-->

PRIHATIN MARAKNYA PERCERAIAN


Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Memprihatinkan, perceraian kini semakin marak. Yang paling viral adalah perceraian selebritis Raisa Adriana dan Hamish Daud, juga pasangan youtuber Dae Hoon dan June yang cukup mengguncang publik. Data perceraian yang ditunjukkan Kemenag RI cukup tinggi. Pada tahun 2024, Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung mencatat ada 446.359 kasus perceraian. Jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada 2023, angka perceraian ada 408.347 kasus. Sedangkan pada periode yang sama, jumlah perkawinan yang dicatat oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag pada 2024 ada 1.478.424 pencatatan nikah, yang menurun drastis dibandingkan 2023 tercatat 1.577.493 pencatatan nikah (www.detik.com, Rabu 23 April 2025) (1).

Dampak perceraian terasa pada seluruh anggota keluarga; baik suami, istri, dan terutama anak-anak. Ada dampak finansial; dampak psikis seperti stres, depresi, kehilangan kepercayaan diri; hingga dampak sosial seperti status janda dan duda yang masih dianggap sebagai aib di tengah masyarakat. Bagi anak, dampaknya pada perkembangan anak, yang memicu terganggunya Kesehatan mental; seperti tidak percaya diri, merasa dikucilkan dan diabaikan orang tua serta keluarga besar serta masyarakat. 

Sering dijumpai anak korban perceraian ditelantarkan saat masing-masing orang tuanya bertemu pasangan baru, bahkan dititipkan pada saudara yang abai dalam mendidiknya. Tidak ada pendidikan ketakwaan dan adab, serta sentuhan kasih sayang. Sehingga wajar mereka miskin akhlak dan adab, sehingga menjadi pelaku kriminal seperti seks bebas, narkoba, bullying, dan berbagai jenis kriminalitas yang biasa dilakukan orang dewasa. 

Maraknya perceraian juga berdampak pada pandangan generasi tentang pernikahan. Berkeluarga tidak lagi menjadi impian. Berkembanglah pemikiran liberal tentang pernikahan seperti : “Buat apa menikah jika ujungnya bercerai?” “Cukuplah sekadar teman, tapi mesra,” gaya hidup kohabitasi (kumpul kebo, pria Wanita tinggal satu rumah tanpa ikatan pernikahan), gaya hidup seks bebas, dan sebagainya; yang marak di kalangan muda. Maka tidak heran jika angka pernikahan di Indonesia turun drastis. 

Pemerintah pun sudah melakukan upaya untuk menekan angka perceraian. Menurut Menag Nazaruddin Umar, penurunan jumlah kasus perceraian beriringan dengan peningkatan pelaksanaan bimbingan perkawinan yang merata di seluruh Indonesia, ini berdampak pada penurunan perceraian. Yang sebelumnya ada 463.654 kasus perceraian, pada 2023 atau turun 10,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2024, angkanya turun lagi 14,9% menjadi 394.608 kasus perceraian (www.katadata.com, Rabu 12 November 2025) (2). Tapi walaupun begitu, angka perceraian tetap tinggi walaupun turun sedikit. Mengapa demikian? Karena pemerintah dalam melihat penyebab perceraian terlalu sempit, sekadar fokus pada internal anggota keluarga, yaitu suami dan istri. Padahal keluarga adalah institusi terkecil dalam sistem kehidupan bernegara. Keluarga merupakan bagian dari sistem besar negara, sehingga tidak berdiri sendiri. Sehingga sangat naif jika menyelesaikan persoalan keluarga tanpa mengaitkan dengan sistem yang melingkupinya.

Saat ini sistem sekuler kapitalisme menjadi tempat bernaung keluarga-keluarga di negara ini. Standarnya manfaat yang bernilai materi. Sehingga banyak pasangan yang menikah bukan untuk menyempurnakan ibadah, melainkan hanya untuk memuaskan syahwat dan mendapat manfaat materi. Saat manfaat sudah tidak ada dalam pernikahan tersebut, mereka mudah bercerai. Ini karena sistem pendidikan sekuler kapitalisme tidak menanamkan pentingnya nilai ibadah dalam pernikahan.

Sistem sekuler kapitalisme juga melegalkan perilaku serba bebas yang memicu syahwat dan menciptakan perselingkuhan di luar rumah demi meraih kenikmatan sesaat. Ini karena ada nilai menyimpang yaitu HAM (Hak Asasi Manusia); sehingga seks bebas, selama suka sama suka, tidak akan dijerat hukum. Sekuler kapitalisme juga menambah beban ekonomi bagi rakyat. Pajak tinggi, lapangan kerja yang sempit berdampak PHK masal, harga-harga meroket; membuat rumah tangga rakyat semakin sengsara. Pernikahan pun semakin terasa menjadi beban yang berat.

Perlu Kembali ke Islam dalam memberi solusi tuntas tentang permasalahan ini. Dalam Islam, keluarga mempunyai penting dalam menata peradaban suatu bangsa. Kehancuran keluarga akan berpengaruh pada kehancuran masyarakat. Karenanya, butuh ditopang oleh penerapan Islam sebagai sebuah system, yang hanya bisa diterapkan oleh Khilafah.

Islam mengatur pembentukan keluarga melalui pernikahan. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya An-Nizham al-Ijtima'i fi al-Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam) menjelaskan bahwa pernikahan adalah pengaturan hubungan antara pria dan wanita berdasarkan syariat Islam, untuk melampiaskan syahwat secara halal (memenuhi gharizatun nau'/naluri ketertarikan pada lawan jenis) untuk melestarikan keturunan . Ini berdasarkan firman Allah SWT :
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar-Rum [30]: 21).
Ayat di atas menunjukkan bahwa pernikahan dalam Islam bukan sekadar penyatuan dua individu, tetapi juga wadah menumbuhkan ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Kehidupan rumah tangga dalam Islam adalah kehidupan persahabatan antara suami istri, bukan hubungan atasan dan bawahan seperti di perusahaan.

Khilafah akan memperkokoh pernikahan dengan penerapan Pendidikan berdasarkan akidah Islam. Mulai pendidikan dini dalam lingkup keluarga dengan menyiapkan pendidikan anak sesuai fase usia mereka dan pola pengasuhan sesuai jenis kelamin anak. Pendidikan anak laki-laki untuk menjadi pemimpin dan anak perempuan sebagai seorang calon ibu. Pola ini akan membentuk pemahaman mengenai konsekuensi hukum pada setiap fase hidup manusia; mulai dari usia dini, mumayiz, prabalig, balig, hingga menikah.khilafah pun akan menerapkan kurikulum akidah Islam pada pendidikan formal, untuk membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami. Kurikulum yang diterapkan Khilafah juga bermuatan skill bagi penguatan karakter pemimpin pada laki-laki dan karakter keibuan pada perempuan. 

Khilafah juga akan menjamin informasi yang ada di media cetak maupun media sosial, tidak akan merusak pemikiran umat Islam; bersih dari ide-ide liberal, kekerasan, dan pornografi. Tidak seperti sekarang, Media sosial dan media cetak yang ada justru dibanjiri pornografi dan sarat nilai-nilai liberal yang memicu pada pergaulan yang rusak. Khilafah berperan sentral sebagai (1) junnah (perisai) yang akan melindungi ideologi dan ajaran Islam dari bahan olok-olok dan hinaan, (2) filter informasi dari yang informasi yang tidak penting, sampah, bahkan merusak, dan (3) corong informasi Islam bagi dunia dalam negeri maupun luar negeri.

Khilafah juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang berpengaruh memperkuat ketahanan ekonomi keluarga karena menjamin setiap individu mendapatkan kesejahteraan. Khilafah menciptakan lapangan pekerjaan bagi kaum laki-laki agar mereka mampu menafkahi keluarganya, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan—jika dibutuhkan—Khilafah akan memberikan bantuan modal. Maka para ibu bisa fokus mengurus rumah tangga dan mendidik putra putrinya tanpa “dipaksa” bekerja. Bekerja bagi mereka adalah pilihan, bukan keterpaksaan.

Demikianlah detil solusi Islam dalam membangun ketahanan keluarga dan menekan angka perceraian, yang hanya terwujud dengan penerapan Islam secara kafah (menyeluruh) dalam naungan Khilafah. 

Wallahualam Bisawab

Catatan Kaki :
(1) https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7882041/angka-perceraian-meningkat-menag-usul-uu-perkawinan
(2) https://katadata.co.id/berita/nasional/6913471e19f85/jumlah-kasus-perceraian-di-indonesia-turun-dua-tahun-berturut-turut