-->

Tepuk Sakinah, Solusikah Bagi Permasalahan Kaum Perempuan ?


Oleh : Maulli Azzura

Fenomena “Tepuk Sakinah” sempat ramai di media sosial, bukan hanya karena nadanya yang lucu, tapi karena pesan tersiratnya yang kuat. Di balik tepuk tangan itu, tersimpan keresahan nyata: banyak anak muda kini merasa menikah bukan lagi keharusan, melainkan pilihan yang harus matang secara emosional dan finansial. Mereka ingin kehidupan yang stabil, setara, dan membahagiakan, bukan sekadar memenuhi tuntutan sosial.

tren ini menunjukkan pergeseran besar dalam cara generasi muda memandang pernikahan. Bagi banyak orang, menikah tanpa kesiapan justru terasa lebih menakutkan daripada menunda. Pernikahan bukan lagi tujuan akhir, tetapi perjalanan panjang yang perlu dasar kuat: ekonomi yang aman, komunikasi yang sehat, dan kepercayaan satu sama lain.

Munculnya trend tepuk Sakinah apakah menjadi solusi untuk berkurangnya kasus perceraian?. 

Sejatinya program penguatan ketahanan keluarga dan berbagai undang-undang tidak akan menjadi solusi jika tidak dibarengi dengan perbaikan sistem politik, ekonomi, sosial budaya dan sistem lainnya. Guncangan pada institusi pernikahan saat ini sesungguhnya tidak lepas dari sistem sekuler kapitalisme yang melingkupi masyarakat. Juga ide feminisme yang terus digencarkan oleh para aktivisnya dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan. Ditambah difasilitasi oleh negara agar perempuan berdaya di ranah publik yang pada akhirnya melalaikan kewajiban perempuan dalam ruang domestik keluarga. Ada anggapan bahwa tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga dan mengikuti perkembangan zaman lah yang memberikan ruang luas bagi perempuan untuk berdaya. Dimaksud berdaya dalam hal ini ialah menghasilkan materi (uang).

Secara sadar atau tidak disadari, berterimanya ide feminisme oleh kaum perempuan juga akibat ketidakmampuan negara menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Negara tidak membangun ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat khususnya keluarga. dalam ekonomi saja rakyat dibiarkan berjuang sendiri menafkahi keluarga dan negara malah menyubsidi kaum konglomerat. 

Akhirnya kaum perempuan membenarkan ide feminisme bahwa perempuan yang memiliki kemapanan secara finansial akan bertahan, sedangkan yang masih dalam pengaturan suami (ketergantungan ), selama itu pula menjadi "tawanan bagai penjara" alias keluarga. Menurut aktivis feminis, kaum perempuan sudah mapan ekonominya, tidak memiliki pasangan (suami) pun tidak menjadi masalah.

Juga konsumerisme yang terus menggila. Tuntutan gaya hidup tidak sedikit membuat kaum perempuan lapar mata, padahal penghasilan suami pas-pasan saja. Alhasil cekcok pun menjadi rutinitas biasa. Kemudian sistem pergaulan yang serba bebas ditambah kondisi rumah tangga yang kian jauh dari harmonis, telah mendorong para suami terlibat dalam hubungan yang melanggar syariat. Lemahnya pemahaman awal saat hendak membina rumah tangga acap kali membuat pasangan suami istri menjalankan biduk rumah tangga tanpa bekal ilmu hanya berlandaskan cinta. 

Semua ini terjadi karena pemerintah abai dalam hari ayah dan menjadi junnah bagi rakyat, sehingga rakyat jauh dari kata sejahtera dan jauh dari paham syariat berumah tangga. 

Wallahu A'lam Bishowab