-->

Tambang dalam Pandangan Islam

Oleh : Ida Nurchayati

Total kerugian negara akibat kegiatan tambang timah ilegal di PT Timah Kepulauan Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 300 triliun. Kerugian itu dijumlah dari enam perusahaan tambang ilegal di kawasan PT Timah (www.tempo.co, 6/10/2025). Badan Reserse Kriminal Polri mencatat, saat ini masih ada 1.517 pertambangan ilegal yang tersebar di seluruh Indonesia, terbanyak di wilayah Sumatera Utara dan Jawa Barat. (Katadata.co.id, 17/10/2025).

Tata kelola ekonomi kapitalistik menyebabkan kapital hanya dikuasai segelintir pemilik modal. Untuk mengurangi kesenjangan, Menteri ESDM berinisiatif badan usaha Koperasi, usaha kecil dan menengah (UMKM), serta organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mendapat prioritas untuk mengelola tambang hingga 2.500 ha untuk mineral logam atau batubara. Kebijakan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini terbit 11 September 2025 sebagai turunan dari UU Minerba terbaru (kbr.id, 15/10/2025). Akankah kebijakan ini bisa membagi kue ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat?

Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme

Tata kelola ekonomi kapitalistik ditandai adanya liberalisasi di sektor pertambangan. Berbagai regulasi membuka peluang pertambangan dikelola oleh sektor swasta, lokal maupun asing. Pemerintah melalui BUMN dan BUMD juga terlibat dalam sektor ini, namun jumlahnya relatif kecil. Penguasa dalam kapitalisme berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, bukan periayah. Hal ini tampak dari kebijakan penguasa hanya menguntungkan segelintir pemilik modal, yakni para cukong yang sudah mendanai mereka hingga tampuk kekuasaan. Tidak ada makan siang gratis, maka penguasa terpilih melakukan balas budi dengan membuat kebijakan yang pro kapitalis. Maka dalam sistem demokrasi muncul simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha untuk kepentingan mereka. 

Buku The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power yang ditulis oleh Shoshana Zuboff (2019) ikut merekam kerusakan Kapitalisme tersebut. Buku ini mengungkap berbagai fakta pengeksploitasian hak-hak individu rakyat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Penguasa dan pengusaha berkolaborasi mengeruk keuntungan ekonomi untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk rakyat. Akibatnya, kapital hanya dikuasai segelintir oligarkai.

Negara tidak berupaya untuk mengambil alih tambang dari para kapitalis. Bahkan negara justru membuat segala perangkat peraturan yang dibuat untuk melempangkan jalan bagi para kapitalis untuk merampas tambang milik rakyat.

Berbagai fasilitas diberikan oleh negara kepada para pemilik kapital. Mulai dari kemudahan dalam berinvestasi, pajak yang ringan bahkan pengampunan pajak (tax amnesty) hingga ‘kewajiban’ royalti 0%. Pada saat yang sama, negara justru memungut aneka pajak dari rakyat. Sebagian besar pendapatan APBN diperoleh dari pajak rakyat. Pendapatan dari tambang semakin kecil karena sebagian besar dinikmati oligarki.

Penguasaan tambang oleh segelintir oligarki berefek besar. Terutama bagi rakyat sebagai pemilik sejati SDA. Rakyat otomatis tidak menikmati hasil-hasil SDA yang mereka miliki. Oligarki yang menikmati sebagian besar hasil-hasil semua tambang tersebut. Negara kehilangan potensi pendapatan puluhan ribu triliun dari SDA. Padahal potensi besar pendapatan tersebut bisa digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Untuk mengatasi kesenjangan, muncul wacana Menteri ESDM bagi-bagi tambang bagi koperasi, UMKM dan ormas keagamaan. Kebijakan yang mendapat kecaman banyak pihak. Koperasi, UMKM dan ormas keagamaan merupakan pemain baru sehingga tidak punya pengalaman dalam mengelola tambang. Alhasil mereka akan kerjasama dengan swasta yang sudah berpengalaman. Oligarki kembali yang menikmati keuntungan. Kedua, minimnya pengalaman akan berpotensi semakin merusak lingkungan alam. Ketiga, pemberian tambang pada mereka sekedar alat untuk membungkam orang-orang yang kritis terhadap kebijakan penguasa.

Tambang Besar Milik Umum Haram Diprivatisasi

Islam menetapkan bahwa tambang dengan deposit besar adalah milik rakyat, haram diserahkan pada individu, swasta atau asing.
Tambang yang besar, baik yang ditambang terbuka (seperti garam, batubara) ataupun tertutup (seperti. migas, emas, dan besi) dan peralatan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi termasuk milik umum.

Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasulullah saw. memberikan tambang tersebut kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Hadis ini menjelaskan semula Rasul saw memberikan tambang garam di Ma’rib kepada Abyadh bin Hamal. Namun, setelah diberitahu bahwa itu seperti al-mâ‘u al-‘iddu, maka Rasul saw. menarik kembali tambang garam itu. Ini menunjukkan bahwa secara manthuq, tambang yang sifatnya seperti al-mâ‘u al-‘iddu tidak boleh diberikan kepada individu, yakni tidak boleh dikuasai dan dimiliki oleh individu, termasuk koperasi, UMKM maupun ormas keagamaan. Al-mâ‘u al-‘iddu menjadi sebab (‘illat) penarikan kembali pemberian itu. Selain itu, Nabi saw. menyampaikan manusia berserikat dalam padang, api dan air. Nabi saw mencegah barang-barang itu dikuasai individu, swasta atau asing dengan menghalangi orang lain.

Secara mafhum-nya hadis Abyadh menunjukkan, jika tambang itu tidak seperti al-mâ‘u al-’iddu maka boleh diberikan kepada individu dan dimiliki individu. Rasul saw. pernah memberikan tambang al-Qabaliyah kepada Bilal bin Harits al-Muzani dan beliau menuliskan dokumen pemberian itu.

Didalam Khilafah Islam, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitul Mal, yang masuk ke dalam sub pos penerimaan kepemilikan umum. Harta-harta tersebut dikelola oleh negara yang kemudian didistribusikan untuk dinikmati hasilnya oleh rakyat.

Pengelolaan tambang dalam Khilafah Islam, selain dikelola sesuai syariah, hasilnya dinikmati lebih besar oleh rakyat. Berbeda dengan sistem kapitalisme, selain bertentangan dengan syariah, hasil tambang lebih banyak dinikmati para oligarki swasta dan asing. Rakyat lebih banyak menerima mudaratnya.

Wallahu a'lam