-->

Generasi Beradab Lahir dari Peradaban Islam

Oleh : Ida Nurchayati

Viral kasus Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga menampar salah satu siswanya, yang diduga merokok di area sekolah. Tamparan yang berbuntut panjang. Sebanyak 630 siswanya mogok tidak masuk sekolah. Di dunia maya beredar foto spanduk bertuliskan, "Kami tidak akan sekolah sebelum kepsek dilengserkan". Orang tua siswa tersebut melaporkan kasus yang menimpa anaknya ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Lebak. Pemprov Banten akhirnya menonaktifkan kepala sekolah tersebut (regional.kompas.com, 15/10/2025). 
Dikutip dari news.detik.com {15/10/2025), Andra Soni, Gubernur Banten akan mencabut status non aktif Kepala Sekolah setelah suasana belajar mengajar kembali normal. 

Buah Liberalisasi Pendidikan

Sistem pendidikan saat ini menggunakan kurikulum pendidikan sekuler. Ada dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Di sekolah umum, pendidikan agama hanya diberikan dua jam pelajaran setiap pekan. Sementara ruh pendidikan menjunjung tinggi kebebasan individu.

Output pendidikan sekuler akan melahirkan siswa-siswa yang mengagungkan kebebasan berbuat bahkan melupakan adab. Seharusnya lembaga pendidikan adalah tempat membina dan mendidik siswa agar menjadi manusia beriman, berilmu dan beradab. Namun kurikulum pendidikan sekuler hanya mengejar angka-angka yang sifatnya fisik semata. Tujuan pendidikan menghasilkan anak didik yang siap kerja untuk memenuhi kebutuhan industri. Wajar output pendidikan sekuler adalah manusia yang individualis, hedonis dan liberalis. Output pendidikan muncul siswa-siswa yang miskin adab, dan kurang memahami tsoqofah Islam. Jauh dari falsafah dasar diselenggarakan pendidikan.

Pukulan Mendidik

Didalam Islam seorang guru atau orang tua sebagai madrasah pertama diperkenankan untuk memukul dalam rangka mendidik, yakni pukulan yang tidak menyakitkan. Yakni ketika anak melanggar syariat Islam setelah berumur 10 tahun. Rasulullah saw. bersabda yang artinya, 

“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika usianya 7 tahun. Dan pukullah mereka ketika usianya 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud no 495)

Seorang guru boleh memukul untuk mendidik setelah menanamkan pemahaman kepada muridnya tentang tsaqofah Islam. Diantaranya, anak yang sudah balligh adalah mukallaf. Dia menanggung semua kewajiban yang Allah bebankan, termasuk didalamnya adab terhadap guru. 

Namun sebagai seorang guru hendaknya mengedepankan pemahaman yakni pendidikan yang bukan sekedar transfer ilmu. Namun bagaimana ilmu menjadi pemahaman yang membentuk karakter atau kepribadian anak. Pendidikan sekuler memberi beban kepada guru lebih banyak sekedar urusan administratif daripada membentuk kepribadian anak. Belum lagi ditambah problem individu seperti ekonomi keluarga. Bukan rahasia bahwa kesejahteraan pendidik kurang diperhatikan. Tekanan ekonomi terkadang membuat guru cepat emosi menghadapi siswa.

Al Fatih, Sosok Pemimpin yang Lahir dari "Pukulan Sang Guru"

Sultan Muhammad Al-Fatih, penakluk Konstantinopel (1453 M), sejak kecil dikenal manja, bandel, dan sulit diatur. Dia tumbuh dalam kemewahan sebagai putra Sultan Murad II. Banyak guru yang gagal mendidiknya karena ia sering melecehkan dan menertawakan mereka.

Sang ayah akhirnya memanggil dua ulama besar, yakni Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aq Syamsuddin. Ayah Al Fatih berpesan agar gurunya mendidik anaknya dengan tegas, bahkan mengijinkan untuk memukulnya jika perlu.

Pertama kali mendapat pukulan dari gurunya, Mehmed kecil terkejut, namun dari pukulan itu titik balik terjadi. Dia menjadi anak yang taat, rajin, dan beradab.

Muhammad Al-Fatih sudah hafidz Qur’an sejak usia 8 tahun, menguasai 7 bahasa, serta mendalami politik, strategi perang, dan ilmu pemerintahan.

Sang guru mengamalkan wasiat Rasul saw, memukul untuk mendidik bukan melukai. Pukulan sebagai shock therapy, bukan pelampiasan emosi. Islam menegaskan bahwa pukulan harus terukur, tidak menyakiti, tidak di wajah, dan tidak dilakukan dengan kemarahan.

Syeikh Aq Syamsuddin juga pernah memukul Al-Fatih tanpa kesalahan, yang baru ia pahami bertahun kemudian setelah menjadi Sultan. Saat ia menanyakan alasannya, jawaban gurunya sungguh luar biasa.

“Pukulan itu agar engkau mengingat pahitnya kedzaliman. Sebab kelak, ketika engkau menjadi pemimpin, jangan pernah mendzalimi rakyatmu. Karena mereka tidak akan pernah lupa pahitnya kedzaliman.

Didalam Islam, 
Guru yang tegas dan ikhlas adalah anugerah terbesar bagi seorang murid.
Pukulan yang mendidik dapat menjadi momentum pembentuk karakter
Kedisiplinan dan ketegasan dalam pendidikan serta menumbuhkan wibawa dan akhlak pemimpin sejati.
Keadilan dan empati kepada rakyat lahir dari pemahaman akan rasa sakit akibat kedzaliman.

Wallahu a'lam