Tangan Tuhan di Balik Kesulitan
Oleh : Safira Ananda Amelia Putri
Jakarta, kota yang berdetak dalam hiruk pikuk, lautan manusia yang terapung dalam dahaga dunia. Di bawah kanvas langit yang sama, jiwa-jiwa berlomba memungut rezeki, membelah batas tipis antara hak yang suci dan bathil yang berlumur. Realita, sebuah pedang bermata dua yang menghunus ke dada mereka yang lemah, yang diremukkan di bawah tumit takhta keserakahan.
Di bangku taman yang menyimpan kebisuan, duduklah Ayra. Gamis abu-abunya adalah warna dari mendung yang mendekap hatinya. Ia bukan lagi sekadar gadis 20 tahun, melainkan sehelai kertas yang ditikam ribuan cemoohan, tanpa ada satu telinga pun yang sudi mendengarkan bisikan kebenaran. Matanya adalah telaga yang kering, hanya mampu menatap langit sebagai satu-satunya saksi atas kepedihan yang tak terkatakan.
“Kejam, bukan?” suara itu menyentuh telinganya, selembut angin lalu.
Ayra menoleh, senyumnya adalah jembatan rapuh yang dibangun di atas jurang kesabaran. “Tidak sekejam janji balasan di padang yaumil hisab kelak,” jawabnya, suaranya mengandung gemuruh ikhlas.
“Allah, Dia Maha Adil,” sahut perempuan di sisinya, mengamini.
“Sangat adil,” Ayra membalas, seuntai kata yang terlepas dari kerongkongan yang tercekat.
Lalu, sosok itu pergi, meninggalkan Ayra bersama sunyi yang semakin pekat. Ayra, yang tengah berlayar di samudra cobaan, berjuang agar bahteranya tak karam dalam badai keputusasaan.
Kini, ia benar-benar sendirian. Keluarganya adalah tungku yang hampir padam; ibunya terbaring, napasnya memanggil obat yang harganya setinggi langit, dan adik-adiknya, tunas-tunas harapan yang terancam layu tanpa air ilmu. Dompetnya adalah cermin kehampaan, dan perutnya, sebuah genderang lapar yang ditabuh tanpa henti.
Ia memejamkan mata, membiarkan embun air mata membasahi pipi. “Ya Allah, Rabb-ku. Di mana ujung dari tikungan takdir ini? Aku lelah mengeja sabar. Jarak antara hamba dan pertolongan-Mu terasa seluas langit tak bertepi. Tunjukkan hamba, di mana letak jari-jari lembut Tangan Tuhan itu?”
Dalam hening yang sakral, saat Ayra merasa dirinya adalah debu yang tersapu badai, pandangannya menangkap sebuah anomali. Di bawah naungan bangku yang ia duduki, tersembunyi setengahnya oleh bayangan, sebuah amplop cokelat tebal.
Napas Ayra tertahan. Tangannya gemetar menyentuh kertas itu, merasakan denyut misteri yang ia bawa. Bukan keserakahan yang mendorongnya, melainkan desakan naluriah dari jiwa yang hampir mati kehausan.
Amplop itu terbuka. Matanya membesar, seolah retina tak sanggup menampung cahaya yang tiba-tiba menyinari kegelapan. Di dalamnya, tumpukan lembar uang yang menjanjikan napas bagi tungku keluarganya, obat bagi ibunya, dan masa depan bagi adik-adiknya. Jumlahnya melampaui kebutuhan sesaatnya.
Bersama rezeki yang jatuh dari langit tak terduga, sehelai kertas terselip, laksana pesan yang diukir oleh angin. Ayra membacanya, hatinya menghangat.
“Janganlah hati didera sedih, sesungguhnya Dia senantiasa bersama kita. Teruslah genggam kebaikan dan sandarkan dirimu pada kesabaran yang abadi. Gunakan titipan ini sebagai amanah suci. Ketahuilah, pertolongan itu hadir paling dekat, bagi jiwa yang hanya menengadah pada Sumber Cahaya.”
Seorang Hamba yang Dituntun
Tangis Ayra pecah, deras dan membersihkan. Bukan lagi tangisan keputusasaan, melainkan air mata syukur yang membasahi janji. Ia mendongak, mencari sosok yang telah menjadi perpanjangan tangan Rahmat Ilahi, namun taman itu sunyi, hanya ada ia dan keajaiban.
Ia menyadari, ini bukan sekadar kebetulan. Ini adalah aksen, sebuah jeda yang sengaja diletakkan oleh Sang Sutradara Agung dalam naskah kehidupannya yang penuh derita. Ini adalah jawaban yang dikirimkan, bukan melalui guntur atau kilat, melainkan melalui kelembutan hati yang tak dikenal, yang digerakkan oleh Nur Kasih Sayang.
Ayra memeluk amplop itu ke dadanya, seolah memeluk keyakinan yang baru saja terlahir kembali. Kekuatan mengalir, menghapus rasa lelahnya. Ia kini mengerti: kesulitan yang ia hadapi bukanlah hukuman, melainkan tirai yang harus disingkap agar ia dapat menyaksikan pertolongan Allah yang turun, tepat pada saat jiwanya berteriak memanggil.
“Alhamdulillah,” bisiknya, kini suaranya mengandung getaran iman yang utuh. “Janjimu adalah Cahaya, Ya Rabb. Aku ikhlas menerima segala takdir. Sebab kesulitan ini adalah gerbang untuk menyaksikan, betapa nyata dan dekatnya Tangan Tuhan yang bekerja dalam diam, menyentuh nasib hamba-Nya yang tak berdaya.”
Ayra bangkit. Langkahnya kini dipandu oleh keyakinan, bukan lagi keraguan. Ia telah menemukan sumber kekuatannya: sebuah keyakinan tak tergoyahkan, bahkan di puncak kesulitan, Allah tak pernah menarik diri, melainkan membentangkan karpet pertolongan-Nya melalui jalan yang paling tak terduga.
Ia melangkah pulang, membawa di tangannya bukan hanya uang, melainkan bukti nyata akan keesaan dan pertolongan Sang Pencipta.
Tentu, saya akan melanjutkan kisah puitis Ayra, memfokuskan pada bagaimana rezeki tak terduga itu menjadi awal dari pemulihan spiritual dan materialnya, serta bagaimana ia berusaha mencari tahu di balik Tangan Tuhan yang menolongnya.
Ayra melangkah keluar dari taman, membawa di dadanya bukan sekadar uang, melainkan janji suci yang tertulis di lembaran kertas. Kota Jakarta yang semula terasa mencekik, kini seolah membisikkan melodi harapan. Setiap langkah kakinya di atas aspal terasa lebih ringan, seolah beban fitnah dan kemiskinan telah diangkat oleh kekuatan gaib.
Ia segera menyelesaikan tunggakan sewa yang mendera, membeli obat-obatan terpenting untuk ibunya, dan memasukkan sebagian dana ke rekening sekolah adik-adiknya. Kehangatan kembali merambat di rumah kecil mereka. Ibunya, meski masih lemah, menatap Ayra dengan mata yang memancarkan doa.
"Nak, dari mana semua ini?" suara ibunya parau, penuh tanya.
"Ini rezeki yang besar sekali, di saat kita sudah tak punya apa-apa."
Ayra tersenyum, senyum yang kini dipenuhi ketenangan hakiki. "Ini adalah rezeki dari Allah, Bu. Datang melalui perantara 'Hamba Allah' yang tak ingin dikenal."
Ia menceritakan perihal amplop itu, perihal kata-kata yang menguatkan, perihal keajaiban yang terjadi di tengah keputusasaan. Ibunya menggenggam tangan Ayra, air mata kembali menggenang, namun kali ini adalah air mata tauhid—pengakuan akan kebesaran dan kasih sayang Tuhan.
Meski hidupnya perlahan membaik, pikiran Ayra terusik oleh misteri si dermawan. Siapakah ia? Ayra merasa wajib membalas kebaikan itu, atau setidaknya memanjatkan doa langsung di hadapannya. Ia kembali ke taman itu setiap sore, duduk di bangku yang sama, berharap bayangan Hamba Allah itu akan muncul kembali.
Ia menanyakan pada pedagang sekitar, pada petugas kebersihan, bahkan pada satpam taman. Nihil. Tidak ada yang mengingat siapa pun yang terlihat meletakkan amplop cokelat di bangku itu. Seolah-olah bantuan itu memang sengaja dihadirkan tanpa jejak, untuk menegaskan bahwa fokus syukur haruslah tertuju pada Pemberi Rezeki, bukan pada perantara.
"Pertolongan ini murni dari-Mu, Ya Rabb," bisik Ayra suatu sore, ketika daun-daun kering kembali berjatuhan di sekelilingnya. "Engkau datang tanpa nama, tanpa wajah, agar aku hanya melihat Tangan-Mu yang mengulur."
Namun, di tengah pencariannya yang sia-sia, Ayra menemukan selembar kertas yang tersangkut di lipatan bangku, tepat di bawah ukiran yang sudah pudar. Kali ini, tulisan tangannya berbeda, seperti coretan cepat.
Ayra membacanya, “Dia memandang hatimu yang patah. Dia tahu air matamu yang tak tertumpah. Teruslah berjalan, sebab Dia telah memilihmu sebagai saksi bahwa setelah kesulitan, ada kemudahan. Jadikanlah ini bekal, bukan akhir perjuangan.”
Dari sisi lain cermin
'Dari sisi lain cermin.' Kalimat itu menusuk kesadaran Ayra. Ia tersentak. Selama ini, Ayra hanya memandang ke depan, mencari sosok fisik. Kini, ia tersadar. Pertolongan itu datang dari sisi lain, sisi yang tak terlihat, sisi spiritual yang menembus dimensi materi.
Ia mulai memahami: Hamba Allah itu mungkin bukan satu orang. Mungkin ia adalah refleksi dari kebaikan yang Ayra sendiri sebarkan di masa lalu. Mungkin ia adalah isyarat dari janji Tuhan yang tak pernah ingkar.
Ayra memutuskan untuk tidak lagi mencari sosok itu. Fokusnya kini beralih. Ia menggunakan sebagian sisa uang itu untuk memulai usaha kecil-kecilan menjual jilbab dan gamis sederhana. Ia berjanji akan menyisihkan sebagian keuntungannya, bukan hanya sebagai sedekah, melainkan sebagai upaya untuk menjadi perpanjangan Tangan Tuhan bagi orang lain yang juga terpuruk.
Ayra kini berjalan dengan kepala tegak. Cemoohan masih ada, tapi tak lagi melukai. Sebab hatinya telah dipagari oleh keyakinan yang kokoh. Ia tahu, di balik setiap fitnah, ada kasih sayang yang melingkupinya; di balik setiap kesulitan, ada kemudahan yang disiapkan.
Kisah Ayra, gadis bergamis abu, menjadi bisikan di tengah hiruk pikuk Jakarta: bahwa kesulitan hanyalah panggung sunyi yang disiapkan Tuhan, agar manusia berhenti sejenak, menanggalkan segala daya dan upaya diri, untuk kemudian menyaksikan, betapa Agung, Nyata, dan Dekatnya Tangan Tuhan itu, yang senantiasa bekerja dalam keheningan, mengulurkan pertolongan-Nya tepat pada waktu yang paling indah.[]

Posting Komentar