Ayah Makin Jauh, Anak Makin Rapuh? Fenomena Fatherless Meningkat
Oleh : Meidy Mahdavikia
Belakangan ini, istilah fatherless semakin sering muncul di berbagai media sosial dan ruang diskusi publik. Istilah ini merujuk pada kondisi ketiadaan sosok ayah, baik secara fisik maupun emosional, dalam kehidupan seorang anak. Fenomena ini bukan hanya dialami oleh segelintir keluarga, tetapi telah menjadi masalah sosial yang meluas.
Seperti dilansir dari Kompas.id (10/10/2025), jutaan anak di Indonesia tumbuh tanpa peran ayah yang aktif, baik karena perceraian, pekerjaan yang menyita waktu, atau ketidakhadiran emosional. Dalam artikel berjudul “Lewat Media Sosial, Dukungan untuk Fatherless Mengalir”, disebutkan bahwa banyak anak dan remaja mulai membuka diri menceritakan pengalaman hidup tanpa figur ayah. Dukungan pun mengalir dari warganet yang memiliki pengalaman serupa.
Namun, di balik kisah mengharukan itu, tersimpan realitas yang lebih serius. Dalam laporan lain berjudul “Bagaimana Dampak Ketiadaan Sosok Ayah bagi Tumbuh Kembang Anak”, para psikolog mengingatkan bahwa anak yang kehilangan figur ayah berpotensi mengalami gangguan emosional, krisis identitas, hingga kesulitan membangun kepercayaan diri. Sosok ayah seharusnya berperan penting dalam memberikan rasa aman, disiplin, dan teladan bagi anak.
Sementara itu, menurut Tagar.co (8/10/2025), kondisi fatherless di Indonesia ironisnya justru meningkat di tengah masyarakat yang disebut “patriarkal”. Artinya, meski secara budaya laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga, banyak di antara mereka yang gagal menjalankan peran ayah secara utuh. Kesibukan mencari nafkah, tekanan ekonomi, dan gaya hidup modern menjauhkan mereka dari anak-anaknya.
Bahkan, sebagaimana diulas oleh Voi.id (11/10/2025) dalam artikel “Desakan Ekonomi, Jutaan Anak Indonesia Fatherless”, fenomena ini tidak lepas dari realitas ekonomi yang menekan. Banyak ayah bekerja jauh dari rumah, terjebak dalam sistem kerja panjang demi memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, kehadiran mereka di rumah berganti dengan transfer uang, bukan perhatian dan kasih sayang.
Mengapa Sistem Sekuler Melahirkan Generasi Tanpa Ayah
Fenomena fatherless tidak muncul dari ruang hampa. Fenomena ini lahir dari sistem kapitalistik sekuler yang menempatkan materi dan produktivitas di atas nilai keluarga. Dalam sistem tersebut, manusia dinilai dari seberapa besar ia mampu menghasilkan uang, bukan dari seberapa baik ia membimbing keluarganya.
Kapitalisme telah membentuk struktur sosial yang menuntut ayah bekerja tanpa batas waktu. Demi memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat, mereka harus rela meninggalkan rumah dari pagi hingga malam. Bagi sebagian keluarga, bekerja di luar kota atau luar negeri menjadi satu-satunya pilihan. Akibatnya, fungsi ayah sebagai qawwam yang meliputi peran sebagai pelindung, pendidik, dan pembimbing moral semakin tergerus oleh tuntutan ekonomi.
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan juga membuat banyak keluarga kehilangan arah dalam mendidik anak. Konsep keluarga tidak lagi berlandaskan nilai spiritual, melainkan pada standar kesuksesan material. Ayah merasa kehadiran emosional tidak terlalu penting selama ia telah memenuhi kebutuhan finansial keluarga.
Berbagai penelitian sosial menunjukkan bahwa ketiadaan figur ayah berpengaruh langsung pada meningkatnya kenakalan remaja, depresi, dan krisis moral. Tanpa teladan yang dapat dijadikan panutan, anak tumbuh tanpa pijakan yang kuat dalam menghadapi kehidupan. Mereka tumbuh dalam kelimpahan materi, tetapi miskin kasih sayang dan arah hidup.
Fenomena fatherless bukan hanya persoalan keluarga, tetapi juga gambaran kegagalan sistem sekuler liberal dalam menata kehidupan manusia. Ketika peran ayah direduksi menjadi semata-mata pencari nafkah, lahirlah generasi tanpa figur panutan dan masyarakat kehilangan fondasi moralnya.
Qawwam sebagai Solusi Islam atas Krisis Peran Ayah
Islam memandang keluarga sebagai pondasi utama masyarakat. Dalam Islam, ayah memiliki peran sentral sebagai qawwam yang berarti pemimpin, pelindung, dan penanggung jawab bagi keluarganya. Ia tidak hanya bertugas sebagai pencari nafkah, tetapi juga berperan sebagai guru pertama bagi anak-anaknya.
Teladan terbaik dapat dilihat dari kisah Luqman al-Hakim yang mendidik anaknya dengan nasihat penuh hikmah dan kasih sayang. Luqman tidak hanya memberikan materi, tetapi juga membimbing akidah dan moral anaknya. Inilah konsep pendidikan keluarga dalam Islam, yaitu keseimbangan antara tanggung jawab ekonomi dan spiritual.
Dalam sistem Islam, negara memiliki peran besar dalam menopang peran ayah. Negara wajib menjamin tersedianya lapangan kerja dengan upah yang layak sehingga ayah tidak harus meninggalkan keluarganya demi bertahan hidup. Sistem ekonomi Islam memastikan distribusi kekayaan yang adil agar setiap kepala keluarga dapat memenuhi kebutuhan dasar tanpa harus terjebak dalam sistem kerja yang menindas.
Selain itu, sistem perwalian dalam Islam menjamin bahwa setiap anak memiliki figur ayah atau wali yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan pendidikannya. Tidak ada anak yang dibiarkan tumbuh tanpa bimbingan moral atau perlindungan sosial.
Dengan demikian, solusi terhadap fenomena fatherless tidak akan efektif jika hanya berhenti pada ajakan moral atau terapi keluarga. Selama sistem sekuler kapitalistik tetap mendominasi, peran ayah akan terus terpinggirkan oleh tuntutan ekonomi dan budaya materialistik. Hanya sistem Islam yang mampu mengembalikan kehormatan keluarga, menegakkan kembali fungsi ayah sebagai qawwam, dan membangun generasi yang kuat secara spiritual dan sosial.

Posting Komentar