Sujud yang Terhenti, Amanah yang Terlupakan
Oleh : Meidy Mahdavikia
Sidoarjo bukan hanya berduka, melainkan terguncang. Kabar tentang runtuhnya bangunan lantai empat Pondok Pesantren Al Khaziny menyapu linimasa berbagai platform. Bukan karena sensasional, melainkan karena begitu banyak jiwa kecil yang menjadi korban. Dilansir dari Detik.com (5/10/2025), bangunan itu roboh secara tiba-tiba saat para santri tengah rukuk dalam salat Ashar. Sekitar kurang lebih 160 santri berada di lokasi saat tragedi terjadi, dan 37 diantaranya dinyatakan wafat. Menurut laporan MetroTVNews.com (4/10/2025), bahkan menyebut masih terdapat puluhan korban yang belum ditemukan saat proses pencarian terus dilakukan, memaksa relawan menggali puing-puing dengan tangan kosong.
Video-video amatir memperlihatkan pemandangan yang membuat dada sesak. Suara takbir berselang-seling dengan jeritan minta tolong. Ada anak yang tubuhnya hanya terlihat separuh karena tertimbun beton. Ada relawan yang menangis sembari menggali karena merasa tidak cukup kuat menyingkirkan reruntuhan tanpa alat berat. Di tengah keputusasaan itu, masyarakat bergotong royong sebisanya.
Beberapa jam setelahnya, pejabat datang membawa rombongan dan pernyataan siap mengevaluasi seluruh bangunan pesantren serta rumah ibadah. Namun public saat ini mulai jengah dengan pola yang selalu sama. Setelah banjir datang, barulah ada wacana normalisasi sungai. Setelah jembatan ambruk, barulah ada audit infrastruktur. Setelah sekolah roboh, barulah muncul janji evaluasi pendidikan.
Pertanyaannya sederhana
Sampai kapan evaluasi hanya menjadi pekerjaan setelah korban berjatuhan
Apakah negara harus menunggu tangisan menjadi headline sebelum hadir sebagai pelindung?
Bukan Bencana Alam, Ini adalah Kecelakaan Sistemik
Sebagian orang menyebut tragedi ini sebagai musibah. Padahal jika ditelaah, musibah biasanya datang tanpa bisa dicegah. Sementara kasus ini tidak sepenuhnya demikian. Akar masalahnya bukan hanya material bangunan yang rapuh atau kesalahan teknis kontraktor. Masalah utamanya adalah negara melepaskan tanggung jawab terhadap pendidikan berbasis masyarakat, seakan-akan pesantren bukan bagian dari kewajiban negara.
Realitanya, banyak bangunan pesantren berdiri dari hasil iuran santri, kotak donasi, dan proposal yang dikirim ke sana-sini. Tidak ada standar tunggal yang pasti, tidak ada audit struktural berkala, bahkan banyak yang dibangun secara bertahap sesuai dana yang datang. Akibatnya, kualitas bangunan tidak seragam dan keamanan menjadi nomor dua.
Ironisnya, ketika pajak ditarik, seluruh rakyat wajib membayar. Ketika pembangunan dibutuhkan, rakyat kembali diminta patungan. Dan ketika terjadi kecelakaan, semuanya dikemas dengan istilah takdir.
Padahal Islam tidak mengajarkan pasrah terhadap kelalaian manusia. Nabi Muhammad SAW pun pernah menegur sahabat yang membiarkan unta tanpa ditambatkan lalu berkata akan tawakal kepada Allah SWT. Rasulullah pun menjawab, “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.” Artinya, usaha maksimal adalah kewajiban, sedangkan tawakal datang setelah semua ikhtiar dilakukan. Dalam kasus ini, apakah negara sudah melakukan ikhtiar terbaik?
Islam Bukan Hanya Ajarkan Sabar, Tetapi Juga Tanggung Jawab
Sebagian orang menganggap umat Islam cukup diberi kata-kata penghibur seperti “sudah takdir”, “semoga husnul khatimah”, atau “ada hikmah di balik kejadian ini”. Padahal Islam tidak hanya bicara kesabaran, tetapi juga keadilan.
Dalam sistem pemerintahan Islam klasik, jika ada bangunan yang roboh karena kelalaian pejabat atau tukang, keduanya bisa dikenai hukuman. Bukan semata agar dipenjara, tetapi agar tidak ada lagi nyawa melayang sia-sia. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya, bahkan meski hanya satu orang yang terluka.
Negara dalam pandangan Islam tidak boleh menjadi penonton. Pendidikan harus dibiayai dari hasil pengelolaan kekayaan publik, bukan dari proposal dan donasi. Dengan demikian, semua lembaga pendidikan negeri maupun swasta memiliki standar keamanan yang sama. Bukan hanya sekolah bergedung megah di kota yang aman, sementara pesantren pelosok harus bergantung pada papan bekas proyek.
Saatnya Berhenti Menyalahkan Takdir, Mulailah Menyalahkan Sistem
Kita sudah terlalu sering memberi maaf kepada sistem yang lalai, tetapi terlalu cepat menyuruh korban untuk bersabar. Sudah cukup kita hanya mengucapkan innalillahi tanpa melakukan perbaikan nyata.
Yang harus kita pertanyakan hari ini bukan hanya siapa yang akan membangun kembali gedung pesantren itu
Tetapi siapa yang akan menjamin tragedi semacam ini tidak terulang.
Jika pondasinya masih sistem sekuler yang menjadikan pendidikan sebagai urusan sampingan, maka bangunan baru sekalipun tidak menjamin keselamatan. Gedung bisa diperkuat, tetapi nyawa tetap lemah.
Karena itu, yang perlu diganti bukan hanya struktur beton, melainkan struktur paradigma. Negara harus hadir bukan sebagai pengamat, melainkan sebagai pelindung. Bila tidak, kita hanya menunggu waktu hingga berita duka berikutnya muncul, dan kita kembali mengetik “innalillahi” sambil berharap tidak mengenali nama yang menjadi korban.
Posting Komentar