-->

Bunuh Diri Pelajar Kian Masif, Butuh Sistem Solutif

Oleh : Dwi Ajeng Luthfia

Berbagai masalah yang terjadi di kalangan pelajar seperti tawuran, pergaulan bebas, merokok, penggunaan narkoba, hingga judi online, memunculkan kekhawatiran di antara orang tua. Kejadian bunuh diri yang melibatkan anak-anak pelajar semakin memperpanjang daftar masalah yang dihadapi oleh mereka yang masih bersekolah. Apa yang menjadi penyebab dari fenomena ini?

Media pun terus memberitakan berita menyedihkan yang membuat masyarakat merasa tertekan. Menurut sumber dari kompas.id (28/10/2025), dalam kurun waktu satu minggu terakhir, terdapat dua anak yang ditemukan meninggal dengan dugaan bunuh diri di Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat.

Kasus serupa juga ditemukan di Sawahlunto, Sumatera Barat. Dua siswa SMP meninggal dengan cara bunuh diri di sekolah, bahkan salah satunya di ruang OSIS. Pihak kepolisian menyatakan tidak ada tanda-tanda terjadinya bullying.

Di sisi lainnya, berdasarkan kompas.id (30/10/2025), Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menyampaikan data mengejutkan yaitu dari 20 juta anak yang diikutsertakan dalam program pemeriksaan kesehatan jiwa secara gratis, lebih dari dua juta mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini jelas menunjukkan bahwa situasi ini lebih serius daripada sekadar peringatan. Ini adalah sinyal bahwa sistem kita saat ini telah mengalami kerusakan yang nyata. Pertanyaannya, mengapa kondisi ini bisa terjadi? Apakah generasi kita benar-benar tidak berdaya, ataukah sistem yang ada ini membuat mereka menjadi sangat rentan?

Ternyata faktor dari masalah ini tidak hanya berkaitan dengan bullying. Banyak individu yang memilih untuk mengakhiri hidupnya bukan hanya karena merasa dihina, tetapi karena mereka kehilangan arah hidup. Generasi saat ini tumbuh dalam masyarakat sekuler yang menjadikan nilai hidup diukur dari prestasi akademis dan bukan dari iman. Selama mereka memiliki prestasi yang baik di sekolah, mereka dianggap sukses, meskipun hati mereka terasa hampa. 

Pendidikan lebih menekankan pada kecerdasan intelektual dan kurang pada pembentukan karakter serta spiritualitas. Agama hanya diajarkan dalam konteks teori tanpa diterapkan sebagai pedoman hidup. Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika daging itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati.' (HR. Bukhari dan Muslim)

Hati anak remaja saat ini mengalami kerusakan, bukan karena mereka jahat, melainkan karena sistem gagal memberikan arah yang jelas. Di negara Barat, usia dewasa ditentukan pada usia 18 tahun. Jadi, meskipun secara agama mereka telah mencapai baligh dan memiliki tanggung jawab, anak-anak kita masih dianggap "belum siap". Akhirnya, mereka tumbuh dalam kondisi kebingungan mengenai identitas mereka, secara fisik sudah siap, namun secara sosial dan spiritual mereka biarkan tidak jelas.

Berbeda dengan Islam, ketika anak sudah baligh, mereka diarahkan menuju aqil, yaitu kedewasaan berpikir berdasarkan akidah. Oleh sebab itu, pendidikan anak dalam Islam sebelum baligh harus fokus pada pengembangan pola pikir dan sikap yang Islami.

Sekularisme tidak berhasil dalam hal ini. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan hanya berfokus pada kemampuan akademis, sementara aspek spiritual dibiarkan kosong. Akibatnya, ketika anak-anak menghadapi masalah, baik itu tekanan ekonomi, perceraian orang tua, atau kegagalan sosial, mereka tidak memiliki pegangan yang kuat. Ketika iman mereka lemah, masalah yang sepele terasa seolah-olah menjadi akhir dunia. Inilah yang menimbulkan tragedi, seperti bunuh diri, melompat dari gedung, atau overdosis obat penenang.

Perlu diingat juga bahwa faktor eksternal dapat memperparah situasi. Media sosial saat ini menyebarkan standar kebahagiaan yang tidak realistis, sambil membuka ruang bagi komunitas yang membicarakan bunuh diri. Di sinilah kapitalisme menunjukkan sisi gelapnya. Segala sesuatu yang seharusnya diatur oleh syariat, malah menjadi konten publik.

Ada remaja yang mengungkapkan rasa ingin bunuh diri, bukannya mendapatkan bantuan, justru mendapatkan ribuan "like". Yang lebih mengkhawatirkan, pihak negara hanya sibuk mengadakan webinar tentang kesehatan mental tanpa menyentuh akar permasalahan.

Padahal, Islam telah memberikan solusi yang sempurna: 
Pertama, Islam membangun sistem pendidikan dengan akidah sebagai asas. Setiap pelajaran bahkan matematika dan sains dihubungkan dengan iman kepada Allah. Tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tapi membentuk kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah). Anak-anak diajari mengenal siapa dirinya, untuk apa dia hidup, dan kepada siapa dia akan kembali.

Allah berfirman dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56,
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Ini berarti, sejak usia dini, anak harus menyadari bahwa tujuan hidup tidaklah hanya untuk memperoleh nilai, kekayaan, atau ketenaran, melainkan untuk mendapatkan keridhaan Allah. 

Jika fondasi ini dibangun, maka jika mendapat nilai buruk atau bahkan kehilangan teman mereka tidak akan kehilangan arah. Sistem pendidikan Islam juga tidak akan membiarkan anak terbebani oleh tuntutan dunia. Khilafah bahkan merancang kurikulumnya dengan dua pilar utama, yaitu penguatan identitas Islami dan penguasaan ilmu yang relevan dengan kehidupan. 
Anak tidak hanya memahami teori, tetapi juga memiliki kekuatan keyakinan yang membuat mereka kuat menghadapi tantangan kehidupan. Inilah yang sebelumnya menghasilkan generasi luar biasa seperti Muhammad al-Fatih, yang pada usia 21 tahun telah berhasil menaklukkan Konstantinopel. Ini adalah contoh ketika iman menjadi yang utama.

Sementara sistem yang ada saat ini? Setiap kali anak mengakhiri hidupnya, mereka langsung berkata "perlu penambahan psikolog di sekolah". Itu memang bisa, tetapi hanya merupakan solusi sementara. Yang perlu diubah bukanlah guru BK-nya, melainkan cara pandangnya. 

Islam memandang masalah ini dari akarnya, selama manusia jauh dari Allah, gangguan jiwa akan terus meningkat. Karena hati yang kosong dari iman tak akan pernah tenang, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

 Kedua, negara khilafah memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyatnya, termasuk kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Oleh karena itu, orang tua tidak mengalami tekanan akibat masalah ekonomi. Hubungan dalam keluarga menjadi selaras karena hukum Islam melindungi peran ayah, ibu, dan anak dengan seimbang.

Tidak ada “broken home” karena kasus perceraian sepele. Dan yang paling penting adalah arah hidup jelas. Semua diarahkan menuju ketundukan pada Allah.
Oleh karena itu, solusi terbaik tidak akan Iahir dari sistem yang abal-abal, tapi penerapan sistem Islam secara kaffah. Negara harus kembali menanamkan akidah sebagai pondasi pendidikan, menegakkan sistem yang adil, serta membangun lingkungan yang mendekatkan manusia kepada Allah, bukan menjauhkan.
Selama anak-anak kita dididik dengan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, jangan heran kalau mereka terus kehilangan arah dan kalau arah hidupnya sudah hilang, maka hidup pun kehilangan makna.

Wallahua'lam bishowwab.