-->

Kemandirian Pangan, Kunci Terjaganya Kedaulatan Negara Islam


Oleh: Hamnah B. Lin

Dilansir oleh tempo.com, 11/10/2025, setiap tanggal 24 September, kita memperingati Hari Tani Nasional. Tanggal ini dipilih bukan tanpa alasan. Pada hari itu, pada 1960, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih kita kenal sebagai UUPA 1960. Kelahiran UUPA 1960 menggantikan Agrarische Wet 1870, hukum agraria produk pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Undang-Undang Pokok Agraria itu dianggap sebagai terjemahan langsung dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Semangatnya sederhana, tapi mendasar. Melalui reforma agraria, para pendiri bangsa ini ingin memastikan: tanah untuk mereka yang benar-benar menggarap, tanah tidak boleh menjadi alat pengisapan sesama manusia, tanah untuk petani sebagai ujung tombak pangan bangsa.

Sayangnya, agenda konstitusi yang bertujuan menciptakan tatanan agraria yang adil dan menyejahterakan petani tidak pernah dijalankan. Mandat tersebut sampai saat ini belum terlaksana karena dinamika politik nasional yang sangat kental dengan sistem pasar dan liberalisme.

Isu penting terkait lahan pertanian selama empat dekade terakhir adalah maraknya perubahan penggunaan lahan pertanian, baik dari pertanian pangan ke pertanian nonpangan, maupun dari pertanian ke nonpertanian. Perubahan penggunaan lahan dari pertanian pangan ke pertanian nonpangan biasanya bersifat tidak permanen. Misalnya, dari lahan sawah tadah hujan menjadi lahan perkebunan karet rakyat. Dalam rentang tahun berikutnya, masih memungkinkan untuk mengubah lahan yang ditanami karet tersebut menjadi lahan yang ditanami padi gogo kembali.

Sementara itu, perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke penggunaan nonpertanian biasanya bersifat permanen. Artinya, akan sulit atau berbiaya investasi yang sangat tinggi jika akan dikembalikan menjadi lahan persawahan. Contohnya, perubahan penggunaan dari lahan persawahan menjadi kawasan industri, perkantoran, ataupun perumahan. 

Berkurangnya sumber daya lahan dapat membahayakan sumber kebutuhan utama manusia, yaitu pangan, papan, dan pakaian. Perubahan penggunaan lahan pertanian pangan ke nonpangan ataupun dari pertanian ke nonpertanian menyebabkan terjadinya permasalahan di berbagai bidang.
Pertama, politik. Ini terkait dengan kerentanan kedaulatan pangan nasional akibat menurunnya produksi pangan secara nasional. 
Kedua, ekonomi. Meliputi menurunnya pendapatan petani, meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal dan juga kemubaziran investasi. 
Ketiga, Sosial. Seperti hilangnya pekerjaan dan kegagalan dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi, baik bagi pemilik tanah semula maupun buruh taninya.
Keempat, lingkungan. Contohnya, terjadinya cekaman banjir pada lahan persawahan selama belasan tahun di Kabupaten OKI Sumsel, juga banjir bandang sebagaimana terjadi di Kabupaten Lahat dan Muara Enim, Sumsel pada Kamis (9-3-2023) lalu.

Berbicara masalah pangan sesungguhnya berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. Negaralah yang bertanggung jawab memastikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Untuk itu, negara wajib memiliki visi dan misi yang jelas untuk merealisasikan ketahanan pangan yang sesungguhnya. 

Ketika membicarakan politik pertanian Islam, maka cakupan pembahasannya meliputi politik pertanian di sektor produksi, pengolahan (industri), serta perdagangan dan jasa.

Aspek yang juga krusial dalam politik pertanian adalah kepemilikan tanah. Jika hari ini fakta yang kita temui adalah banyaknya sengketa tanah dan alih fungsi lahan, dalam Islam, negara akan memastikan hal ini tidak terjadi. Negara akan memetakan status tanah dan menetapkan kepemilikannya.

Negara dapat memberikan tanah kepada individu tertentu untuk mengelolanya, seraya memantau pengelolaannya. Negara jugalah yang memiliki wewenang untuk memproteksi wilayah tertentu. Dalam pengembangan potensi dan pemanfaatan tanah, negara mengerahkan para ahli untuk mengkaji dan melakukan riset potensi tanah, mana yang layak menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Kajian ini memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara menyeluruh dengan pemenuhan yang sempurna.

Aspek distribusi juga menjadi perhatian utama negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan pangan rakyat secara merata dan sempurna. Kebijakan ini tidak menutup ruang bagi masyarakat untuk memperoleh ketinggian kualitas hidup melalui pengembangan usaha yang alami dan manusiawi.

Negara jelas tidak akan memberi ruang bagi individu tertentu untuk memonopoli pengelolaan tanah, seperti realitas penguasan lahan oleh korporasi hari ini. Negaralah yang bertugas untuk memperhatikan aspek produksi hingga distribusi pangan di tengah masyarakat. Artinya, negaralah yang bertanggung jawab sepenuhnya mewujudkan ketahanan pangan, tanpa merampas ruang hidup mereka. 

Ekstensifikasi lahan pertanian dapat dilakukan melalui dua cara berikut.
Pertama, mekanisme penguasaan tanah. Kepemilikan lahan harus dikelola dengan hati-hati karena memengaruhi stimulasi produksi. Negara mengakui kepemilikan individu, jika tidak ada elemen yang dicegah karena ada penambangan bahan atau dikendalikan oleh negara. Tanah dapat dikuasai melalui warisan, hadiah, dan penjualan.
Kedua, menghidupkan tanah mati (hiya’ul mawat). Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang dan tidak tampak ada bekas-bekas apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan, ataupun yang lain. Setiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh seseorang, menjadi milik yang bersangkutan. 

Sedangkan intensifikasi lahan pertanian dilakukan melalui dua cara berikut.
Pertama, pengelolaan lahan pertanian. Setiap orang yang memiliki tanah diharuskan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Siapa pun yang membutuhkan biaya pengelolaan tanah akan diberi modal oleh negara. Ijmak sahabat telah menyatakan, “Siapa saja yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, tanah tersebut harus diambil dari pemiliknya, lalu diberikan kepada yang lain.” Hal ini membatasi kepemilikan lahan bagi individu yang mau dan mampu mengelolanya saja. 
Kedua, larangan sewa tanah pertanian. Larangan sewa lahan pertanian secara ekonomis dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi optimal. Artinya, seseorang yang mampu menggarap lahan harus memiliki lahan, sedangkan mereka yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan tidak diperbolehkan untuk menguasai pertanian. Untuk itu, pemilik tanah dapat mempekerjakan orang lain untuk mengelola tanah mereka. Jika tidak mampu sama sekali, tanah tersebut harus diberikan kepada orang lain agar dapat dimanfaatkan secara optimal.

Pemilik tanah secara mutlak tidak boleh menyewakan tanahnya untuk pertanian. Di dalam Shahih al-Bukhari diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila ia menelantarkannya, hendaknya tanahnya diambil darinya.” (HR Bukhari).

Dalam Shahih Muslim dinyatakan, “Rasulullah saw. telah melarang pengambilan sewa atau bagian atas tanah.” (HR Muslim).
Wallaahualam