-->

MARAK OKNUM PENDIDIK TILEP DANA BOS, KENISCAYAAN KAPITALISME


Oleh : Eki Efrilia

"Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri" - BUYA HAMKA

Pandangan Buya Hamka tentang 'orang-orang berilmu yang tidak beriman' saat ini semakin tampak nyata bentuknya. Banyak sekali manusia-manusia yang diberi amanah kepemimpinan karena sudah pasti ia dianggap 'orang yang berilmu' dibanding yang lain, tapi ternyata imannya 'setipis tisu'. Ia malah menyalahgunakan amanah tersebut untuk kepentingan pribadinya. 
Seperti yang terjadi pada seorang oknum Kepala Sekolah di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Ponorogo berinisial SA yang menilep alias korupsi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang seharusnya dikucurkan negara bagi kelancaran proses belajar mengajar di sekolah yang ia pimpin. Tidak tanggung-tanggung, ia berhasil melancarkan aksinya dalam waktu yang cukup lama tanpa terendus aparat, yaitu ia mulai dari tahun 2019. Hasil korupsinyapun berjumlah fantastis  yaitu Rp 25 Miliar (Tribunjatim.com, 23/10/2025). Ia telah ditangkap dan telah masuk proses persidangan di tahap penuntutan, jaksa menuntut hukuman penjara selama 14,5 tahun penjara (surabaya.kompas.com, 24/10/2025).

Hal serupa juga dilakukan oleh Mantan Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Benpasi, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dengan inisial EM. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh  Kejaksaan Timor Tengah Utara atas dugaan korupsi pengelolaan keuangan Dana BOS 2018-2022, juga korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2022 pada SLB tersebut (RRI.co.id, 22/10/2025).

Kelakuan-kelakuan miring dari orang-orang yang sangat kita semua harapkan menjadi teladan bagi generasi penerus masa depan ini tentu saja sangat membuat geram. Bagaimana nasib generasi apabila mereka dididik tanpa keteladanan dari para pendidiknya?
Apalagi saat ini, bukan mereka saja yang melakukan tindakan pidana korupsi, tapi merata di setiap bidang, seperti di tubuh aparatur negara di bidang keamanan, sipil, kehakiman dan lain sebagainya. Korupsi ibarat 'penyakit menular' yang dengan mudah menjangkiti ranah apapun yang disinyalir sebagai 'lahan basah' alias wilayah perputaran keuangan.

Biang keladi atas semua hal di atas adalah diterapkannya Kapitalisme dalam kehidupan manusia saat ini. Kapitalisme yang tegak dengan asas fashluddin anil hayah (pemisahan agama dari kehidupan), membuat banyak kaum muslimin yang menganggap Islam hanya memuat aturan mahdhoh saja yaitu mengatur tentang syahadat, sholat, zakat, puasa dan naik haji saja. Sedang kehidupan sehari-harinya, manusia tidak mau dicampuri urusannya oleh Islam. Alhasil, banyak orang yang mengaku dirinya beragama Islam tapi di saat yang sama ia juga melakukan kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang oleh Allah. Contoh nyatanya seperti salah satu kasus di atas, yang tersangka korupsinya adalah seorang muslim. 

Padahal dalam Islam telah ditegaskan Allah tentang keharaman 'memakan' harta dengan cara batil seperti yang disampaikanNya dalam Kitab Suci Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 29: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

"Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."

Juga di dalam sabda Nabi Muhammad Saw. Sebagai berikutnya:
"Barang siapa yang kami tugaskan suatu pekerjaan dan telah kami beri upahnya, maka apa yang diambilnya selain itu adalah harta yang curang"
(HR Abu Dawud).

Dalam ajaran Islam, tindakan tegas akan ditentukan oleh Qadhi (hakim yang diangkat oleh Khalifah dalam kekhilafahan Islam) bagi para koruptor. Dalam kitab An-nizhamu al Uqubat fii al-Islam tulisan Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, sanksi bagi koruptor (khaa'in) tidak seperti sanksi bagi pencuri (qath'ul yad). Kalau pencuri hukumannya potong tangan, tapi kalau koruptor hukumannya adalah Takzir (sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh Qadhi.
Bentuknya bisa dari yang paling ringan (sekedar nasehat atau teguran) sampai bisa berupa hukuman penjara, denda (gharamah), bahkan bisa sampai hukuman mati (digantung atau dipancung). Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. 
Sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Maknanya adalah agar orang lain yang bukan si pelanggar hukum tercegah dari (ikut-ikutan) melakukan perbuatan kriminal tersebut dan untuk si pelanggar hukum, sanksi tersebut adalah untuk menebus dosa dari perbuatan kriminal yang ia lakukan.

Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa Islam sangat lengkap dan detail aturan-aturannya, sebab berasal dari Sang Maha Pencipta Kehidupan yaitu Allah Swt. Karena itulah, agar manusia tidak salah dalam menapaki kehidupan, ia harus taat kepada seluruh aturanNya. 

Saat ini, sebagian besar manusia mengandalkan kemampuan otaknya untuk mengatur kehidupannya. Padahal dengan kemampuan otak saja, ia tidak mampu menyelesaikan seluruh permasalahan hidupnya, karena otak manusia sifatnya terbatas dan kadang otak kita malah menjerumuskan ke hal buruk. Karena itulah, manusia wajib tunduk kepada Al Khalik (Sang Maha Pencipta) karena Dialah yang menciptakan kita, juga Dialah Al Mudabbir (Sang Maha Pembuat Hukum atau Aturan), sehingga kita wajib tunduk kepada aturan-aturanNya. 

Kerusakan demi kerusakan yang kita rasakan saat ini seperti zalimnya para pemimpin dan maraknya kejahatan itu jelas sekali karena manusia meninggalkan aturan Allah. Padahal Allah telah menetapkan sistem kehidupan (khusus) bagi manusia, yang merupakan salah satu ciptaanNya, yaitu sistem Islam. Jadi, sudah seyogyanya sistem Islamlah yang menjadi way of life (jalan kehidupan) bagi manusia dan sistem Islam ini haruslah dilaksanakan secara kaffah (menyeluruh), tidak diambil secara 'prasmanan' seperti yang dipraktekkan sebagian orang saat ini, kalau 'kita suka' maka akan diterapkan, tapi kalau 'kita tidak suka' maka tidak akan diterapkan. 
Wallahu'alam bishshowwab.