Perceraian Marak, Generasi Semakin Rapuh
Oleh : Ummu Ayya
Peradaban yang kokoh berasal dari keluarga yang memiliki fondasi kuat. Namun, menyedihkan, seiring perkembangan zaman yang cepat, posisi keluarga semakin lemah. Ini terlihat dari tingginya jumlah perceraian. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 399. 921 kasus perceraian di tahun 2024. Ini seharusnya menjadi perhatian serius. Angka ini bukan hanya angka, melainkan juga gambaran betapa rapuhnya pernikahan di Indonesia. Di saat lonjakan perceraian berlangsung, jumlah pernikahan justru mengalami penurunan. Sebagaimana dilaporkan oleh Kanwil Kementerian Agama Prov DKI Jakarta, angka pernikahan menurun sejak 2013, dari 2 juta menjadi sekitar 1,5 juta pada tahun 2023, dan diprediksi akan berlanjut pada tahun ini.
Tren perceraian ini terjadi di berbagai segmen, baik di kalangan pasangan yang baru menikah maupun yang sudah lama bersama. Kini, istilah perceraian di usia matang atau grey divorce semakin dikenal, mengingat meningkatnya angka perceraian di kalangan lansia. Berdasarkan informasi dari kompas. id (2025), lebih dari 20% pasangan yang berusia lanjut memilih untuk bercerai setelah menikah lebih dari 20 tahun.
Selain itu, ada hal penting yang perlu dicermati. Data dari Mahkamah Agung (MA) menunjukkan bahwa lebih dari 70% pengajuan perceraian di Indonesia berasal dari istri. Hal ini mencerminkan adanya perubahan dalam aspek ekonomi dan sosial. Kini, banyak perempuan yang merasa lebih mandiri secara finansial sehingga mereka tidak ragu untuk mengakhiri hubungan yang dianggap tidak sehat. Ini adalah salah satu indikasi lemahnya ikatan keluarga.
Beberapa alasan menyebabkan peningkatan kasus perceraian. Banyak rumah tangga hancur akibat pasangan terlibat judi online atau utang pinjaman yang menumpuk. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, dan faktor-faktor lainnya juga berperan. Beban ekonomi yang semakin berat, keterbatasan lapangan kerja, gaya hidup konsumeris, dan ketidakcocokan antara pendapatan dan pengeluaran memperburuk situasi. Ketidaksiapan mental sebelum menikah juga memperparah masalah ini. Sering kali, orang menganggap pernikahan sebagai sekadar penyatuan dua individu untuk menjalani hidup, padahal pernikahan memerlukan komitmen yang mendalam. Terlebih lagi, keluarga adalah tempat pertama bagi seseorang untuk belajar mencintai, mengasihi, dan menghormati.
Dampak dari perceraian bukan hanya dirasakan oleh pasangan yang berpisah, tetapi juga memberi efek pada anak-anak. Anak-anak sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan saat orang tua mereka bercerai. Ketika hubungan suami-istri berantakan, anak-anak menjadi yang paling menderita. Mereka kehilangan contoh yang baik, kasih sayang, dan bahkan arah hidup mereka. Berdasarkan penelitian yang diambil dari Antara News tahun 2024, anak-anak dari keluarga yang bercerai memiliki risiko dua kali lipat lebih besar mengalami masalah emosional dan kesulitan dalam belajar dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga yang harmonis. Anak-anak ini dapat mengalami gangguan psikologis, seperti berkurangnya rasa aman, merasa rendah diri, atau bahkan dapat mengalami trauma.
Peningkatan jumlah perceraian tentu tidak terjadi begitu saja, hal ini terkait erat dengan sistem sekuler kapitalis yang kita jalani saat ini. Sistem ini memisahkan aspek agama dari kehidupan sehari-hari. Kriteria untuk kebahagiaan atau kesuksesan hanya diukur dari materi. Apakah itu kekayaan, jabatan, kekuasaan, atau popularitas. Sebagai contoh, sistem pendidikan saat ini lebih fokus pada pencapaian akademik dan jalur karir. Aspek moral dan spiritual sering diabaikan, sehingga menghasilkan individu yang cerdas secara intelektual namun rentan ketika menghadapi masalah hidup, termasuk konflik dalam rumah tangga.
Selain itu, sistem ekonomi yang kita terapkan saat ini juga tidak mendukung masyarakat kecil. Kesenjangan ekonomi membuat banyak orang semakin terhimpit secara finansial. Data dari CNBC Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 60% perceraian berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Ketika tekanan ekonomi meningkat, konflik dalam rumah tangga menjadi semakin sulit untuk dihindari.
Dalam aspek sosial, interaksi antar individu tidak memiliki batasan yang jelas. Contohnya adalah kurangnya pemahaman mengenai batasan antara pria dan wanita. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya kasus perselingkuhan, yang pada gilirannya juga berkontribusi pada meningkatnya angka perceraian.
Ketika inti permasalahannya terletak pada sistem yang cacat, maka solusi yang diambil harus komprehensif. Islam tidak hanya sekadar agama yang berfokus pada ritual, melainkan juga mengatur semua bidang kehidupan. Termasuk di dalamnya pendidikan, sosial, ekonomi, dan bahkan politik.
Pada aspek pendidikan Islam, anak-anak diajarkan tentang aqidah, disertai dengan pembiasaan adab dan tanggung jawab.
Terkait interaksi sosial, Islam menetapkan batasan yang tegas antara pria dan wanita, untuk menjaga harga diri dan kesucian. Dalam sektor ekonomi, negara bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya, tanpa adanya riba, dan zakat dikelola untuk meratakan distribusi kekayaan. Di sisi politik, hukum akan diterapkan secara adil, menghilangkan riba, serta memprioritaskan kebutuhan dasar masyarakat.
Kini saatnya kita kembali kepada sistem Islam, sebab meningkatnya angka perceraian hanyalah sebagian kecil dari dampak sistem yang tidak tepat ini. Dengan menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh, solusi atas berbagai masalah yang ada akan muncul.

Posting Komentar