-->

Sistem Islam, Solusi Tuntas Kasus Perceraian


Oleh : Suwarni

Terjadinya perceraian antara suami istri kini bukanlah lagi hal yang tabu dan memalukan. Sebaliknya hal ini justru sudah menjadi hal yang lumrah. Fenomena perceraian yang kian marak di tengah masyarakat ini sejatinya adalah bukti nyata atas rapuhnya sistem yang diterapkan saat ini. Tingginya angka perceraian, baik di usia pernikahan yang terbilang muda maupun usia pernikahan yang senja, mencerminkan lemahnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pernikahan. 

Sepanjang tahun 2025, tercatat 463.600 kasus perceraian di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka ini memang menurun dibanding tahun sebelumnya, namun tetap menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan keluarga di bawah sistem sekuler kapitalis. Bahkan di daerah seperti Ponorogo, Jawa Timur, terjadi lonjakan: dalam 8 bulan pertama 2025, Pengadilan Agama menerima 1.311 permohonan cerai, dengan 70% di antaranya adalah cerai gugat dari pihak istri. Fakta ini menegaskan bahwa akar masalah perceraian tidak terselesaikan, hanya bergeser dari satu wilayah ke wilayah lain.

Selain itu, ini juga terjadi akibat dampak buruk dari paradigma sekuler kapitalis yang mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Pertengkaran, tekanan ekonomi, KDRT, perselingkuhan, hingga judi online hanyalah gejala dari sistem yang gagal menjaga ketahanan keluarga.

Perceraian bukan sekadar putusnya ikatan dua insan, tetapi runtuhnya benteng keluarga yang akhirnya melahirkan generasi rapuh. Sistem sekuler kapitalis telah menjerumuskan masyarakat pada pola hidup individualistik, materialistik, dan jauh dari nilai ketakwaan. Akibatnya, keluarga kehilangan arah dan generasi kehilangan pondasi moral.

Islam dan Pernikahan

Dalam Islam, pernikahan adalah akad suci yang melahirkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Suami diwajibkan memberi nafkah lahir batin, sementara istri menjaga kehormatan dan mengurus rumah tangga. Allah Swt. menegaskan:

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An-Nisa [4]: 34)

Kepemimpinan suami bukanlah sekadar simbol semata, melainkan amanah untuk menafkahi, melindungi, dan mengarahkan keluarga. Allah juga berfirman:

“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS Al-Baqarah [2]: 233)

Suami yang baik adalah yang sungguh-sungguh bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya, bukan melimpahkan tanggung jawab kepada istri atau anak-anak. Sebaliknya, istri memiliki peran mulia sebagai pendamping yang taat dan menjaga kehormatan keluarga, sebagaimana firman Allah:

“Maka perempuan-perempuan yang salihah itu adalah mereka yang taat dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada.” (QS An-Nisa [4]: 34)

Sistem Islam Menjamin Ketahanan Keluarga

Islam tidak hanya mengatur hubungan suami-istri, tetapi juga membangun sistem sosial dan politik ekonomi yang menjaga keharmonisan keluarga. 

Dalam Islam, negara (Khilafah) berperan aktif menciptakan kesejahteraan dengan cara menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki, memberikan pendidikan dan pelatihan, bahkan bantuan modal bila diperlukan. Dengan demikian, para ibu dapat fokus mendidik anak-anak tanpa dipaksa bekerja demi menopang ekonomi keluarga. Bekerja bagi perempuan adalah pilihan, bukan keterpaksaan.

Ketahanan keluarga dan lahirnya generasi tangguh tidak mungkin terwujud dalam sistem sekuler kapitalisme yang hanya melahirkan krisis moral dan sosial. Satu-satunya sistem yang mampu menjamin keluarga kokoh dan generasi mulia adalah sistem Islam yang datang dari Zat Yang Maha Mulia, Allah Swt. Hanya dalam naungan Khilafah Islamiah. 

keluarga akan menjadi benteng kuat, generasi akan tumbuh tangguh, dan masyarakat akan hidup harmonis berlandaskan ketakwaan.

Tidakkah kita sepakat bahwa perceraian bukan sekadar masalah individu, melainkan buah dari sistem yang rusak. Solusi tuntas hanya bisa hadir melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh.  

Wallahu a'lam