-->

Tambang Ilegal, Kerugian Triliunan, dan Krisis Tata Kelola


Oleh : Maya Rohmah, S.K.M.

Di balik kilau kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi negeri ini, tersimpan pula cerita panjang tentang keserakahan dan lemahnya tanggung jawab. Tambang yang seharusnya menjadi sumber kemakmuran justru berubah menjadi ladang korupsi dan kerusakan. Negeri ini kembali dihadapkan pada realitas pahit, kekayaan alam yang melimpah belum juga mampu menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Presiden Prabowo Subianto menyoroti maraknya praktik tambang ilegal yang merugikan negara hingga sekitar Rp300 triliun. Dalam pidatonya, momen ketika Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mencolek Menteri ESDM Rosan Roeslani saat angka fantastis itu disebut sempat menarik perhatian publik. Gestur tersebut terjadi di tengah pembahasan serius tentang kerugian besar akibat tambang ilegal (Tempo.co, 7 Oktober 2025).

Menindaklanjuti arahan Presiden, Kementerian ESDM menemukan lebih dari 1.000 titik tambang ilegal di berbagai daerah dan berkomitmen menertibkan seluruh aktivitas yang melanggar aturan. Pemerintah juga memperbaiki sistem perizinan melalui pelayanan satu pintu untuk mencegah penyalahgunaan izin dan menjaga keberlanjutan lingkungan (ESDM.go.id, 22 Agustus 2025).

Kejaksaan Agung mengungkap kasus korupsi di PT Timah Tbk periode 2015–2022 yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun, termasuk kerusakan lingkungan senilai Rp271,1 triliun. Sebanyak 22 tersangka telah ditetapkan, di antaranya mantan Dirjen Minerba (Story.Kejaksaan.go.id, 29 Mei 2024).

Sementara itu, wacana pelibatan koperasi dan UMKM dalam pengelolaan tambang menuai kritik karena berisiko menimbulkan masalah baru jika tidak diawasi ketat. JATAM juga menilai revisi UU Minerba sarat kepentingan politik dan lebih menguntungkan korporasi besar, sementara kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan terabaikan (Tirto.id, 2025; JATAM.org, 2025).

Sementara itu, wacana pelibatan koperasi dan UMKM dalam pengelolaan tambang menuai kritik karena berisiko menimbulkan masalah baru jika tidak diawasi ketat. JATAM juga menilai revisi UU Minerba sarat kepentingan politik dan lebih menguntungkan korporasi besar, sementara kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan terabaikan (Tirto.id, 10 Oktober 2025; Jatamkaltim.org, 19 Februari 2025).

Akar Masalah dalam Pengelolaan Tambang

Banyak pengelolaan tambang yang merugikan negara selama ini dibiarkan tanpa evaluasi mendasar. Negara tampak lebih sibuk memperbaiki mekanisme perizinan dibanding meninjau ulang paradigma pengelolaan sumber daya alam itu sendiri. Padahal, kerugian triliunan rupiah yang timbul bukan semata akibat tambang ilegal, melainkan karena lemahnya kontrol dan pengawasan atas tambang legal yang dikelola dengan orientasi kapitalistik.

Swastanisasi tambang, baik melalui perusahaan besar maupun koperasi, pada hakikatnya merupakan bentuk perampasan terhadap hak kepemilikan umum. Dalam pandangan Islam, tambang termasuk kategori milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Ketika tambang dikelola oleh swasta untuk keuntungan segelintir pihak, rakyat kehilangan hak mereka atas kekayaan alam yang semestinya dikelola negara demi kemaslahatan bersama.

Gagasan pelibatan koperasi dan UMKM dalam pengelolaan tambang pun perlu dikritisi. Secara kapasitas, koperasi dan pelaku usaha kecil tidak memiliki kemampuan teknis maupun finansial untuk mengelola tambang secara profesional dan berkelanjutan. Akibatnya, mereka cenderung mencari pihak ketiga sebagai pengelola sebenarnya. Praktik semacam ini justru membuka peluang bagi korporasi besar untuk berlindung di balik nama rakyat kecil, sekaligus mengabaikan standar kelayakan lingkungan.

Akar dari semua persoalan ini terletak pada penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi, bukan amanah untuk kesejahteraan rakyat. Negara dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator, bukan pengelola. Akibatnya, pengawasan lemah, kerusakan lingkungan meningkat, dan hasil tambang tidak pernah sepenuhnya dirasakan oleh rakyat.

Solusi Islam dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam

Dalam syariat Islam, tambang termasuk dalam kategori kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan vital umat. Rasulullah saw. bersabda bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud “api” mencakup segala sumber energi dan kekayaan alam, termasuk tambang. Artinya, tambang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu maupun korporasi karena hak itu milik seluruh umat yang wajib dikelola oleh negara.

Islam dengan tegas melarang swastanisasi tambang besar karena hal itu akan menimbulkan ketimpangan dan kerugian publik. Khalifah atau pemimpin negara wajib mengelolanya secara langsung melalui lembaga negara dan mendistribusikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat, seperti pembangunan fasilitas umum, pendidikan, dan kesehatan.

Hakikat pengelolaan tambang dalam Islam bukanlah sekadar mencari keuntungan, tetapi memenuhi kebutuhan dasar masyarakat serta menjaga kemaslahatan lingkungan. Dalam sistem politik dan ekonomi Islam, negara memiliki peran strategis sebagai ra‘in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan sumber daya alam.

Tambang besar wajib dikelola oleh negara karena berkaitan dengan kepentingan umum, sedangkan tambang kecil boleh dikelola oleh individu atau kelompok rakyat dengan izin negara. Namun, seluruh kegiatan tersebut tetap berada di bawah pengawasan pemerintah. Negara juga wajib memastikan bahwa pengelolaan tambang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. Al-A‘raf [7]: 56, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”

Selain itu, Allah Swt. juga menegaskan pentingnya prinsip amanah dan distribusi kekayaan yang adil sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hasyr [59]: 7, “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” Ayat ini menegaskan bahwa kekayaan, termasuk sumber daya alam seperti tambang, tidak boleh terkonsentrasi di tangan segelintir pihak. Negara wajib mengelolanya sebagai amanah yang hasilnya dinikmati seluruh rakyat, bukan untuk memperkaya korporasi atau elite tertentu.

Dengan demikian, penyelesaian persoalan tambang tidak cukup dengan menertibkan izin atau mengganti aktor ekonomi. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik, yaitu meninggalkan paradigma kapitalistik menuju tata kelola berbasis syariat Islam yang menjadikan negara sebagai pengelola amanah, bukan pelayan korporasi. Hanya dengan cara itu, kekayaan tambang benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh rakyat, bukan sumber kerugian dan kerusakan yang terus berulang.