Hidup dengan Standar Sosmed Tidak Bisa Menjadikan Kita Bahagia
Oleh : Lathifah Tri Wulandari, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
TikTok merupakan salah satu platform media sosial yang sangat populer di seluruh dunia, dengan berbagai fitur menarik di dalamnya. Aplikasi ini kini menjadi wadah yang banyak dimanfaatkan masyarakat untuk mengekspresikan diri sekaligus meraih penghasilan. Banyak orang di berbagai belahan dunia berupaya mengubah hidup mereka melalui konten yang diunggah di TikTok.
Namun, layaknya pisau bermata dua, media sosial memiliki sisi positif dan negatif. Semua tergantung bagaimana pengguna menyikapinya. Suka tidak suka, media sosial menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia dan harus dimanfaatkan secara bijak. Sayangnya, tidak sedikit yang justru menyalahgunakan teknologi ini. Salah satu dampak negatif yang cukup mengkhawatirkan dari penggunaan media sosial adalah gangguan pada kesehatan mental (mental health).
Pasalnya, orang yang terganggu kesehatan mentalnya akan mudah terkena fear of missing out (Fomo), tidak pernah merasa puas, mudah ngelokro (lunglai) dan mudah kesepian. Kemudian dampak negatif lainnya dari media sosial maraknya modus penipuan di internet. Terkadang, dalam perjalanan hidup, akan kerap merasa tertekan untuk mengikuti standar yang ditetapkan oleh orang lain dan bahkan marak mengikuti dengan standar Tiktok.
Tren ini menunjukkan banyak orang, terutama generasi muda, mulai mengadopsi atau terpengaruh oleh standar gaya hidup, penampilan, dan kesuksesan yang dipromosikan melalui konten di TikTok. Kondisi tersebut sering kali menciptakan standar yang tidak realistis, sehingga memicu perasaan tidak percaya diri, tekanan sosial, hingga perilaku konsumtif yang berlebihan, seperti fenomena doom spending.
Fenomena ini muncul karena konten di TikTok cenderung menampilkan sisi-sisi positif dan ideal kehidupan, tanpa memperlihatkan realitas pahit atau kelemahan di baliknya. Akibatnya, muncul tekanan sosial untuk mengikuti tren dan mempertahankan citra "ideal" di dunia maya. Dorongan ini membuat sebagian pengguna rela melakukan doom spending — yaitu perilaku belanja impulsif yang didorong oleh tekanan emosional dan kebutuhan akan eksistensi digital serta penerimaan sosial.
Bahkan menormalisasi hal negatif seperti menormalisasikan kenakalan remaja atau perilaku yang minim moral, yang dapat memengaruhi pandangan generasi muda dan dianggapnya keren bahkan bangga jika melakukan hal negatif. Para remaja biasanya ingin terlihat menonjol daripada yang lain. Tentunya masih banyak lagi problematika kehidupan pada saat ini. Sebenarnya hidup dengan standar sosmed tidak bisa menjadikan kita bahagia. Lalu bagaimana agar memiliki kehidupan yang layak dan bahagia dengan standar yang baik dan benar?
Jawabannya tentu saja hiduplah dengan standar Islam yang menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari ibadah ritual hingga perilaku sosial, yang mencakup menjalankan ibadah wajib seperti shalat, berpuasa, dan membayar zakat, serta menerapkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, kerja keras, adil, dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, standar hidup Islam juga meliputi menjaga kesehatan mental dan fisik, mengatur interaksi sosial yang harmonis, dan memastikan semua aspek kehidupan didasarkan pada keimanan yang benar kepada Allah SWT.
Begitu juga, menjadikan akidah Islam sebagai pusat orientasi hidup untuk menentukan standar benar dan salah, mengimani Allah SWT, hari akhir dan berupaya menjaga hawa nafsu. Ditambah pula mengajarkan niat yang bersih dalam segala aktivitas karena segala sesuatu tergantung pada niatnya. Yang paling penting mengendalikan diri untuk tidak membandingkan hidup dengan orang lain, melainkan menerima dan mensyukuri apa yang dimiliki sesuai dengan kadar yang Allah berikan.
Jika dilihat, standar sosmed sangat memberatkan dan memicu tekanan jiwa. Bahkan bisa juga batil dan bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, penting memahami dan menerapkan standar hidup Islami yang dapat membantu agar merasa cukup dan bersyukur. Selama Allah SWT rida karena kita taat pada-Nya, itu sudah cukup.
Ingatlah, tujuan utama hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah dan mempersiapkan diri untuk akhirat. Ketika tujuan ini menjadi prioritas, hal-hal duniawi akan terasa kurang penting. Contoh, standar dalam penampilan yang penting rapi, bersih dan jujur apa adanya. Tidak harus mewah, tapi menyembunyikan realita alias memakai topeng kepalsuan.
Sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin meraja lela.
Sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad SAW di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
Itulah gambaran orang yang konsekuen dengan ajaran Islam saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul SAW begitu sulitnya dan begitu beratnya. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam. Demikianlah risikonya. Namun nantikan balasannya di sisi Allah yang luar biasa andai mau bersabar. Ingatlah janji Allah, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (TQS az Zumar: 10).[]

Posting Komentar