-->

Bullying Merebak, Potret Pendidikan Rusak


Oleh : Khoiroh Anisya, S.Pd

Seorang santri nekat membakar gedung asrama pondok pesantren di Kuta Baro, Aceh Besar karena kesal mendapatkan perundungan dari teman-temannya. Ia. mengalami tekanan sosial akibat ejekan, pelecehan dan pengucilan. Pelaku saat ini sudah diamankan pihak kepolisian. Peristiwa itu terjadi pada Jumat (31/10) dini hari. Aksi perundungan menyebabkan pelaku tertekan secara mental hingga timbul niat pelaku untuk membakar gedung asrama di pesantren. (detikNews)

Menilik kasus tersebut, tampak bahwa kejahatan yang dilakukan pelaku tidak bisa disepelekan. Selain karena dampaknya begitu besar, baik berupa korban jiwa maupun materiel, pelakunya adalah anak remaja usia sekolah. Pelaku mengaku telah menjadi korban bullying, dan dengan cara itulah mereka berniat membalaskan dendam.

Bullying memang sudah menjadi isu yang memprihatinkan. Dari waktu ke waktu kasusnya terus meningkat signifikan, termasuk di lingkungan satuan pendidikan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut, pada 2022 jumlah kasusnya ada 194, sedangkan pada 2024 meningkat menjadi 573 kasus. Itu yang tercatat.

Selain jumlah kasusnya yang terus meningkat, kadar kekerasan, baik model maupun dampaknya pun kian mengerikan. Sebelum dua kasus ini muncul, marak kasus korban bully yang nekat bunuh diri (bundir). Sepanjang 2025, setidaknya ada 25 kasus anak bundir yang sebagiannya akibat bullying. Namun mirisnya, semua itu tidak juga memberi pelajaran. Para pelaku bullying tetap saja bergeming. 

Semua fakta ini pada akhirnya menyisakan pertanyaan, ada apa dengan dunia pendidikan kita sehingga output-nya sedemikian menyedihkan? Mengapa sistem pendidikan kita tampak mandul menciptakan profil generasi cemerlang yang punya karakter kuat dan bisa membawa kebaikan bagi bangsa dan negara?

Apa yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tampak jauh panggang dari api.

Begitu pun ketika disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, semuanya tampak utopis. Faktanya, sistem pendidikan yang diterapkan hari ini kian kehilangan visi, bahkan makin terseret arus liberalisasi dan kapitalisasi.

Terbukti, arah dan tujuan, serta kurikulum pendidikan hari ini hanya fokus pada aspek-aspek materiel dan jauh dari nilai-nilai luhur yang keseluruhannya dibutuhkan untuk membangun sebuah peradaban cemerlang, seperti nilai-nilai ruhiyah, akhlakiyah, dan insaniyah.

Sistem pendidikan hari ini bahkan seolah di-setting hanya untuk mengabdi pada kepentingan bisnis para kapitalis, yakni sebatas menjadi penyedia tenaga kerja terlatih namun berharga murah, bukan untuk mencetak SDM yang berkepribadian mulia dan siap membangun dan memimpin peradaban cemerlang.

Semua ini memang sangat niscaya, mengingat sistem pendidikan yang berlaku saat ini tegak di atas paradigma atau asas yang rusak, yakni paham sekularisme yang menihilkan peran agama dalam kehidupan. Hal ini salah satunya tampak pada kurikulum yang makin menyingkirkan aspek agama dan justru mendorong para pembelajar untuk hanya siap menjadi robot para kapitalis sekaligus menjadi manusia-manusia yang sekuler, liberal, individualistis, dan materialistis.

Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya mumpuni secara pengetahuan, tetapi minus secara adab dan moral. Bahkan, bermunculan para kriminal yang intelek atau intelektual yang kriminal, di mana keberadaan ilmu pada diri mereka justru menjadi sumber kerusakan.

Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa paham sekularisme bukan saja menjadi asas dalam sistem pendidikan, melainkan juga menjadi asas dalam seluruh aspek kehidupan, baik secara individu, bernegara maupun bermasyarakat. Kita lihat sistem politik, sistem ekonomi, sistem pergaulan, sistem hukum dan persanksian, dll., seluruhnya jauh dari ajaran agama, dan begitu didominasi nilai-nilai keduniawian, tanpa ada standar halal-haram.

Sejatinya tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam. Proses pendidikan dilakukan dengan cara pembinaan intensif, nembentuk pola pikir dan pola sikap islami, tidak hanya fokus pada nilai materi, tapi juga nilai maknawi dan nilai ruhiyah. Kurikulum harus berbasis aqidah Islam, menjadikan adab sebagai dasar pendidikan.

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang berada di bawah sistem negara ini. Oleh karenanya, upaya untuk menghentikan kekerasan di pesantren harus diawali dari perubahan mendasar terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Asas sekuler yang selama ini telah menghasilkan budaya kekerasan dan generasi pem-bully harus diganti dengan asas yang sahih, yaitu akidah Islam.

Dengan demikian, akan terwujud generasi yang taat pada Allah Swt., yaitu generasi yang menjadikan halal/haram sebagai standar perbuatannya. Generasi muslim akan bersikap penyayang pada orang lain dan tidak menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Generasi muslim yang demikian merupakan hasil dari sistem pendidikan Islam yang bertujuan membentuk syahsiah (kepribadian) Islam.

Sistem pendidikan Islam tidak hanya mengurusi murid/santri, tetapi juga guru dan lembaga pendidikannya. Negara (Khilafah) tidak melarang adanya individu yang membuka sekolah, tetapi harus mengikuti kurikulum dan aturan-aturan yang sudah ditetapkan negara. Hal ini berarti semua lembaga pendidikan di dalam negara menerapkan kurikulum Islam berbasis akidah Islam dan aturan sesuai syariat Islam.

Selain itu, semua lembaga pendidikan di dalam negara harus gratis karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Negara wajib menyediakan pendidikan terbaik bagi rakyat secara gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun. Bahkan, para murid mendapatkan buku, alat tulis, seragam, makan minum, asrama, dan baju ganti secara gratis.

Para guru dan pengurus sekolah atau lembaga pendidikan akan dibina oleh negara agar mereka memahami visi, misi, strategi, dan kurikulum pendidikan Islam. Negara akan proaktif mendata, mengurusi, mengevaluasi, dan mengawasi semua lembaga pendidikan yang ada di tengah masyarakat.