Membentuk Lingkungan Bebas Bullying untuk Generasi
Oleh : Suhartini
Fenomena bullying semakin meningkat dan semakin di luar akal sehat manusia. Semua ini berawal dari melemahnya nilai solidaritas sosial. Individualisme yang tinggi mendorong munculnya sikap egoistik dan kurangnya empati terhadap sesama, sementara budaya kompetitif dalam pendidikan, dunia kerja, dan media sosial menciptakan tekanan sosial yang tajam. Kebebasan berekspresi yang tanpa batas sering disalahgunakan menjadi ajang perundungan, terutama melalui dunia digital seperti cyberbullying dan cancel culture.
Faktanya, bullying kini semakin beragam. Seperti kebakaran di Asrama Putra Dayah (Pesantren) Babul Maghfirah di Aceh pada Jumat, 31 Oktober 2025, yang dilakukan oleh seorang santri di bawah umur. Pelaku mengaku membakar gedung asrama karena sering mengalami bullying dari beberapa temannya. Peristiwa lain yang baru-baru ini terjadi adalah ledakan di SMA 72 Kelapa Gading, yang pelakunya diduga merupakan korban perundungan.
Data dari WHO dan UNICEF menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga remaja di dunia pernah mengalami bullying, dengan sebagian besar kasus terjadi secara daring. Hal ini menunjukkan bahwa sistem liberal yang tidak diimbangi dengan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sosial telah menjadi salah satu faktor penyumbang meningkatnya kasus perundungan di masyarakat modern. Dalam sistem liberal modern yang menekankan kebebasan individu dan popularitas, mereka yang dianggap “berbeda” mudah menjadi sasaran ejekan atau diskriminasi. Minimnya peran nilai moral dan agama dalam sistem sosial membuat perilaku kejam ini sering dianggap lumrah atau sekadar bentuk ekspresi diri.
Di sisi lain, pengaruh media sosial telah memperparah perilaku pelaku bullying, bahkan menyebabkan tindakan ini dianggap sebagai sesuatu yang lucu atau sekadar candaan. Fenomena ini merupakan bukti nyata dari krisis adab yang terjadi di masyarakat saat ini, di mana norma-norma sopan santun dan etika semakin luntur. Lebih dari itu, hilangnya fungsi pendidikan dalam mengajarkan nilai-nilai moral dan etika kepada generasi muda juga menjadi faktor utama meningkatnya kasus bullying. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama antara orang tua, guru, dan pihak terkait lainnya untuk lebih serius dalam menangani masalah ini guna menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih positif dan menyehatkan.
Maraknya aksi bullying juga dipicu oleh media sosial yang sering kali menjadi tempat rujukan bagi pelaku maupun korban untuk mencari solusi atau contoh dalam melampiaskan kemarahan atau dendam mereka. Akibatnya, baik pelaku maupun korban terdorong untuk melakukan tindakan yang membahayakan nyawa orang lain sebagai bentuk pelampiasan atas penderitaan yang mereka rasakan. Fenomena ini menunjukkan betapa berbahayanya dampak bullying terhadap kesehatan mental korban dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus meningkatkan kesadaran akan bahaya bullying serta memberikan dukungan dan perlindungan kepada korban agar mereka tidak terombang-ambing oleh emosi negatif yang dapat berujung pada tindakan tidak terpuji.
Permasalahan ini muncul karena belum ada solusi hakiki untuk menuntaskannya. Telah banyak kebijakan, program, dan tindakan yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, tokoh masyarakat, bahkan para pemimpin, untuk mengatasi permasalahan ini. Namun kenyataan pahitnya, kasus perundungan justru terus meningkat. Saat ini, sistem pendidikan yang kita gunakan masih bercorak sekuler-kapitalistik, yang berfokus terutama pada penguasaan materi, kompetisi, dan nilai ekonomi. Akibatnya, banyak peserta didik unggul secara akademik atau materi, tetapi lemah dalam aspek adab, spiritualitas, kesadaran sosial, dan ketundukan kepada nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan yang mengabaikan dimensi kerohanian dan moral dalam membentuk insan sejati akan melahirkan individu yang kompeten secara teknis, namun kehilangan arah transenden dan tanggung jawab etis dalam kehidupan sehari-hari.
Solusi Tuntas dengan Islam
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang memandang tujuan pendidikan sebagai pembentukan kepribadian Islam yang utuh. Pendidikan dalam Islam tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga mengembangkan iman dan takwa, menumbuhkan akhlak mulia, serta menguatkan tanggung jawab sosial dan spiritual. Dalam perspektif pendidikan Islam, manusia diciptakan untuk menjadi hamba yang taat kepada Allah dan khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, pendidikan sejati harus menyelaraskan aspek jasmani, akal, dan ruhiyah agar tercapai keseimbangan antara dunia dan akhirat. Pendidikan Islam membimbing individu agar tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi juga berbudi pekerti, berkontribusi bagi masyarakat, dan hidup dalam kerangka nilai-nilai Islami.
Pembentukan generasi berkualitas tentunya harus melalui proses pendidikan yang tepat. Dalam Islam, proses tersebut sangat ditekankan pada pembinaan intensif yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga secara sistematis membentuk pola pikir dan pola sikap Islami. Dalam kerangka ini, peserta didik dibimbing secara kontinu — melalui penguatan akidah, ibadah kolektif, dan pembahasan nilai-nilai ruhiyah — sehingga mereka tidak hanya mahir secara materi, tetapi juga matang secara spiritual dan moral.
Selain itu, pendidikan Islam sangat memperhatikan kurikulum berbasis akidah Islam dengan menjadikan adab sebagai dasar pendidikan. Hanya dengan keyakinan yang teguh dan perilaku yang mulia, peserta didik dapat tumbuh sebagai insan yang seimbang antara iman dan akhlak. Dengan menempatkan akidah sebagai landasan, kurikulum tidak sekadar menyampaikan wawasan keilmuan, tetapi juga membentuk pemahaman bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Sementara adab sebagai dasar memastikan setiap aktivitas pembelajaran berlangsung dengan etika Islami — menghormati guru, lingkungan, dan sesama — sehingga ilmu yang diterima tidak hanya berhenti di kepala, tetapi berbuah pada karakter dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kurikulum yang berpijak pada akidah dan adab tidak hanya mengejar kompetensi akademik, tetapi juga menyiapkan generasi yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, serta siap memberi kontribusi positif bagi masyarakat dan kehidupan akhirat.
Semua proses dan kurikulum dalam pendidikan merupakan tugas sebuah institusi negara, yang wajib menjamin pendidikan umat, pembinaan moral, dan perlindungan generasi dari kezaliman sosial. Melalui peran ini, negara memastikan bahwa seluruh warga, terutama kaum muda, mendapatkan akses pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu tetapi juga menanamkan nilai-nilai Islam agar mereka tumbuh sebagai insan yang beriman, beradab, dan bermoral. Dengan demikian, negara yang mengemban amanah ini tidak hanya bertugas mengelola administrasi dan sumber daya, tetapi juga membentuk lingkungan sosial dan pendidikan yang adil, mulia, serta sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dari sinilah akan lahir masyarakat yang makmur, beradab, dan seimbang antara kemajuan dunia serta kebahagiaan akhirat.

Posting Komentar