Solusi Islam Menangani Banjir
Oleh: Hamnah B. Lin
Warga terdampak banjir akibat luapan sungai anak Kali Lamong di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, mulai dievakuasi. Proses evakuasi difokuskan pada kelompok warga rentan, seperti lanjut usia (lansia) dan penyandang disabilitas. Salah satu lokasi evakuasi dilakukan di Kecamatan Menganti, Gresik, yang telah terendam banjir selama tiga hari terakhir ( Beritasatu, 13/11/2025 ).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan, sebagian besar wilayah Indonesia kini memasuki puncak musim hujan dengan curah hujan tinggi akibat kombinasi aktifnya monsun Asia, suhu muka laut hangat, dan indikasi La Niña lemah. Ini sinyal kuat untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.
Kenyataannya, banjir bukan semata-mata akibat curah hujan tinggi, melainkan buah dari tata kelola lingkungan yang salah arah. Pembangunan wilayah di bawah sistem kapitalisme terus digenjot atas nama pertumbuhan ekonomi, namun kerap mengabaikan daya dukung lingkungan. Hutan ditebang demi tambang, rawa dikeringkan untuk kawasan industri, dan daerah resapan air dipangkas demi proyek infrastruktur dari investor.
Berulangnya bencana banjir di banyak daerah menegaskan bahwa pembangunan wilayah tidak direncanakan secara komprehensif. Daerah yang seharusnya menjadi kawasan resapan justru dipenuhi permukiman atau proyek komersial. Pembangunan properti, infrastruktur, dan wisata yang masif telah mengubah bentang alam dan memperparah degradasi lingkungan.
Ironi, rakyat kecil yang tidak pernah menikmati hasil pembangunan justru menjadi korban paling menderita. Rumah mereka terendam, akses transportasi terputus, dan mata pencarian hilang. Sementara pihak yang menikmati keuntungan dari pembangunan, tetap aman di balik dinding kokoh kekuasaan dan modal besar mereka.
Dalam sistem sekuler kapitalisme hari ini, persoalan produksi menjadi fokus pembangunan. Bahkan ukuran keberhasilan pembangunan dinilai dengan tingkat produksi. Akhirnya sektor produksi ini terus digenjot untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Sering kali efek samping dari produksi, seperti pencemaran lingkungan atau kerusakan alam, malah diabaikan. Bahkan, analisis dampak lingkungan (amdal) juga terkesan menjadi kebijakan setengah hati dari pemerintah. Kebijakan yang seharusnya bisa mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan dilakukan sekadar formalitas di atas kertas. Yang diutamakan tetap mengejar produksi.
Sungguh jauh berbeda dengan pembangunan di dalam Islam. Aspek keuntungan materi tidak menjadi tujuan satu-satunya dalam paradigma pembangunan Islam. Acuan dalam kebijakan pembangunan adalah kesesuaian dengan syariat Islam dan terwujudnya kemaslahatan rakyat.
Paradigma pembangunan dalam Islam akan memperhatikan penjagaan terhadap lingkungan sehingga alam tetap harmonis. Meski sebuah rencana pembangunan seolah menguntungkan, seperti pembangunan kawasan industri, permukiman, atau kawasan wisata, jika ternyata merusak alam dan merugikan masyarakat, akan dilarang.
Pembangunan dalam sistem Islam dilaksanakan untuk kepentingan umat dan memudahkan kehidupan mereka. Ujung tombak pembangunan adalah penguasa. Oleh karenanya, penguasa sebagai pengurus (raa’in) rakyat harus menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan berdasarkan kemauan para investor.
Hanya sistem Islam yang peduli akan kelestarian lingkungan. Tidak hanya mendukung kemajuan atau pembangunan, tetapi juga mendorong penjagaan lingkungan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Khilafah akan menetapkan kebijakan.
Di antaranya pertama, mengembalikan kepemilikan SDA yang terkategori milik umum kepada rakyat dan negara yang akan mengelolanya untuk kemaslahatan rakyatnya. Hutan, air, sungai, danau, laut adalah milik rakyat secara keseluruhan. Sabda Nabi saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Ini adalah tindakan preventif agar tidak terjadi eksploitasi lingkungan yang berdampak pada kerusakan. Berdasarkan hal tersebut, negara yang menerapkan syariat Islam akan hadir dalam pengelolaan SDA yang merupakan harta milik umum dan tidak akan memberikan hak konsesi terhadap hutan dan sumber daya alam kepada pihak swasta.
Kedua, negara akan mengembalikan fungsi ekologis dan hidrologis hutan, sungai, dan danau. Fungsi hutan sebagai pengatur iklim global sehingga pemanfaatan SDA oleh manusia tidak sampai merusak dan harus dilestarikan.
Ketiga, negara akan membuat rancangan tata ruang wilayah (RTRW) yang memperhatikan kelestarian lingkungan.
Keempat, memperketat izin pembangunan dan alih fungsi lahan. Tidak bisa dimungkiri, alih fungsi lahan tentu perlu dilakukan, tetapi harus dilakukan secara tepat guna dan tepat sasaran. Juga bukan semata demi kepentingan para pemilik kapital, apalagi jika harus membabat hutan-hutan primer secara ugal-ugalan.
Kelima, pengawasan terhadap izin dan operasional industri-industri swasta. Dalam hal ini, negara harus tegas memberi sanksi, bahkan menutup industri swasta yang melakukan pelanggaran merusak lingkungan.
Keenam, negara juga akan mendorong penelitian, teknologi, dan pembangunan—termasuk infrastruktur—yang ramah lingkungan.
Ketujuh, Khilafah akan memberikan sanksi tegas kepada siapa pun yang melakukan perusakan lingkungan. Dalam Islam, kejahatan ini termasuk kategori jarimah takzir yang jenis hukumannya diserahkan kepada penguasa atau kadi. Hukumannya dapat berupa jilid (dera), penjara, pengasingan, denda, penyitaan perampasan harta dan penghancuran barang sesuai dengan kadar dari seberapa besar dampak dan kerusakan yang telah dilakukan oleh pelaku perusakan lingkungan.
Inilah kebijakan tepat dan cermat khilafah islam, kemampuan sistem islam menyelesaikan banjir bukan sebatas kerja duniawi namun membutuhkan kerja ruhiyah yakni ketakwaan pemimpin dan seluruh rakyatnya.
Wallahu a'lam.

Posting Komentar