-->

Pakaian Lahiriyah dan Pakaian Takwa


Oleh : Fajri al-abqary, Aktivis Dakwah

Allah telah mensyariatkan pakaian bagi manusia untuk menutup aurat dan juga sebagai perhiasan. Namun, Allah menegaskan, pakaian takwa adalah yang paling baik. Sebab, kemuliaan seseorang di sisi Allah tidak ditentukan oleh bagus atau mahalnya pakaian yang ia kenakan, melainkan oleh tingkat ketakwaannya.

Adapun batasan aurat bagi perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan bagi laki-laki, auratnya adalah bagian tubuh dari pusar hingga lutut. Menutup aurat merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, karena takwa berarti menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Jika kita lihat terkait hukum perbuatan manusia, maka Islam membaginya menjadi lima macam wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Maka, dalam konteks berpakaian, yang diwajibkan menutup aurat, ditambah bagi perempuan ketika hendak ke luar rumah harus mengenakan jilbab (baju kurung) khimar (kerudung). Begitu juga disunnahkan bagi laki-laki mengenakan gamis berwarna putih, dan bagi perempuan mengenakan pakaian berwarna gelap yang sopan. Adapun yang mubah, memakai jenis pakaian lain seperti baju koko, kemeja, atau kaus selama tetap menutup aurat bagi laki-laki.

Sedangkan yang makruh, pakaian yang dapat mengganggu kekhusyukan dalam shalat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain yang melihatnya—misalnya pakaian bergambar atau bertulisan mencolok, terutama di bagian belakang. Adapun yang haram pakaian yang tidak menutup aurat secara sempurna, seperti pakaian ketat, tipis, atau menerawang sehingga menampakkan lekuk tubuh.

Untuk memudahkan pemahaman, hal ini dapat dianalogikan sebagai berikut, seorang laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek yang menutupi area dari pusar hingga lutut sudah memenuhi kewajiban menutup aurat. Dengan pakaian seperti itu, shalatnya tetap sah, sebagaimana orang yang sedang berihram saat haji atau umrah. Ia memperoleh pahala wajib.

Namun, jika ditambah dengan gamis, maka ia memperoleh pahala wajib dan sunnah. Bila hanya mengenakan celana dan kaus polos, ia memperoleh pahala wajib dan mubah. Jika kausnya bergambar, maka berpakaian seperti itu termasuk makruh — perbuatan yang dibenci Allah, meski tidak berdosa, namun mengurangi pahala. Sedangkan orang yang berpakaian tapi sejatinya telanjang—karena ketat atau menerawang—mendapat dosa, sebab melanggar perintah Allah untuk menutup aurat.

Inilah lima hukum perbuatan dalam berpakaian secara lahiriah. Akan tetapi, Islam tidak berhenti pada aspek lahiriah semata. Di balik pakaian fisik, ada pakaian yang jauh lebih penting, yakni pakaian takwa — pakaian batin yang berlapis iman. Iman itulah yang menjadi pakaian ketika seseorang “telanjang” secara fisik, dan rasa malu adalah perhiasannya.

Perbedaan antara pakaian lahiriyah dan pakaian takwa dapat dilihat dari kenyamanan hati seseorang dalam beribadah. Ada orang yang shalat hanya dengan kaus dan merasa cukup, namun ada pula yang merasa kurang pantas jika tidak mengenakan gamis. Di sinilah letak perbedaan rasa malu dan tingkat keimanan seseorang.

Hal serupa juga terlihat dari variasi amal ibadah. Ada orang yang hanya melaksanakan shalat wajib, ada yang menambah dengan shalat sunnah, dan ada pula yang selalu menjaga shalat berjamaah di masjid (sunnah muakkadah). Ada yang shalat di rumah (mubah), di tempat kerja (makruh), bahkan ada yang sholat di tempat terlarang seperti kamar mandi (haram). Semua ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan manusia memiliki nilai hukum yang berbeda sesuai tingkat kepatuhannya kepada Allah.

Tradisi perempuan Indonesia yang mengenakan mukena saat shalat juga memiliki alasan tersendiri. Kebanyakan perempuan tidak selalu berpakaian syar’i saat beraktivitas di luar rumah, sehingga mukena menjadi sarana untuk memastikan aurat tertutup sempurna ketika beribadah. Berbeda halnya dengan perempuan yang bercadar; bahkan ketika wajahnya terlihat oleh laki-laki nonmahram, ia merasa malu. Begitulah hakikat pakaian takwa—pakaian yang melahirkan rasa malu karena takut kepada Allah.

Dalam konteks pakaian takwa, orang yang hanya melaksanakan shalat wajib ibarat baru mengenakan celana pendek: sah dan mendapat pahala wajib, tetapi belum sempurna. Orang yang menambah dengan sholat sunnah seperti mengenakan gamis—lebih indah dan lebih bernilai di sisi Allah. Sementara orang yang meninggalkan sholat wajib sama seperti orang yang telanjang, yakni kehilangan rasa malu dan iman.

Analogi ini tidak hanya berlaku pada urusan shalat, tapi juga dalam seluruh aspek kehidupan. Pakaian takwa mencakup seluruh amal: berdakwah, menuntut ilmu, menikah, berbakti kepada orang tua, mendidik anak, bekerja, berdagang, memimpin, hingga mengatur sistem politik, ekonomi, dan sosial. Semua itu mencerminkan ketaatan kepada Allah dalam hubungan hablumminallah (hubungan dengan Allah), hablumminannafsi (hubungan dengan diri sendiri), serta hablumminannas (hubungan dengan sesama manusia).

Pada akhirnya, setiap amal perbuatan manusia selalu terikat dengan kelima hukum tersebut yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Sebagaimana kaidah ushul fiqih menyebutkan, “Hukum asal perbuatan manusia selalu terikat dengan hukum syara’.”[]