-->

Air Hak Bersama Milik Umat

Oleh. Gazalah Al Haruriah

Penamabda.com-Beberapa waktu terakhir, masyarakat ramai membicarakan soal praktik pengambilan sumber air oleh perusahaan air minum dalam kemasan. Banyak yang kaget saat tahu bahwa air yang dikemas dan dijual luas itu sebagian besar diambil dari sumur dalam atau akuifer pegunungan, bukan dari mata air yang benar-benar mengalir di permukaan sebagaimana dibayangkan selama ini. 

Hal ini bermula dari pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), yang mengaku heran karena sumber air Aqua ternyata berasal dari pengeboran, bukan dari mata air permukaan sebagaimana digambarkan dalam iklan. Menanggapi hal itu, pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Profesor Lambok M. Hutasoit, memberikan penjelasan ilmiah untuk meluruskan kesalahpahaman tersebut. Ia menerangkan bahwa istilah air pegunungan yang digunakan industri AMDK bukan berarti air yang langsung muncul di permukaan gunung, melainkan air yang berasal dari sistem akuifer bawah tanah di kawasan pegunungan.

Bagi sebagian orang, hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Wajar saja, sebab ketika air tanah dieksploitasi terus-menerus untuk kepentingan industri, dampaknya bisa terasa langsung oleh masyarakat sekitar, seperti debit air menurun, sumber mata air mengering, dan keseimbangan alam terganggu. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa selama dilakukan secara ilmiah dan dengan izin resmi, hal itu masih bisa diterima.

Di tengah perdebatan itu, ada satu hal yang sebenarnya jauh lebih penting untuk kita renungkan, siapa yang seharusnya berhak atas air? Apakah air boleh dikuasai dan dijual oleh segelintir pihak, sementara masyarakat lainnya harus membeli untuk bisa menikmati air bersih?

Dalam pandangan Islam, jawabannya jelas. Air bukan milik pribadi, melainkan milik bersama. Rasulullah ﷺ bersabda,

Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa air adalah bagian dari harta milik umum. Artinya, tidak boleh ada individu atau perusahaan yang menguasai dan memperjualbelikan sumber air secara bebas. Negara justru berkewajiban mengatur dan memastikan agar setiap warga bisa memanfaatkan air dengan adil dan merata.

Islam memandang air bukan sekadar benda ekonomi yang bisa dijadikan sumber keuntungan, melainkan anugerah Allah yang harus dijaga dan dikelola untuk kepentingan seluruh makhluk. Maka, ketika air dijadikan barang dagangan dan dikuasai oleh pemodal besar, itu menunjukkan cara pandang yang keliru. Cara pandang yang lahir dari sistem ekonomi kapitalis yang menilai segala sesuatu berdasarkan nilai uang.

Negara dalam sistem Islam berperan sebagai pengurus dan pelindung rakyat (raa‘in), bukan sebagai penjual hak rakyat. Tugasnya memastikan sumber daya alam, termasuk air, dikelola dengan bijak agar tetap menjadi rahmat bagi semua, bukan sumber kesengsaraan. 

Persoalan eksploitasi air hanyalah salah satu dari banyak masalah besar dalam sistem ekonomi yang berjalan sekarang. Solusi yang sesungguhnya bukan sekadar menambah aturan atau memperketat izin, tetapi mengembalikan cara pandang kita pada aturan Islam yang menempatkan manusia sebagai penjaga amanah, bukan penguasa alam. Dengan sistem yang adil dan berpihak pada kemaslahatan umat, air akan kembali menjadi sumber kehidupan, bukan sumber keuntungan. Wallahu a'lam bishawab.