Kohabitasi, Buah Busuk Liberasasi Pergaulan
Oleh: Hamnah B. Lin
Fenomena pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan kini semakin marak di Indonesia. Dalam masyarakat umum, praktik ini sering disebut dengan istilah kumpul kebo. Berdasarkan laporan dari The Conversation beberapa waktu lalu, fenomena 'kumpul kebo' bisa dipicu oleh pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan. Banyak anak muda di era saat ini yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan rumit.
Akibatnya, mereka memandang 'kumpul kebo' sebagai alternatif relasi romantis yang lebih murni. Di wilayah Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, 'kumpul kebo' masih menjadi hal tabu. Kalaupun terjadi, 'kumpul kebo' biasanya hanya berlangsung dalam waktu yang singkat dan dinilai sebagai langkah awal menuju pernikahan ( 08/11/2025 ).
Meningkatnya kasus kohabitasi menegaskan realitas rusaknya pergaulan di tengah masyarakat. Saat ini kohabitasi atau kumpul kebo sudah jamak dilakukan generasi muda. Laki-laki dan perempuan nonmahram hidup bersama tanpa ikatan pernikahan selama bertahun-tahun. Mereka sudah tidak mengindahkan norma masyarakat maupun syariat agama (Islam). Gaya hidup sekuler liberal menuntun mereka untuk mengejar kesenangan bersama pasangan. Yang penting senang, yang penting keinginan biologis terpenuhi. Mereka tidak lagi peduli halal haram.
Faktor ekonomi, gaya hidup menuntut mereka menuruti hawa nafsu. Demi mendapatkan materi, seperti tempat tinggal, pakaian kekinian, gadget, dan aneka gaya hidup lainnya, sebagian perempuan rela melepaskan kehormatannya dengan hidup bersama pacarnya. Jalan ini ditempuh karena jauhnya mereka dari pemahaman agama yang sahih. Meski muslim, memiliki nama ala Islam, dan berhijab, bukan jaminan mereka paham Islam. Paham sekularisme menjadikan mereka tidak takut dosa besar dan azab dari Allah Taala hingga nekat melakukan zina.
Masyarakat yang makin individualis telah menjadikan zina semakin subur dengan dalih tidak mengganggu privasi orang lain. Aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar tidak semua masyarakat mampu menjalankannya karena penuh dengan tantangan hingga nyawa menjadi taruhan. Maksud hati menegur pelaku maksiat, ternyata berakhir di bui bahkan di kamar mayat. Sedangkan pelaku maksiat malah bebas. Kondisi ini menyebabkan kohabitasi makin marak.
Pada laman Kemenkum (29-7-2024) Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra menerangkan bahwa baik kohabitasi maupun perzinaan merupakan delik aduan terbatas. Dengan begitu, tindakan kohabitasi dan perzinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 411 dan Pasal 412 hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait, tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum. Aturan ini menjadikan masyarakat tidak bisa melarang praktik kumpul kebo. Jika masyarakat melakukan penggerebekan, mereka bisa dituntut melakukan tindakan tidak menyenangkan atau mengganggu ketertiban.
Aturan negara yang lainnya justru mempromosikan zina. Misalnya pengaturan media yang sangat longgar sehingga pornografi tersebar luas. Gaya hidup kumpul kebo juga dipromosikan melalui film, drama, musik, dll.. tanpa negara berusaha untuk melarangnya. Promosi zina ini justru mendapat perlindungan dari negara atas nama hak asasi manusia (HAM) dan karya seni. Media juga mempertontonkan konten kekerasan. Tidak hanya film kekerasan bagi orang dewasa, konten kekerasan juga masuk di gim daring untuk anak-anak.
Inilah akar masalah kumpul kebo kian meningkat, sistem kapitalis yang negara terapkan hari ini telah merusak kehidupan manusia karena asas kebebasannya. Saatnya kita beralih kepada sistem Islam yang memuliakan manusia dengan segenap perangkat aturannya.
Negara dalam sistem Islam yakni khilafah berperan sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Imam (kepala negara) itu laksana penggembala dan ia penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.”(HR Bukhari).
Pun Islam memosisikan zina sebagai hal yang haram, bahkan pelakunya akan mendapatkan dosa besar. Allah Taala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا ٣٢
“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.”(QS Al-Isra’ [17]: 32).
Khilafah juga akan menerapkan sistem pergaulan Islam yang meliputi kewajiban menutup aurat bagi laki-laki maupun perempuan, larangan mendekati zina, larangan khalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan nonmahram), larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dengan perempuan nonmahram), dan larangan zina.
Kadi hisbah akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan syariat ini. Masyarakat juga disuasanakan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar sehingga tidak sampai terjadi aktivitas kumpul kebo/kohabitasi.
Negara akan melarang adanya konten porno dan liberalisasi pergaulan melalui media massa dan media sosial. Polisi (syurthah) siber akan mengawasi media dan memblokir konten yang tidak islami, termasuk pornografi dan pergaulan bebas.
Dengan penerapan syariat kafah, masyarakat akan tercegah dari melakukan zina dan kohabitasi. Selanjutnya hal ini akan mencegah terjadinya pembunuhan yang berlatar belakang kohabitasi. Jadi sistem Islam mampu mencegah dan menyolusi terjadinya mutilasi sejak dari aspek hulu sampai hilir. Masyarakat akan terlindung dari kemaksiatan zina.
Wallahu a'lam biasshowab.

Posting Komentar