Fatherless Kian Populer, Buah Kehidupan Kapitalistik-Sekuler
Oleh : Rini Mumtaz Sabrina
Fenomena ketiadaan figur ayah di Indonesia dalam pengasuhan anak, tidak selalu berarti fisik ayahnya tidak ada. Sebagian besar kasus fatherless di Indonesia justru menunjukkan bahwa ayah hadir secara fisik, tetapi absen secara emosional dan dalam peran pengasuhan.
Survei yang sama menunjukkan banyak ayah bekerja lebih dari 60 jam per pekan sehingga waktu interaksi dengan anak menjadi sangat terbatas. Di sisi lain, terdapat pula anak-anak yang benar-benar kehilangan ayah karena perceraian atau kematian.
Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis kepengasuhan ayah di Indonesia tidak semata persoalan keluarga, tetapi juga cerminan budaya patriarkal dan sistem sosial yang menempatkan tanggung jawab domestik hampir seluruhnya di pundak ibu.
Dalam sistem seperti ini, ayah kerap merasa perannya selesai ketika ia menyediakan kebutuhan ekonomi keluarga. Padahal, pengasuhan anak membutuhkan kehadiran emosional, teladan moral, dan interaksi sehari-hari yang membangun kelekatan (attachment) antara anak dan ayah.
Fatherless Di Negeri Patriarki
Data yang dipublikasikan Kompas 8 Oktober 2025 menunjukkan kenyataan mengejutkan: sekitar seperlima anak Indonesia, atau 20,1 persen (15,9 juta anak), tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau mengalami kondisi yang dikenal sebagai fatherless.
Angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin persoalan mendalam dalam struktur keluarga dan budaya kerja di Indonesia—yang sering menempatkan ayah sebagai sosok pencari nafkah semata, bukan pendidik emosional dan teladan utama bagi anak-anaknya.
Juga dari hasil survei kualitatif pada 16 psikolog klinis di 16 kota di Indonesia, dampak fatherless yang terjadi mengakibatkan rasa minder dan emosi/mental yang labil. Ini disebut masing-masing oleh sembilan psikolog. Adapun tujuh psikolog lain menjawab kenakalan remaja. Lima psikolog menyebut sulit berinteraksi sosial dan empat menjawab motivasi akademik rendah sebagai dampak berikutnya.
Seorang psikolog di Toraja, Sulawesi Selatan, Iindarda S Panggalo menyebutkan, anak yang tumbuh tanpa figur ayah bisa bertumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri dan kadang-kadang banyak menjadi korban kekerasan.
Faktor Ekonomi
Isu fatherless yang terjadi di Indonesia, sebagian disebabkan karena faktor ekonomi. Meski, mungkin, kesadaran bahwa pengasuhan anak adalah kewajiban orang tua dan bukan hanya ibu, namun sulit dimungkiri bahwa desakan kebutuhan ekonomi kerap kali memaksa orang tua bekerja lebih keras hingga menyita waktu.
Kembali ke data yang dirilis Kompas. Dari 15,9 juta anak yang tumbuh fatherless, 4,4 juta di antaranya tinggal di keluarga tanpa ayah.
Tapi yang mengejutkan, angka lebih besar, yaitu 11,5 juta anak, sebenarnya tinggal bersama ayah yang memiliki jam kerja lebih dari 60 jam per pekan atau lebih dari 12 jam per hari. Artinya, seorang ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada bertemu anak di rumah. Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebut jam kerja formal maksimal tujuh jam per hari atau 40 jam per minggu.
Dwi Surya, psikolog di Pontianak, Kalimantan Barat, menegaskan, ayah yang waktu kerjanya berlebihan membuat anak tidak merasakan kehadiran ayah.
Adapun perceraian, juga menjadi penyebab pertama seorang anak mengalami fatherless. Sementara 11 psikolog menjawab ayah bekerja di luar kota, kekerasan dalam rumah tangga, serta tidak ada kedekatan ayah dan anak.
Ayah yang bekerja di luar kota membuat anak kehilangan peran ayah. Hal ini terlihat adanya korelasi kuat antara data anak berpotensi fatherless dan data ayah yang tinggal di luar kota, yang diwakili jumlah tenaga kerja laki-laki yang tidak terserap di pasar kerja lokal
Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan, jumlah pencari kerja laki-laki di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebanyak 28.855 orang. Namun jumlah tenaga kerja laki-laki yang terserap 1.208 orang. Itu artinya, 27.647 pencari kerja laki-laki di NTB tidak terserap di provinsi tersebut. Angka ini merupakan yang tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jawa Barat (107.356 pencari kerja laki-laki tidak terserap) dan Jawa Tengah (57.557 jiwa).
Pekerja laki-laki yang tidak bekerja di pasar kerja lokal bisa menjadi pekerja sirkuler, pekerja di luar tempat tinggal dan kembali ke daerah setiap minggu atau bulan, serta Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Nilai korelasi regresi antara data anak berpotensi fatherless di 38 provinsi dengan data pekerja sirkuler dan data PMI juga kuat, yaitu 0,96 poin dan 0,65 poin. Artinya, semakin banyak pekerja sirkuler dan PMI laki-laki, berkontribusi pada banyaknya anak yang tak merasakan kehadiran ayah.
Kesadaran Orang Tua
Pada dasarnya, untuk mengatasi fenomena fatherless di Indonesia, diperlukan adanya kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Terutama kesadaran orang tua yaitu Ayah dan Ibu bahwa mereka sama – sama memiliki peranan dan fungsi yang penting dalam hal pengasuhan anak.
Ayah sebagai pemberi nafkah juga seharusnya Ayah menjadi tauladan dalam pendidikan anak, sebagaimana Allaah SWT mengabarkan tentang Luqman :
“Wahai anakku! laksanakanlah sholat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (TQS. Luqman : 17)
Atau didalam ayat yang lain, Allaah SWT juga mengabarkan tentang Ibrahim as tatkala mengajak puteranya Ismail as berdiskusi dari hati – ke hati untuk memikirkan suatu perkara dan menyelesaikannya, Allaah SWT berfirman :
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu! Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! lakukanlah apa yang di perintahkan (Allaah) kepadamu, insyaAllaah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabra.” (TQS. As – Saffat : 102)
Serta Ibu, yang juga memiliki peran penting dalam hal mengasuh, menyusui, mendidik dan mengatur rumah tangga.
Hal ini lah yang seharusnya menjadi dasar kesadaran setiap orang tua, bahwa hak dan kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab bersama.
Peran Negara Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, negara merupakan sebuah institusi yang perannya adalah sebagai sarana agar tercipta kesejahteraan rakyatnya. Dimana negara wajib menjamin terciptanya kesejahteraan secara menyeluruh, tanpa memandang perbedaan suku, daerah, ataupun tingkat ekonomi.
Dalam perannya, Islam menjadikan seluruh urusan kepemerintahan termasuk pengelolaan sumber daya alam dan pendistribusian kekayaan, berada dibawah kendali pusat yang di atur berdasarkan syariat Islam. Tujuannya adalah untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan secara merata di seluruh penjuru negeri.
Negara wajib mengelola semua kekayaan alam seperti tambang, minyak, gas, laut dan hutan sebagai milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Dalam hal ini Rasulullaah SAW bersabda ;
“Kaum Muslim Berserikat Dalam Tiga Perkara : Padang Rumput, Air dan Api” (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menjadi dasar bahwa sumber daya strategis, tidak boleh di miliki individu atau di kuasai kalangan tertentu. Melainkan harus di kelola oleh negara, demi kepentingan seluruh umat.
Dengan system ini, negara akan mampu membuka jutaan lapangan pekerjaan karena memerlukan banyak sumber daya manusia untuk kemudian di pekerjakan dengan system pemberian upah yang layak agar para ayah ini mampu memberikan kehidupan yang layak bagi keluarganya.
Selain itu, Islam menetapkan bahwa Penguasa adalah Ra’in (penggembala) dan Junnah (perisai) bagi rakyatnya. Penguasa bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, keamanan dan keadilan, serta akan di mintai pertanggungjawaban oleh Allaah SWT atas setiap amanah kepemimpinan yang di embannya.
Rasulullaah SAW bersabda ; “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang di pimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan dasar inilah, penguasa dalam Islam tidak boleh bertindak Zalim seperti memihak pada kepentingan kelompok tertentu atau membiarkan kesenjangan dan ketidakadilan terjadi diantara masyarakat.
Seperti, mempekerjakan sekelompok rakyat dengan kemampuan yang mumpuni diserta durasi kerja yang berlebihan tetapi dengan upah yang pas – pasan, tetapi memberikan keleluasaan waktu kerja bagi sekelompok lain dengan kemampuan yang jauh dari kata mampu tetapi dengan upah yang dapat menimbulkan kesenjangan.
Sebaliknya. Negara (penguasa) wajib mengupayakan kesejahteraan rakyatnya secara adil sesuai syariat Islam, pelayanan public yang merata , serta menjamin kebutuhan asasiyyah setiap warga negaranya. Karena tugasnya adalah mengurus umat dengan penuh tanggungjawab dihadapan Allaah SWT.
Sehingga fenomena fatherless ini akan mampu di atasi, ayah akan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi keluarganya, sekaligus bisa memiliki waktu yang cukup bersama anak, dan menjadikan anak tetap memiliki figure ayah sebagai contoh dan panutan.
Wallahu’alambishawab
Posting Komentar