-->

Perceraian Marak, Keluarga Runtuh, Generasi Rapuh!


Oleh : Neni Moerdia

Di tengah gemerlap era digital, kata “cerai” menjadi salah satu tren pencarian teratas di Google, mencerminkan krisis mendalam yang melanda institusi keluarga Indonesia. Data nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat 399.921 kasus perceraian, dengan 77,2% di antaranya cerai gugat oleh istri. Angka ini menurun tipis dari 408.347 kasus pada 2023, tapi tetap melonjak dibanding pra-pandemi (291.677 kasus). Sementara itu, pernikahan terus merosot dari 1,78 juta (2020) menjadi 1,47 juta (2024). Di daerah seperti Bojonegoro, Pengadilan Agama memutus 2.240 perkara dalam 10 bulan pertama 2025, dengan lonjakan pertengkaran terus-menerus sebagai pemicu utama. Fenomena ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm bahaya: keluarga runtuh, generasi rapuh.

Tren perceraian tak mengenal usia. Data Kementerian Agama (2020-2024) menunjukkan 604.463 kasus pada pernikahan di bawah 5 tahun—tertinggi dibanding kelompok usia lain. Kisah Rika (28 tahun, bercerai setelah 4 tahun) dan Nadia (cerai setelah 8 bulan) di detikX menggambarkan bagaimana perselingkuhan, utang, dan judi online meruntuhkan rumah tangga muda. 

Di sisi lain, “grey divorce” pada pasangan senior meningkat, dipicu ketidakcocokan emosional pasca-anak dewasa. Secara geografis, Jawa Barat (88.985 kasus), Jawa Timur (79.293), dan Jawa Tengah (64.937) mendominasi, sementara proporsi tertinggi ada di Papua dan Kalimantan Barat. Rasio nasional: 27 perceraian per 100 pernikahan. 

Influencer seperti Tasya Farasya, Raisa-Hamish Daud, hingga Deddy Corbuzier-Sabrina Chairunnisa menjadi cermin publik, tapi realitasnya jauh lebih luas—ratusan ribu keluarga biasa ambruk setiap tahun. Perceraian dipicu multifaktor diantaranya 63% pertengkaran terus-menerus, 25% ekonomi, sisanya KDRT (7.000+ laporan), perselingkuhan, judi online (judol), dan penelantaran. 

Di Bojonegoro, judi melonjak sebagai pemicu Oktober 2025. Ini menandakan lemahnya pemahaman masyarakat tentang pernikahan sebagai ikatan sakral, bukan sekadar kontrak emosional. Paradigma sekuler kapitalis menjadi biang keladi. Sistem pendidikan sekuler mengabaikan pembinaan akhlak, fokus pada karier individu hingga perempuan mandiri secara finansial tapi rapuh secara emosional—seperti dijelaskan psikolog Heidi Kar. Sistem pergaulan sosial liberal mendorong ekspektasi tinggi yang tak realistis, media sosial viralkan “cerai bahagia” ketimbang ketahanan. 

Sistem politik-ekonomi kapitalis ciptakan tekanan PHK, penghasilan di bawah UMR, dan ketimpangan, picu stres hingga KDRT. Akibatnya, ketahanan keluarga runtuh. Pernikahan bukan lagi benteng samara, tapi arena konflik. Generasi anak menjadi korban: depresi, kesepian, kecemasan berlebih, penurunan kognitif, hingga paranoia (ANTARA). Anak broken home kehilangan panutan, fondasi kepribadian retak—memicu siklus rapuh di masa depan.

Islam menawarkan solusi sistemik

Sistem pendidikan Islam membina kepribadian kokoh melalui Al-Qur’an dan Sunnah, siapkan generasi paham pernikahan sebagai ibadah.

Sistem pergaulan Islam jaga harmoni keluarga dan masyarakat berlandaskan ketakwaan: batas aurat, larang khalwat, dorong komunikasi asertif. Program “Sahabat Keluarga” libatkan ulama untuk mediasi dini, cegah pertengkaran eskalasi.

Sistem politik-ekonomi Islam jaminkan kesejahteraan: negara wajib ciptakan lapangan kerja, distribusi zakat/sedekah atasi kemiskinan, larang riba/judol. Khalifah tanggung nafkah, lindungi perempuan pasca-cerai dengan iddah/mut’ah—bukan kapitalis yang biarkan PHK merajalela.

Dengan Islam, perceraian bukan tren, tapi pengecualian. Keluarga samara lahirkan generasi tangguh, bukan rapuh. Saatnya tinggalkan sekuler kapitalis, kembali ke syariah—untuk Indonesia bahagia, berkah.