusnya menjadi benteng alami terhadap bencana hidrometeorologi. Korporasi itu berjumlah tujuh, yakni:
 Tambang emas PT. Agincourt Resourches (Martabe) di Tapanuli Selatan
 PLTA North Sumatera Hydro Energy di Tapanuli Selatan
 PT Pahae Julu Micro-Hydro Power atau PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Hidro Mikro) Pahae Julu
 Geothermal PT SOL atau PT SOL Geothermal Indonesia di Tapanuli Utara
 Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) PT Toba Pulp Lestari di Tapanuli Utara
 Perkebunan Sawit PT. Sago Nauli di di Tapanuli Tengah
 Perkebunan Sawit PTPN III Batang Toru di di Tapanuli Selatan
WALHI Sumut pun menuntut pemerintah agar segera memeriksa seluruh izin perusahaan tersebut karena telah merusak lingkungan yang berdiri di kawasan hutan Harangan Tapanuli.

Inilah ciri khas negara sekuler kapitalistik. Tidak akan pernah maksimal memitigasi bencana karena keterbatasan dana, karena saat melayani rakyat selalu berhitung untung rugi. Negara kapitalisme selalu memprioritaskan pelayanan pada para kapitalis alias perusahaan-perusahaan pelaku ilegal logging yang telah merusak hutan dan mengakibatkan kerusakan lingkungan sehingga menyebabkan bencana banjir bandang. Bahkan mereka diberikan HKN (Hak Konsesi Hutan/hak pengelolaan) selama bertahun-tahun, sedangkan negara menutup mata terhadap dampaknya pada rakyat. Kapitalisme telah menempatkan negara sebatas regulator/pembuat aturan, meninggalkan peran sejatinya sebagai pelayan rakyat; tapi malah jadi pelayan oligarki. Sungguh sebuah kezaliman yang nyata, pengkhianatan pada rakyat.
Penting melihat solusi Islam untuk mengatasi hal ini. Karena Islam berasal dari Allah Sang Pencipta, sehingga aturan-Nya pas solutif untuk menyelesaikan problem manusia. Ini karena Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk manusia. Dengan melaksanakan aturan-Nya, manusia telah menunaikan tujuan dan misinya hidup di dunia; sesuai firman-Nya :
“Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Terjemah Al-Qur’an surat Az-Zariyat : 59).
Wujud ibadah yang hakiki adalah dengan melaksanakan semua perintah-Nya, menjauhi semua larangan-Nya; yaitu dengan bertakwa. Sesuai firman-Nya :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah Islam secara keseluruhan dan jangan ikuti langkah-langkah setan..” (Terjemah Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 208).
Dan yang bisa mewujudkan Islam kafah (penerapan menyeluruh) adalah Khilafah, sebagai insitusi negara Islam pelindung Islam dan umat Islam.

Paradigma Islam soal bencana memiliki dua dimensi (ruhiyah dan siyasiyah). Dimensi ruhiyah, memaknai bencana sebagai tanda kekuasaan Allah, sehingga manusia harus menerimanya sebagai wujud imannya pada masalah Qadha Qadar alias takdir. Edukasi ruhiyah dengan memahamkan ayat-ayat dan hadits terkait bencana akibat ulah manusia, merusak alam itu dosa dan membahayakan kehidupan, dan lain-lain. Ini menjadi tanggungjawab Khilafah untuk mengadakan edukasi masif tentang hal ini, melalui penyelenggaraan pendidikan yang dilakukannya; baik secara formal maupun non formal.

Sedangkan dimensi siyasiyah terkait kebijakan tata kelola ruang dan mitigasi bencana. Khilafah akan melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif dalam rangka menjaga keselamatan jiwa rakyatnya. Saat bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab memberikan bantuan secara layak, pendampingan, hingga para penyitas (warga yang selamat) mampu menjalani kehidupannya secara normal kembali pasca bencana.

Dalam pandangan Islam, seluruh bumi adalah milik Allah SWT. Sehingga pengelolaannya harus sesuai amanah Allah sesuai syariat-Nya yang pasti akan menjamin keberlanjutan lingkungan dan kemaslahatan umat, karena aturan-Nya mustahil menzalimi hamba-Nya. Khilafah akan melaksanakan paradigma riayah (pelayanan) sebagai sebuah negara, bukan paradigma transaksional; sehingga Khilafah akan melakukan mitigasi bencana secara serius untuk melindungi nyawa rakyat. Upaya ini bukan sekadar prosedur teknis, melainkan kesadaran atas dorongan akidah Islam dalam mengemban amanah kepemimpinan dari Allah Taala.
Nyawa manusia dalam pandangan Islam memiliki kedudukan mulia. Harus dijaga dan tidak boleh dikorbankan karena kelalaian tata kelola wilayah. Firman-Nya dalam QS Al-Maidah ayat 32 :
“Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Khilafah juga menerapkan politik ekonomi Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani. Di sana dijelaskan bahwa tata kelola ruang hidup dalam Islam adalah merupakan bagian dari kewajiban negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sesuai syariat. Kepemilikan umum seperti air, hutan, sungai, dan seluruh Sumber Daya Alam (SDA); tidak boleh diprivatisasi oleh individu atau korporasi.
 
Pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, yaitu Khilafah, dan hasilnya sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk untuk menyediakan sarana mitigasi bencana secara maksimal. Sesuai hadis Nabi :
“Kaum muslim berserikat (memiliki) bersama akan tiga hal : air, tanah (termasuk hutan), dan api (sumber energi)”.
Ini karena bisa menghalangi pemanfaatannya bagi masyarakat luas, sehingga bisa menutup peluang kerusakan lingkungan yang biasanya muncul akibat orientasi kapitalisasi dan eksploitasi lahan.

Pada aspek manajemen bencana, yang pertama dilakukan Khilafah adalah melakukan pencegahan kerusakan lingkungan dan meminimalkan risiko bencana. Ini mengacu pada penjelasan Imam Al-Mawardi rahimahullah dalam kitabnya, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Beliau menguraikan secara terperinci tanggung jawab dan kewajiban seorang pemimpin atau kepala negara (imam/khalifah), yang utamanya adalah menjaga ketertiban umum dan melindungi wilayah kekuasaannya dari segala bentuk mafsadat (kerusakan, keburukan, atau kejahatan). Khilafah akan memastikan kawasan lindung atau area konservasi atau kawasan resapan tidak dikonversi sembarangan, yang dapat mengubah siklus hidrologi. Jadi, riset-riset para ilmuwan, betul-betul digunakan Khilafah dalam pertimbangannya mengambil keputusan dalam konversi lahan.
Fase kedua yang dilakukan Khilafah adalah mitigasi, dengan melakukan kajian risiko bencana, konservasi ekosistem, hingga melakukan penguatan infrastruktur. Ini juga dilakukan pada masa pemerintahan Islam, yaitu pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Baghdad dirancang dengan sistem jaringan kanal pengendali banjir dan sistem drainase radial yang bisa menyesuaikan terhadap curah hujan tinggi. Di aliran Sungai Trigris, sistem hidrologi kota dikelola secara terintegrasi yang dihubungkan dengan kanal-kanal buatan untuk mencegah banjir. Di Andalusia pun dibangun kanal dan bendungan dengan prinsip konservasi air sehingga mampu melindungi masyarakat dari ancaman banjir maupun kekeringan. Akses air diatur secara kolektif oleh negara dengan sistem siyasa al-ma’ (kebijakan tata kelola air). Pada masa Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, bangunan di Istanbul menyesuaikan dengan kondisi geologinya yang berada pada zona patahan, maka dirancang dengan timber frame system (hımış), yaitu sistem struktur fleksibel yang tahan guncangan gempa. Masjid Süleymaniye dan banyak hunian Utsmani terbukti mampu bertahan dari gempa besar selama berabad-abad.
Fase ketiga yang dilakukan Khilafah adalah kesiapsiagaan dan peringatan dini. Khilafah menyiapkan masyarakat dengan memberikan edukasi kebencanaan, mekanisme evakuasi, dan perangkat peringatan dini.
Fase keempat yang dilakukan Khilafah adalah fase tanggap darurat. Khilafah akan menanggung penuh seluruh kebutuhan korban hingga aktivitas bisa normal kembali.

Khilafah juga akan melakukan fase kelima yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi; yang dilakukan dengan cepat, terukur, dan tidak boleh menimbulkan beban tambahan pada masyarakat. Khilafah membiayai pembangunan infrastruktur, rumah masyarakat yang terdampak, serta serangkaian kegiatan lainnya untuk memulihkan wilayah yang mengalami bencana.

Semua pendanaan yang dibutuhkan dalam proses manajemen bencana, diambil dari pos Baitulmal. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah menyatakan bahwa Baitulmal ada bagian Seksi Urusan Darurat/Bencana Alam (Ath-Thawaari), yang akan selalu memberikan bantuan kepada kaum muslim pada setiap kondisi darurat/bencana mendadak yang menimpa mereka. Biayanya diambilkan dati pos fai dan kharaj, serta dari (harta) pemilikan umum. Dana ini dapat digunakan untuk seluruh fase manajemen bencana. Ketika dana tidak mencukupi, Khilafah akan melakukan pemungutan pajak (dharibah) dari warga kaya yang muslim saja, sebagai mekanisme pendanaan darurat; yang tidak akan ditarik lagi jika bencana telah teratasi. Sistem pendanaan tersebut memastikan penanganan bencana tidak terhambat anggaran. Khilafah tidak akan mengandalkan utang luar negeri atau skema korporasi, karena haram hukumnya. Seluruh pembiayaan pencegahan dan mitigasi bencana merupakan tanggung jawab negara, yaitu Khilafah, sebagai pelayan umat.
Semua dilakukan dalam struktur administrasi dalam Khilafah bercirikan tiga hal mendasar : yaitu kesederhanaan aturan, kecepatan dalam pelayanan, dan ditangani orang profesional di bidangnya masing-masing. Berbeda dengan rantai birokrasi hari ini yang begitu panjang, ribet, dan mumet. Proses distribusi bantuan menjadi lebih sigap, tepat waktu, dan terarah.
Demikianlah detil Islam dalam pencegahan dan mitigasi bencana, yang hanya bisa dilakukan oleh penerapan Islam kafah dalam naungan Khilafah.
Wallahualam Bisawab

Catatan Kaki :
(1) https://mediaindonesia.com/nusantara/830695/tanah-longsor-cilacap-presiden-minta-penanganan-korban-dipercepat
(2) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20251117110218-20-1296258/27-warga-diduga-masih-tertimbun-longsor-di-banjarnegara
(3) https://mongabay.co.id/2025/11/19/longsor-cilacap-dan-banjarnegara-bagaimana-mitigasi-bencana/
(4) https://www.bbc.com/indonesia/articles/cq839n53d2lo
(5) https://mediaindonesia.com/nusantara/832865/2-korban-longsor-cilacap-belum-ditemukan-operasi-masuki-hari-ke-10
(6) https://www.antaranews.com/berita/5260957/banjir-rob-landa-kepulauan-seribu
(7) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20251123183938-20-1298629/banjir-kepung-sejumlah-wilayah-sulteng-aceh-hingga-sumbar/amp
(8) https://m.tribunnews.com/regional/7761056/kenapa-banjir-bandang-di-sumatera-membawa-ribuan-kayu-gelondongan