Program MBG Efektif dan Solutifkah?
Oleh : Diyah, Aktivis Muslimah
Ratusan ibu menggelar aksi keprihatinan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah menyebabkan ribuan siswa keracunan. Para ibu pun menuntut pertanggungjawaban pemerintah sekaligus mendesak penghentian program itu untuk dievaluasi total. Aksi itu digelar di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (26/9/2025) sore. Para ibu dari beberapa usia dan latar belakang itu tergabung dalam Suara Ibu Indonesia di Yogyakarta (www.kompas.id 26/09/2025).
Aksi tersebut dilakukan karena daftar panjang korban keracunan MBG semakin bertambah. Bahkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat keracunan akibat MBG pada 29 September-3 Oktober 2025 mencapai 1.883 anak. Dengan tambahan jumlah tersebut, total korban keracunan MBG hingga 4 Oktober 2025 telah tembus 10.482 anak (Kompas.com 6/10/2025)
Karena itu, Badan Gizi Nasional (BGN) harus segera menghentikan seluruh Satuan Pelayanan dan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Indonesia sebelum korban bertambah lebih banyak," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (5/10/2025).
Program MBG bertujuan mengatasi masalah stunting serta meningkatkan kualitas gizi anak-anak di Indonesia. Program ini menargetkan 82,9 juta penerima manfaat dengan alokasi anggaran sebesar Rp171 triliun. Untuk memastikan pelaksanaannya berjalan optimal, pemerintah melakukan efisiensi di berbagai sektor agar program MBG tidak mengalami hambatan. Hingga Maret 2025, program ini telah berjalan di 38 provinsi, menjangkau lebih dari 2 juta penerima manfaat melalui 722 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Industrialisasi MBG
Program MBG kini menjadi salah satu program prioritas nasional, hingga membuat alokasi anggaran di sektor lain harus dipangkas demi mendukung pelaksanaannya. Karena begitu diutamakan, berbagai kritik dan masukan yang muncul selama pelaksanaannya seolah tidak memengaruhi keputusan pemerintah.
Kasus keracunan massal yang terjadi pun dianggap sebagai “bumbu pemanis”, sekadar risiko wajar dari program baru yang sedang dijalankan. Bahkan, Presiden menilai bahwa korban keracunan hanyalah sebagian kecil dibandingkan dengan jutaan penerima manfaat MBG. Meskipun menuai masalah dan gesekan di ruang publik, pemerintah tetap kukuh mempertahankan MBG sebagai program andalan nasional.
Ada beberapa alasan yang membuat pemerintah begitu ngotot melanjutkan program ini. Pertama, program MBG melibatkan banyak pihak, terutama SPPG. Kehadiran SPPG atau dapur umum MBG jelas menguntungkan pelaku bisnis. Namun, dengan melibatkan ribuan SPPG, perlu dipertanyakan apakah pemerintah telah menyiapkan mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap menu makanan yang disajikan oleh pihak SPPG.
Kasus keracunan massal menunjukkan banyak makanan MBG yang basi dan kurang higienis. Jangan sampai SPPG hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi mengabaikan kebersihan dan keselamatan konsumen. Pengawasan yang lemah sangat berbahaya, karena penyedia makanan bisa asal-asalan demi menekan biaya, sesuai prinsip bisnis kapitalis: modal sekecil mungkin, untung sebesar mungkin. Terlebih, ada faktor pendukung seperti gaji staf SPPG yang belum dibayar sejak Januari 2025, yang bisa memperburuk kualitas pelayanan.
Kedua, hadirnya usulan asuransi MBG telah mengindikasikan bahwa negara mulai berlepas diri dari tanggung jawabnya sebagai penyelenggara dan penjamin pemenuhan hak-hak rakyat. Ini menunjukkan komersialisasi risiko, bukan solusi preventif. Jika program MBG diasuransikan, seandainya ada korban keracunan massal, pihak asuransi yang menanggung risiko keracunan tersebut, bukan negara.
Terdapat hubungan saling menguntungkan antara pemerintah dan pihak asuransi dalam program MBG. Negara hanya menjadi regulator, sementara asuransi meraup keuntungan dari dana yang disetorkan. Akibatnya, program ini sarat unsur bisnis, kualitas gizi anak terabaikan, dan kapitalis tetap diuntungkan.
Ketiga, jika program MBG digadang mampu membuka banyak lapangan kerja, maka negara perlu memastikan jaminan kerja dan gaji bagi pihak yang terlibat, seperti staf SPPG. Faktanya, melalui surat terbuka kepada Kepala BGN, sejumlah staf mengaku belum menerima gaji selama hampir tiga bulan sejak Januari 2025. Masalah ini seharusnya tidak muncul jika program disiapkan dengan matang, bukan sekadar pemenuhan janji politik.
Negara Islam Mengelola Kebutuhan Gizi Warganya
Ini semua berbeda dengan Islam sebagai ideologi yang bersumber dari Allah Taala. Penerapan Islam terwujud melalui pengaturan urusan masyarakat di tangan penguasa yang sadar dan paham dengan perannya sebagai raa’in dan junnah.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Bukhari).
Juga dalam hadis, “Sesungguhnya imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagai raa’in dan junnah, penguasa dalam negara Islam (Khilafah) akan serius dan bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan gizi masyarakat sesuai syariat Islam secara kaffah. Pemenuhan gizi dilakukan menyeluruh, merata, dan berkelanjutan bagi setiap individu, bukan melalui kebijakan sementara seperti MBG yang bersifat terbatas dan tidak sistemis.
Realisasi kebijakan pemenuhan gizi dalam Khilafah tidak akan mendiskriminasi antara anak sekolah, mahasiswa di bangku kuliah, santri di pondok pesantren, maupun orang dewasa yang sudah bekerja. Khilafah tidak hanya memenuhi gizi ibu hamil, tetapi juga ibu yang tidak hamil. Ini karena semua individu rakyat berhak memperoleh pemenuhan gizi sebagai wujud jaminan pemenuhan kebutuhan primer mereka, yaitu sandang, pangan, dan papan. Khilafah fokus pada aspek fundamental berupa perbaikan tingkat ekonomi rumah tangga dengan menerapkan sistem ekonomi Islam.
Khilafah menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak bagi para suami/ayah yang wajib menanggung nafkah keluarga. Khilafah meminimalkan bahkan berupaya agar tidak terjadi inflasi, sekaligus menjaga daya beli masyarakat. Masyarakat tidak perlu membayar dengan harga yang tinggi untuk bisa mendapatkan makanan bergizi dan berkualitas terbaik. Sungguh, semua kebijakan Khilafah bermuara pada terwujudnya kesejahteraan rakyat.[]

Posting Komentar