-->

Lonely in the Crowd dan Sunyi yang Tak Terlihat

Oleh : Meidy Mahdavikia

Di era digital yang serba terhubung, kesepian justru menjadi penyakit baru yang menjalar tanpa disadari. Setiap hari, jutaan pengguna membagikan momen, tawa, dan curahan hati di media sosial, tetapi banyak di antara mereka yang merasa kosong dalam kehidupan nyata. Fenomena inilah yang diangkat dalam penelitian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berjudul Loneliness in the Crowd : Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual.

Menurut laporan Detik.com (18/9/2025), riset tersebut menunjukkan bahwa konten di platform seperti TikTok kerap menimbulkan perasaan terhubung secara semu. Pengguna merasa seolah memiliki banyak ruang interaksi dan pertemanan, padahal hubungan itu tidak benar-benar nyata. Dalam teori hiperrealitas, representasi digital yang ditampilkan media sering dianggap lebih nyata daripada realitas sesungguhnya. Akibatnya, emosi yang terbentuk dari tayangan di media sosial mampu mengubah cara seseorang menilai dirinya dan lingkungannya.

Tidak sedikit pengguna aktif media sosial yang justru mengalami lonely in the crowd, yakni kesepian di tengah keramaian digital. Mereka berbagi, tertawa, dan menonton berbagai konten, tetapi hatinya tetap hampa. Ironisnya, dalam dunia yang mengaku terkoneksi tanpa batas, banyak orang kehilangan kemampuan untuk berinteraksi secara hangat dan nyata. Fenomena ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga cerminan kerusakan sosial yang lebih mendalam. Kita hidup di tengah masyarakat yang haus validasi, tetapi miskin empati. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana berbagi inspirasi, kini sering berubah menjadi panggung pencitraan dan pelarian dari realitas yang menekan.

Kesepian sebagai Buah Sekularisme dan Kapitalisme

Jika ditelusuri lebih jauh, akar persoalan ini tidak semata-mata disebabkan oleh rendahnya literasi digital atau lemahnya kontrol diri pengguna. Sistem sekuler liberal yang menjadi dasar peradaban modern telah menanamkan cara pandang individualistis dan materialistis dalam kehidupan manusia.

Sekularisme memisahkan nilai spiritual dari kehidupan publik. Akibatnya, makna hidup bergeser dari pencarian ridha Allah menjadi pencarian pengakuan manusia. Media sosial kemudian menjadi arena kompetisi visual mengenai siapa yang terlihat paling bahagia, sukses, atau dicintai. Dalam sistem yang menjadikan kebebasan tanpa arah sebagai nilai tertinggi, kapitalisme digital mengambil peran besar. Algoritma dirancang bukan untuk mendekatkan manusia, tetapi untuk mempertahankan keterikatan pada layar, meningkatkan klik, dan memperbesar keuntungan perusahaan teknologi.

Manusia akhirnya menjadi produk dari sistem yang ia ciptakan sendiri. Ia terus menggulir layar untuk mencari koneksi, tetapi yang ia temukan hanyalah ilusi kebersamaan. Hubungan antarmanusia merosot menjadi sekadar tanda suka dan jumlah tampilan, sementara interaksi nyata semakin renggang. Bahkan di tengah keluarga, percakapan sering tergantikan oleh tatapan yang terpaku pada gawai masing-masing.

Generasi muda, yang seharusnya menjadi aset peradaban, justru tumbuh dengan perasaan cemas, tidak aman, dan kehilangan makna. Mereka mudah tertekan oleh standar kehidupan semu yang dibentuk media. Dalam jangka panjang, hal ini melahirkan generasi yang lemah secara emosional, sulit berkonsentrasi, dan kehilangan kepekaan terhadap persoalan umat. Inilah salah satu kerugian besar dari sistem sekuler liberal, yaitu terciptanya manusia yang tampak sibuk, tetapi kosong, ramai, tetapi sepi.

Islam, Penuntun Jiwa dari Sunyi Menuju Kedekatan Hakiki

Islam memiliki pandangan hidup yang berbeda. Dalam Islam, makna kebahagiaan dan kebermaknaan hidup tidak diukur dari popularitas, materi, atau validasi sosial, tetapi dari kedekatan kepada Allah dan kontribusi kepada sesama. Sistem Islam tidak membiarkan manusia terperangkap dalam individualisme. Ia menuntun manusia untuk hidup dengan keseimbangan spiritual, sosial, dan moral.

Jika Islam diterapkan secara menyeluruh, negara memegang peran penting dalam mengarahkan industri media agar menjadi sarana edukasi dan penyebaran kebaikan, bukan alat komersialisasi emosi manusia. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa perkembangan teknologi tidak menjauhkan masyarakat dari nilai kemanusiaan dan keimanan.

Dalam pandangan Islam, hubungan sosial dibangun atas dasar persaudaraan, kasih sayang, dan tanggung jawab moral. Generasi muda diarahkan untuk menjadi pribadi yang produktif, berilmu, dan berkontribusi dalam memperbaiki kondisi umat. Media sosial dalam bingkai Islam bukan ruang pelarian, melainkan sarana dakwah dan perubahan sosial.

Oleh karena itu, solusi bagi fenomena lonely in the crowd bukan hanya detoks digital atau peningkatan literasi media, tetapi perubahan paradigma hidup. Selama dunia masih dikendalikan oleh sistem sekuler liberal yang menjauhkan manusia dari Tuhannya, kesepian akan tetap menjadi penyakit global. Hanya dengan kembali menjadikan Islam sebagai identitas dan pedoman hidup, manusia dapat menemukan makna sejati dalam hubungan sosial maupun spiritual.

Di tengah keramaian dunia maya yang bising, cahaya iman adalah penenang hati. Kesepian terbesar bukan ketika kita sendiri, tetapi ketika kita jauh dari Allah dan lupa akan tujuan hidup yang hakiki.