Shutdown Kapitalis, Saatnya Khilafah Tegak
Oleh: Hamnah B. Lin
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, pada Jumat (12/10/2025) menyalahkan Partai Demokrat atas keputusannya memberhentikan ribuan pegawai di seluruh pemerintahan Amerika Serikat. Hal ini juga menjadi tindak lanjut dari ancamannya untuk memangkas jumlah pegawai federal selama penutupan pemerintahan.
Menurut juru bicara, proses pemutusan hubungan kerja (PHK) tengah dilakukan di berbagai lembaga, termasuk Departemen Keuangan, Badan Kesehatan AS, Dinas Pendapatan Internal, serta Departemen Pendidikan, Perdagangan, dan divisi keamanan siber di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri ( CNBCIndonesia, 12/10/2025 ).
Akibat perdebatan sengit seputar pendanaan program subsidi kesehatan Obamacare serta pemangkasan anggaran defisit yang ditolak Partai Demokrat. Akibatnya, ratusan ribu pegawai federal dirumahkan. Bahkan, Gedung Putih menyiapkan rencana PHK massal hingga 750.000 pegawai jika krisis berlanjut.
Dalam laporan Reuters (9-10-2025), publik Amerika menilai kedua partai sama-sama bertanggung jawab atas kebuntuan politik ini, menandakan menurunnya kepercayaan rakyat terhadap institusi negara
Shutdown bukan sekadar krisis teknis, tapi gejala berat dari sistem politik yang cacat sejak lahir. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, kekuasaan berada di tangan kelompok kepentingan, yaitu partai, korporasi, dan elite ekonomi yang saling berebut pengaruh di parlemen.
Dalam sistem kapitalis, rakyat hanyalah angka statistik. Ketika kongres gagal menyepakati anggaran, dampaknya langsung menimpa jutaan warga sipil. Ratusan ribu pegawai federal tidak menerima gaji, program sosial terganggu, dan lembaga-lembaga vital berhenti beroperasi. Semua itu terjadi bukan karena negara kekurangan sumber daya, tapi karena para politisi sibuk mempertahankan posisi dan citra partainya.
Bayangkan, hanya karena perdebatan politik, sebuah negara bisa dimatikan sementara. Ini bukan sekadar ironi, melainkan kezaliman yang dilembagakan. Shutdown adalah bukti bahwa di dalam kapitalisme pelayanan publik bersifat transaksional. Negara hanya bekerja selama ada dana dan dana itu pun tergantung pada kompromi politik.
Sungguh jauh tatkala Islam menjadi aturan bagi dunia hari ini, Islam memiliki tatanan pemerintahan yang kokoh dan berasaskan amanah. Dalam Islam, penguasa adalah raa’in atau penanggung jawab umat yang wajib mengurus urusan rakyat, individu per individu, tanpa henti, kapan pun, dan dalam kondisi apa pun. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam sistem Islam, fungsi utama pemerintahan adalah melayani hajat hidup rakyat, bukan memperjualbelikannya. Setiap individu dijamin hak dasarnya, baik kebutuhan pribadi seperti sandang, pangan, dan papan, maupun kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semua itu diberikan tanpa tunduk pada logika bisnis atau permainan politik. Negara tidak boleh bertindak layaknya korporasi yang menimbang untung dan rugi sebelum membantu rakyat. Ketika ada warga yang lapar, sakit, atau terancam, negara wajib hadir dan menunaikan tanggung jawabnya, bahkan jika harus mengosongkan baitulmal.
Sudah saatnya melepas kepercayaan terhadap demokrasi, dan mengambil tatanan dunia baru dengan sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta, Allah SWT. Islam datang membawa tatanan yang stabil, adil, dan penuh tanggung jawab. Di bawah kepemimpinan Islam, pelayanan publik tidak akan pernah berhenti. Rakyat tidak akan dikorbankan demi kepentingan politik. Sebab di dalam Islam, kekuasaan bukan untuk berkuasa, tapi untuk menerapkan aturan Allah yang merupakan kunci kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam. Adalah khilafah Islamiyah, institusi negara Islam yang umat butuhkan.
Wallahu a"lam.
Posting Komentar