Tragedi Ambruknya Ponpes Al Khoziny, Bukti Lalainya Negara dalam Menjamin Pendidikan yang Aman
Oleh : Ani Yunita (Pemerhati Generasi)
Kabar duka datang dari dunia pendidikan Islam. Gedung lantai 4 Pondok Pesantren Al Khoziny ambruk saat para santri sedang melaksanakan shalat Ashar di lantai 2. Sekitar 160 orang menjadi korban, dan 37 diantaranya dinyatakan meninggal dunia. detiknews(05/10/25).Tragedi ini bukan sekadar musibah teknis, tapi cerminan kelalaian sistemik dalam tata kelola pendidikan dan tanggung jawab negara terhadap keselamatan rakyatnya.
Dugaan awal menyebutkan, penyebab robohnya gedung adalah lemahnya konstruksi bangunan dan buruknya pengawasan pembangunan. Ironisnya, dana pembangunan pondok tersebut sebagian besar berasal dari wali santri dan donatur sumber yang sangat terbatas. Kondisi ini menggambarkan betapa masyarakat harus memikul sendiri beban besar dalam menyediakan sarana pendidikan, sementara negara seolah berlepas tangan.
Fenomena ini menunjukkan wajah asli dari sistem sekuler demokrasi yang diterapkan hari ini. Dalam sistem ini, pendidikan tidak ditempatkan sebagai tanggung jawab penuh negara, melainkan dijadikan urusan masyarakat. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator dan pemberi izin, bukan penanggung jawab utama. Akibatnya, banyak lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren yang berdiri dengan fasilitas seadanya, tanpa jaminan mutu dan keselamatan yang memadai.
Lebih ironis lagi, negara begitu sigap menuntut kelengkapan administrasi dari lembaga-lembaga pendidikan, tetapi amat lambat hadir ketika menyangkut keselamatan jiwa umat. Tragedi ini adalah potret nyata bahwa keselamatan rakyat bukan prioritas dalam sistem kapitalistik yang mengukur segalanya dengan uang dan efisiensi biaya. Selama pembangunan hanya dilihat dari kacamata untung rugi, bukan amanah dan tanggung jawab, maka musibah semacam ini akan terus berulang.
Padahal dalam Islam, pendidikan adalah hak rakyat sekaligus kewajiban negara. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara Islam tidak akan membiarkan rakyatnya menanggung sendiri biaya dan risiko pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan harus disediakan negara dengan jaminan keamanan, kenyamanan, dan kualitas terbaik, dibiayai dari Baitul Mal, bukan dari kantong masyarakat. Dalam sistem Islam, setiap proyek pembangunan apalagi yang menyangkut keselamatan nyawa akan diawasi ketat oleh aparat negara yang amanah dan takut kepada Allah.
Bahkan khalifah akan memastikan bahwa setiap bangunan publik, termasuk lembaga pendidikan Islam, memenuhi standar kekuatan dan keamanan. Tidak ada ruang bagi korupsi, mark up, atau proyek asal jadi, karena nyawa manusia adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Tragedi seperti robohnya gedung Ponpes Al Khoziny tidak bisa diselesaikan dengan ucapan belasungkawa, pembentukan tim investigasi, atau revisi aturan teknis semata. Akar persoalannya ada pada sistem yang memisahkan agama dari urusan kehidupan. Sistem inilah yang membuat negara abai terhadap kewajiban mendasar untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, tragedi ini bukan sekadar robohnya beton dan semen, tapi simbol robohnya tanggung jawab negara terhadap umatnya. Ini alarm keras bahwa kita tidak bisa lagi menambal sistem yang cacat sejak dasar. Umat harus sadar bahwa perubahan sejati hanya bisa terwujud dengan mengganti sistem sekuler yang rusak dengan sistem Islam kaffah, sistem yang menempatkan nyawa, ilmu, dan amanah di atas kepentingan materi.
Hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, negara akan benar-benar menjadi pelindung rakyat, menjamin pendidikan yang aman, bermutu, dan bernilai ibadah. Saatnya umat kembali kepada aturan Allah, agar tragedi semacam ini tidak lagi menjadi berita duka yang terus berulang.
Wallahu a'lam bish shawab
Posting Komentar