-->

Mempertanyakan Solidaritas Bangsa Arab terhadap Gaza


Oleh : Fatimatuz Zahrah

Meskipun Trump telah mengatakan bahwa "perang di Gaza telah berakhir" jelang pembebasan sandra pada 13/10/2025 (Sindonews.com). Namun kondisi di gaza pasca perang masih jauh dari kata nyaman. Warga yang mengungsi mulai kembali ke Gaza. Mereka sementara bisa merasa aman selama gencatan senjata ini. 
 
Meskipun saat ini mungkin bisa jadi kemenangan warga Gaza dengan pengumuman penghentian perang. Namun kita tetap harus waspada belajar dari beberapa kali Israel yang selalu mengkhianati berbagai perjanjian damai yang di sepakati. 

Masih segar di ingatan kita bagaimana Genosida yang terjadi di Gaza selama beberapa tahun terakhir. Bahkan berbagai cara dan gerakan telah di lakukan untuk menghentikan perang. Pada tanggal 25 September, geliat komunitas internasional membantu Palestina melalui jalur diplomasi PBB. 158 dari 193 negara sudah mengakui kedaulatan Palestina. Meskipun begitu Zionis tetap saja acuh tak acuh dan lanjut menyerang Gaza. Bahkan mereka tega membantai anak-anak dengan senjata udara dan menembaki warga di Tepi Barat (kumparan.com/26/9/25).

Karena egoisnya dan kejamnya Zionis sudah makin menjadi-jadi, menggerakan kaum muslimin pada 26 September kemarin, 50 flotilla telah meninggalkan perairan Yunani dan menuju Gaza pada hari Jumat. Banyak pengacara, anggota parlemen, dan aktivis, termasuk aktivis iklim Swedia Greta Thunberg, berada di dalamnya. Mereka tidak peduli dengan ancaman Israel (reuters.com/26/9/25). 

Flotilla tersebut tak gentar menghadapi ancaman Israel bahkan nyawa menjadi taruhan. Pertanyaannya, di mana saja peran penguasa di negeri Arab dalam menyikapi konflik Gaza yang tak selesai? Mereka adalah tetangga terdekat Palestina dan seharusnya mereka adalah pihak nomor satu yang melakukan aksi untuk solusi konflik Gaza.

Tetangga yang tak bersuara, tak mendengar, dan tak melihat
Jika ada masalah yang menyandera satu rumah, minimal tetangga sebelah rumah itu tahu dan tergerak hatinya untuk membantu. Tetapi ini bukan tentang sembarang rumah. Ini adalah tentang wilayah yang sedang digenosida yaitu Gaza. Pertanyaannya, di mana tetangga Gaza alias penguasa-penguasa Arab?
Penguasa Arab telah tunduk pada Barat terutama Amerika Serikat. Menurut BBC, bahkan penguasa Arab malah mesra membeli beberapa peralatan mata-mata, pertukaran militer dan latihan operasional strategis Israel yang dimediasi langsung oleh AS. 

Para penguasa Arab tunduk saja dan membebek pada kebijakan politik internasional dari negara-negara AS dan kroninya. Contohnya para pemimpin negeri-negeri Islam seperti Turki, Mesir, Arab Saudi setuju saja dengan solusi dua negara yang dicanangkan oleh AS.

Para penguasa negeri muslim sibuk dengan urusan internal negara masing-masing karena penyakit yang bernama nasionalisme. Sebuah pemahaman yang membatasi ikatan manusia hanya berdasarkan ikatan klan, kekeluargaan dan kesukuan. Ikatan manusia kini hanya dibatasi oleh garis batas peta semata. Jika ada urusan di luar perbatasan garis peta itu, maka urusan itu tidak begitu diprioritaskan sekalipun nyawa sudah banyak yang melayang. Bahkan nasionalisme juga dapat menimbulkan sikap rasis yang tak ubahnya sama seperti rasisnya Nazi Jerman saat Perang Dunia ke-2. Saat itu bangsa Arya adalah bangsa tertinggi di dunia sedangkan bangsa lain hanya menumpang. Orang berkulit putih merasa dirinya adalah orang tertinggi dalam piramida dunia dibandingkan orang berkulit hitam atau sebaliknya. Sikap rasis ini akan mempertajam polarisasi ras dan masyarakat lalu memecah belah mereka.

Bahkan dari sejarah nasionalisme itu sendiri muncul di negeri Islam ketika negara Eropa punya konspirasi untuk meruntuhkan khilafah Utsmaniyah. Eropa menggunakan tangan pemuda Islam dari Turki itu sendiri. Turki Muda menggembar-gemborkan nasionalisme Turki dan “memotivasi” orang-orang Arab, Albania, Kurdi dan kelompok masyarakat lain membentuk nasionalisme masing-masing versi mereka dan mereka saling berseteru dan saling bersikap diskriminatif satu sama lain. Saat itulah, Inggris tersenyum sambil melangkahkan kakinya di Jazirah Arab dan berhasil mengambil hati Arab. Khilafah Utsmani hancur setelah Revolusi Arab dan lahirlah perjanjian Sykes-Picot (Shabir Ahmed dan Abid Karim, 2018).

Nasionalisme menghapus ikatan antar umat Islam seluruh dunia yang bernama ukhuwah Islamiyah. karena inilah para penguasa di negeri-negeri Arab diam, tidak melihat, dan tidak mendengar teriakan Gaza apalagi mengirimkan bala militer untuk membebaskan Gaza Palestina. Bagaimana tidak? Persatuan Islam di seluruh dunia saja belum terjadi bahkan mustahil jika para penguasa masih terkena penyakit yang bernama nasionalisme.

Bersatu dengan ikatan ukhuwah islamiyah
Nasionalisme menyebabkan penguasa Arab sekitarnya dan dunia menjadi pasif. Sesungguhnya ikatan yang resmi ajaran dari rasulullah yaitu ikatan yang didasarkan pada akidah Islam, yaitu ukhuwah Islamiyah. Ikatan ini hanya dilandaskan pada akidah yang memberikan arti pada kehidupan. Ukhuwah islamiyah tidak pernah bersifat rasis terhadap perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, cinta tanah air, isu-isu lokal dan bahasa. Hal ini sesuai dengan apa yang Rasulullah gambarkan bahwa seluruh kaum muslimin diibaratkan sebagai satu tubuh. 
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)

Jika ada hewan melata berbisa yang melingkari kaki maka anggota tubuh lain refleks akan mengusir hewan tersebut agar ancaman dari hewan melata itu dapat disingkirkan. Ini adalah ibarat dari suatu tubuh yang sehat dan sistem koordinasi saraf belum terkontaminasi oleh virus. Bayangkan jika ada suatu tubuh yang terjangkit oleh virus yang merusak saraf tubuh! Hewan melata berbisa itu menjerat kaki dan menusukkan bisa yang menyebabkan kaki membusuk, tidak ada anggota tubuh lain yang bisa membantu. Maka kaki tersebut jika dibiarkan bisa terputus dari satu tubuh sehingga tubuh menjadi cacat fungsi. Inilah yang terjadi sekarang, ketika umat Islam masih disekat oleh perbatasan negara dan paham nasionalisme sehingga tidak bisa bergerak untuk membantu kaum muslim di negara lain. Sebelum Gaza bernasib sama seperti kaki yang terputus, sudah saatnya seluruh umat Islam dari berbagai penjuru dunia bersatu kembali dan membuang. nasionalisme. Ketika seluruh umat Islam telah bersatu dan bersama-sama memikirkan bahwa Gaza adalah masalah bersama, maka akan masuk secara rasional bahwa umat Islam mampu untuk menggerakkan militernya melakukan jihad ofensif dan membebaskan Palestina dari penjajah.

Janganlah menganggap jihad adalah suatu ajaran teroris. Jihad sesungguhnya ajaran yang berasal dari Islam juga. Perintah jihad sudah lama termaktub di dalam kitab suci umat Islam yaitu Al Quran. Allah berfirman,

وَقٰتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ لِلّٰهِ

“(Dan) perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah (syirik) lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah semata.” (QS Al-Baqarah: 193)

Sesungguhnya jumlah tentara di berbagai negeri muslim sangatlah banyak. Serangan dari Hamas, Houthi, dan Hizbullah saja sudah membuat Zionis dan kroninya kerepotan. Apalagi jika andai masing-masing dari negeri muslim itu mengirim satu batalion saja, maka sudah terkumpul lebih dari 50 batalion. Jika 50 batalion ini memiliki semangat jihad yang tinggi maka akan sanggup menakuti zionis penjajah yang ada di sana. Wallahualam bisshawab[]