-->

Penculikan Anak Terjadi Lagi, Negara Gagal Ciptakan Lingkungan Ramah Anak


Oleh : Umma Almyra

Kasus penculikan kembali mencabik rasa aman kita. Di Makassar, seorang balita bernama Bilqis hilang dibawa orang asing yang mengaku memiliki dokumen resmi. Pelaku diduga bagian dari jaringan perdagangan manusia, dan lebih mengejutkan lagi, ia berhasil memanipulasi masyarakat adat dengan janji uang puluhan juta sebagai “biaya adopsi”. Cerita tragis ini bukan hanya tentang satu anak, tetapi tentang rapuhnya sistem keamanan di negeri ini—tentang ruang publik yang tidak benar-benar melindungi jiwa paling lemah: anak-anak.

Ketika Rasa Aman Ternyata Ilusi

Apa yang terjadi pada Bilqis menunjukkan betapa mudahnya kejahatan menembus batas sosial. Seorang pelaku bisa datang ke komunitas adat, membawa surat palsu, berbicara manis, dan pulang membawa seorang anak yang bukan miliknya. Tidak ada pagar sosial yang mampu menghentikannya, tidak ada mekanisme negara yang mencegahnya, dan tidak ada kewaspadaan sistemik yang membuat masyarakat teredukasi untuk mengenali ancaman.

Ruang publik yang tidak aman adalah kegagalan negara. Hukum yang lemah adalah kegagalan negara. Ketidakhadiran negara di tengah kelompok rentan juga kegagalan negara. Ketika masyarakat miskin atau masyarakat adat dapat dimanipulasi dengan mudah, itu bukan karena mereka bodoh, tetapi karena mereka tidak dipelihara, tidak diberdayakan, dan tidak dilindungi. Negara seharusnya hadir sebelum kriminal bertindak, bukan sekadar menyelesaikan kasus setelah semuanya terlambat.

Negara dalam Islam: Pelindung yang Turun ke Lapangan

Dalam Islam, negara bukan institusi yang berdiri pasif dan mengawasi dari kejauhan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa imam adalah raa’in, pengurus umat, yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya. Ini bukan sekadar istilah, tetapi mandat langsung dari Allah—pemimpin wajib mengamankan jiwa, kehormatan, dan harta rakyat, terutama mereka yang paling rentan.

Konsep keamanan dalam Islam bukan sekadar polisi dan patroli, tetapi sistem yang mengakar. Negara memastikan ruang publik aman sepanjang waktu, membasmi jaringan kriminal sampai ke akar, melindungi masyarakat adat dari tipu daya, dan mempersempit ruang gerak kejahatan hingga nyaris mustahil dilakukan. Lebih dari itu, negara Islam membangun masyarakat yang bertakwa, sehingga moral kolektif mencegah kejahatan bahkan sebelum aparat bertindak.

Pada masa Umar bin Khattab, keamanan rakyat bukan slogan. Umar sendiri berjalan malam hari memastikan tidak ada keluarga yang kelaparan, tidak ada perempuan yang cemas, tidak ada anak yang terancam. Keamanan adalah tindakan, bukan pernyataan pers.

Cermin ini membuat kita berpikir: jika pemimpin Islam dulu turun langsung menjaga rakyatnya, mengapa pemimpin hari ini justru sering tidak hadir ketika rakyat paling membutuhkan perlindungan?

Kisah Bilqis: Lega yang Mengandung Luka

Ketika Bilqis akhirnya ditemukan, banyak yang menangis lega. Tetapi lega tidak cukup. Jika kita berhenti pada rasa syukur dan melupakan akar masalah, maka tragedi ini akan terulang. Akan ada Bilqis lain, di kota lain, dengan akhir cerita yang belum tentu sebaik ini.

Penculikan ini harus menjadi cermin besar bagi bangsa. Bahwa sistem hukum tidak memberikan efek jera. Bahwa negara tidak mampu menutup celah kejahatan. Bahwa masyarakat adat dan kelompok miskin masih berdiri sendirian tanpa perlindungan yang memadai. Dan yang paling memprihatinkan: bahwa kita telah terbiasa melihat tragedi sebagai takdir, bukan akibat dari sistem yang salah kelola.

Kita tidak boleh menormalisasi penculikan seolah itu bagian dari kehidupan modern. Tidak. Ini adalah tanda bahwa negara tidak berhasil menjalankan fungsi dasarnya: menjaga nyawa.

Islam Kaffah: Sistem yang Mencegah Sebelum Terjadi

Islam menawarkan solusi yang tidak hanya reaktif, tetapi preventif. Sistem Islam membangun keamanan dari akar:

Pertama, negara menghilangkan faktor sosial yang memicu kejahatan—kemiskinan, ketimpangan, lemahnya edukasi, dan keterasingan masyarakat adat. Dalam lingkungan yang sejahtera dan bertakwa, peluang manipulasi nyaris hilang.

Kedua, hukum dalam Islam tegas dan memberi efek jera. Pelaku penculikan, jaringan TPPO, dan penjahat yang mengancam nyawa akan mendapatkan hukuman berat, sehingga masyarakat terlindungi secara nyata.

Ketiga, pendidikan akhlak dibina oleh negara sehingga masyarakat memiliki sensor moral internal. Keamanan tidak hanya dijaga oleh aparat, tetapi oleh hati manusia yang takut kepada Allah.
Ini adalah sistem utuh—bukan tambalan kebijakan. Sistem yang mampu menutup celah, mencegah niat jahat, dan membangun masyarakat yang saling menjaga.

Saatnya Menuntut Negara yang Benar-Benar Menjaga

Kisah Bilqis harus menjadi alarm nasional bahwa negara sedang gagal. Bukan kegagalan polisi semata, bukan kegagalan prosedur, tetapi kegagalan sistemik: negara tidak hadir sebagai pelindung. Kita membutuhkan perubahan mendasar. Bukan sekadar memperbaiki SOP, tetapi membangun kembali sistem yang berlandaskan Islam secara kaffah—yang menjadikan keamanan sebagai kewajiban negara, bukan fasilitas tambahan.

Anak-anak adalah amanah. Jika negara gagal menjaganya, maka negara telah mengkhianati amanah itu. Islam telah menunjukkan model negara yang benar-benar melindungi rakyatnya. Kini, giliran kita menuntut sistem yang menghadirkan perlindungan nyata, bukan hanya janji. Semoga tragedi Bilqis menjadi titik balik untuk menegakkan kembali sistem yang menjaga manusia sebagaimana Allah perintahkan.

Wallahu bi shawab.