-->

Arogansi Pejabat Publik, Wajah Buruk Demokrasi


Oleh : Erni Sumarni, S.P

Kasus Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Prabumulih, Roni Ardiansyah, yang diduga dicopot karena menegur anak Walikota Prabumulih, Arlan. Roni dimutasi secara mendadak. Pemutasian ini terjadi setelah ia menegur anak Walikota Prabumulih tersebut, karena membawa mobil ke sekolah dan parkir di lapangan saat kegiatan siswa berlangsung (kompas.com, 18/9/2025). 

Menyikapi kejadian tersebut, Gubernur Sumatera Selatan mengutus tim untuk mengklarifikasi kejadian ini dan menekankan, bahwa pemindahan jabatan kepala sekolah harus melalui pelantikan resmi. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga turun tangan, menyatakan bahwa mutasi tersebut tidak sesuai aturan dan akan memberikan sanksi teguran tertulis kepada Walikota Arlan. Setelah klarifikasi, isu pencopotan dibatalkan. Roni Ardiansyah dikabarkan kembali menjabat sebagai kepala sekolah. 

Kontroversi pencopotan Roni juga mendapat perhatian Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumatera Selatan. Wakil Ketua II PGRI Sumsel, Syahrial, menyebut kejadian itu miris karena guru sering disalahkan ketika menegur siswa. Syahrial mengungkapkan, bahwa kejadian sampai dicopot dari kepala sekolah itu sangat miris. Terlepas dari pelarangan anak SMP membawa mobil, itu sudah benar. Anak SMP naik motor saja belum boleh, ujarnya demikian (kompas.com, 18/9/2025).

==
Arogansi Lahir dalam Atmosfer Demokrasi
==

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), arogansi adalah keangkuhan atau kesombongan, yaitu sikap merasa diri lebih unggul dan memandang rendah orang lain. Seseorang yang arogan memiliki perasaan superioritas yang tercermin dalam sikapnya yang memaksa atau pongah.

Sikap arogansi inilah yang tercermin di dalam kasus Arlan, Walikota Prabumulih di atas. Sudah diketahui bersama, bahwa walikota adalah sebuah jabatan publik yang mencerminkan sebuah kekuasaan di suatu wilayah. Jabatan dan kekuasaan adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Saat seseorang memiliki jabatan, maka secara otomatis ia akan mendapatkan kewenangan-kewenangan tertentu yang berkaitan dengan urusan publik (rakyat). 
Adapun kekuasaan adalah hak untuk menjalankan berbagai kewenangan yang akan diterapkan ke publik. 

Dalam atmosfer demokrasi yang diterapkan oleh negara hari ini, kemunculan sosok-sosok pejabat publik yang arogan bukanlah suatu hal yang rahasia lagi. Karena salah satu karakter asli demokrasi adalah membolehkan kebebasan bertingkah laku, termasuk bebas menjalankan kebijakan di luar kewenangannya.

Jelas sekali bahwa Walikota Prabumulih, Arlan, telah melakukan penyalahgunaan wewenang kekuasaannya. Arlan telah melakukan tindakan mutasi Kepsek SMPN 1 Prabumulih tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, seperti yang telah dijelaskan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Di satu sisi, anak Arlan sendiri yang melanggar peraturan sekolah tidak dikenai sanksi apa pun. Ini makin menambah deretan wajah buruk demokrasi yang terkesan membiarkan tindakan pelanggaran bagi pelakunya. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, maka makin sempurnalah wajah buruk demokrasi. 

Dalam demokrasi, muncul pandangan bahwa orang yang berwenang, yaitu pejabat publik dapat bertindak bebas. Siapa pun yang memiliki jabatan akan bebas bertindak sesuka hati atau memiliki wewenang tidak terbatas, termasuk tindakan Arlan, Walikota Prabumulih tersebut. 

Demokrasi juga meniscayakan lemahnya penegakan hukum terhadap perilaku penyalahgunaan wewenang atau peraturan yang sudah berlaku. Jika demikian realitasnya, lantas untuk apa peraturan dibuat bila kenyataannya dilanggar, namun dibiarkan tidak ada sanksi yang tegas dan berefek jera. Kondisi ini bila dibiarkan terus menerus terjadi, maka berpotensi akan terulang lagi kasus yang serupa bahkan bisa merebak. Siapa pun tidak ingin terjadi yang demikian. 

Terbukti, Walikota Prabumulih tersebut hanya diberikan sanksi teguran tertulis semata. Ringan sekali hukumannya, tak sebanding bila rakyat biasa yang melakukan kesalahan kecil, hukumannya berat dan lama. Akan tetapi, jika pejabat publik atau pemimpin meskipun kesalahannya fatal, hukumannya malah ringan. Begitulah, hukum di negeri ini cenderung tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.

Moral dan mental yang lemah telah menjadi hal yang dijaga dan dipelihara dalam sistem demokrasi. Bukan pada satu atau dua orang saja, tetapi mayoritas penguasa dan pejabat dalam demokrasi yang memiliki wewenang atau jabatan tinggi, memiliki moral buruk dan menyalahgunakan wewenang atau jabatan.

Demokrasi tidak hanya melahirkan sikap arogansi pejabat publik saja, melainkan juga melahirkan pejabat publik yang buruk moralnya. Misalnya, Tahun 2018, pernah terjadi kasus perkelahian antara Walikota Prabumulih, Ridho Yahya, dengan pejabat Asisten III, Abdullah Abadi, pada hari Kamis (4/10/2018) di tengah lapangan saat apel pagi (kompas.com, 5/10/2018). Kasus lainnya adalah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) NTB (Nusa Tenggara Barat) yang viral karena melempar mikrofon saat acara resmi (waspada.co.id, 26/9/2025).

Berbeda halnya bila Islam dijadikan sebagai pengaturan urusan kepemimpinan atau pejabat publik. Dengan Islam, kepemimpinan yang muncul adalah kepemimpinan yang penuh tanggungjawab di hadapan Allah, amanah, kompeten, dan berkepribadian Islam. Pemimpin atau pejabat publik seperti inilah yang akan menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia manapun dan dimana pun.

==
Jabatan dan Kekuasaan adalah Amanah yang Berat
==

Dalam sistem sekuler seperti demokrasi, jabatan atau kepemimpinan (kekuasaan) adalah cara untuk menjalankan kehendak rakyat tanpa mengenal batasan hukum halal dan haram. 

Berbeda dengan sistem Islam (khilafah) yang sangat menjunjung kepemimpinan sebagai sebuah amanah untuk menjalankan hukum-hukum Allah saja. Oleh karena itu, siapa pun yang diangkat menjadi pejabat publik pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. di akhirat kelak.

Rasulullah saw. bersabda, "Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus" (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits yang lain diungkapkan, "Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk memelihara urusan rakyat, lalu ia tidak melingkupi rakyat dengan nasihat (kebaikan), kecuali ia tidak akan mencium bau surga" (HR Bukhari).

Adapun Imam Fudhail bin Iyadh menuturkan, "Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah Swt. untuk mengurus urusan kaum muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya, maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariat Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah, dan mengabaikan hudud (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka, dan tidak menegakkan keadilan di tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini, dipandang telah mengkhianati umat" (Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim).

Oleh karena itu, generasi terdahulu begitu khawatir, bahkan takut dengan amanah jabatan publik atau kepemimpinan. Mereka sangat memahami sabda Nabi saw., "Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sedangkan kekuasaan itu pada hari kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian" (HR Nasa'i dan Ahmad).

Islam sangat mendorong agar para pemimpin, baik penguasa maupun pejabat negara, untuk selalu bersikap adil, tidak bersikap sewenang-wenang atau pun bersikap kasar dan emosional. 

Sejatinya, pemimpin adil, berkerpribadian Islam, dan amanah, tidak mungkin lahir dari rahim sistem sekuler demokrasi yang jauh dari tuntunan Islam. Pemimpin adil, berkeperibadian Islam, dan amanah, hanya mungkin lahir dari rahim sistem yang juga adil, yaitu khilafah.

Sejak Rasulullah saw. diutus, hingga masa Khulafaurasyidin, tidak ada satu sistem pun di dunia saat itu yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah, adil, dan berkepribadian Islam, kecuali dalam masyarakat yang menerapkan sistem khilafah. 

Khulafaurasyidin misalnya, terkenal akan kearifan, keberanian, dan ketegasannya dalam membela Islam dan kaum muslimin. Mereka adalah para negarawan ulung yang sangat dicintai rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga dikenal sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur. Bahkan berani memberi hukuman atau sanksi yang tegas bagi siapa pun yang melanggar amanah sebagai pejabat publik. 

Oleh karena itu, bila sistem khilafah ini yang menjadi naungan bagi umat Islam dalam mengangkat pejabat publik, niscaya akan menutup celah lahirnya pejabat-pejabat publik yang bersikap arogan, sewenang-wenang, tidak adil, tidak amanah, dan berakhlak buruk. Sudah saatnya umat Islam hari ini meninggalkan sistem demokrasi. Karena sistem ini hanya bisa melahirkan kerusakan kehidupan di belahan dunia mana pun. Wallahu'alam bishshowab.