Magang Nasional, BLT, dan Stimulus Ekonomi, Solusi Cepat yang Menyesatkan Arah
Oleh : Umma Almyra
Pemerintah kembali menggulirkan program bantuan sosial dan pelatihan kerja dalam paket quick wins ekonomi. Dua di antaranya yang paling disorot adalah Bantuan Langsung Tunai Sementara (BLTS) senilai Rp30 triliun untuk lebih dari 35 juta keluarga penerima manfaat, serta Program Magang Nasional yang menargetkan 100 ribu lulusan baru pada Oktober dan November 2025.
Langkah ini diklaim sebagai bagian dari strategi percepatan pemulihan ekonomi dan pengurangan pengangguran. Namun, di balik angka dan jargon “percepatan” itu, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan seperti ini benar-benar menyentuh akar persoalan ekonomi bangsa? Atau hanya sekadar tambalan jangka pendek yang membuat rakyat terus bergantung pada bantuan?
Bantuan yang Memadamkan Api, Bukan Mencegah Kebakaran
Tak dapat dipungkiri, BLT memberi napas tambahan bagi jutaan keluarga miskin. Uang ratusan ribu rupiah yang cair setiap bulan memang bisa membantu menutup kebutuhan harian. Namun efeknya bersifat sementara—seperti menyalakan korek di tengah kegelapan panjang. Setelah bantuan selesai, mereka kembali pada situasi yang sama: pengangguran, harga yang naik, dan biaya hidup yang tak kunjung turun.
Begitu pula Program Magang Nasional. Kuota 100 ribu peserta mungkin terdengar besar, tapi bila dibandingkan dengan jutaan pengangguran dan tiga juta lulusan baru tiap tahun, jumlah itu ibarat setitik air di samudra. Magang pun hanya bersifat temporer, belum tentu berujung pada pekerjaan tetap, apalagi kesejahteraan yang berkelanjutan.
Kedua program ini tampak seperti upaya menenangkan gejolak sosial ketimbang menuntaskan persoalan struktural. Akar masalahnya tetap sama: sistem ekonomi yang timpang dan berpola kapitalistik, di mana kekayaan terpusat pada segelintir pihak, sementara rakyat kecil hanya kebagian “serpihan kesejahteraan”.
Islam: Negara Sebagai Pelayan, Bukan Sekadar Fasilitator
Dalam pandangan Islam, negara bukan sekadar pengelola anggaran atau fasilitator ekonomi pasar. Negara adalah pelayan rakyat (khadim al-ummah), yang bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu—pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Rasulullah ﷺ menegaskan:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dengan paradigma ini, kebijakan seperti BLT dan magang sebenarnya tidak salah, namun terlalu sempit bila dianggap solusi utama. Islam mengajarkan bahwa kemiskinan tidak akan hilang tanpa perubahan sistemik dalam pengelolaan harta dan tanggung jawab negara terhadap rakyat.
Negara seharusnya tidak berhenti pada bantuan tunai konsumtif, tetapi membangun sistem ekonomi yang menyalurkan harta secara adil dan berkelanjutan.
Menggali Solusi dari Sistem Ekonomi Islam
Islam memiliki fondasi kuat dalam tata kelola ekonomi. Tujuannya bukan sekadar pertumbuhan, melainkan keadilan dan kesejahteraan merata. Allah berfirman:
“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Ada tiga prinsip pokok yang bisa dijadikan arah kebijakan:
1. Distribusi kekayaan yang adil
Negara wajib mengelola harta milik umum—seperti sumber daya alam, energi, tambang, dan air—untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan dikuasai korporasi besar. Hasilnya digunakan untuk menjamin pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar warga.
2. Zakat dan wakaf produktif
Di masa Rasulullah ﷺ dan para khalifah, zakat dikelola oleh baitul mal untuk memberdayakan rakyat. Khalifah Umar bin Khattab pernah menolak memberikan zakat kepada seorang fakir yang terus meminta, dan berkata:
“Kami akan memberimu modal agar engkau berdagang dan tidak meminta lagi.”
Prinsip ini menunjukkan bahwa bantuan dalam Islam bersifat produktif, bukan konsumtif.
3. Jaminan sosial permanen
Dalam sistem Islam, mereka yang tidak mampu bekerja—seperti lansia, anak yatim, dan difabel—ditanggung oleh negara melalui baitul mal. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahkan petugas zakat kesulitan mencari penerima, karena seluruh rakyat telah sejahtera.
Ini membuktikan bahwa ketika ekonomi dijalankan sesuai syariat, kemiskinan bisa benar-benar diberantas, bukan sekadar ditunda.
Ekonomi Produktif, Bukan Konsumtif
Paradigma Islam menempatkan manusia sebagai pelaku ekonomi, bukan sekadar penerima bantuan. Rasulullah ﷺ mendorong umatnya untuk bekerja dan berdagang. Beliau bersabda:
“Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.”
(HR. Ahmad)
Di masa beliau, kaum Muhajirin yang kehilangan harta di Makkah diberi lahan dan modal usaha di Madinah. Mereka tidak diberi uang tunai untuk dihabiskan, melainkan kesempatan untuk bangkit. Khalifah Umar bin Khattab bahkan mencatat setiap warga miskin untuk diberi gaji dari baitul mal hingga mampu berdiri sendiri.
Model seperti inilah yang seharusnya menjadi inspirasi: bantuan yang menumbuhkan kemandirian, bukan ketergantungan.
Dari Quick Wins ke Long-Term Justice
Bantuan tunai dan program magang hanyalah solusi cepat (quick wins), tapi bangsa ini butuh keadilan jangka panjang (long-term justice). Pemerintah perlu bergeser dari pola “pemadam kebakaran” menuju sistem yang menata ulang struktur ekonomi.
Langkah-langkah konkret yang sesuai dengan nilai Islam antara lain:
● Mengubah BLT menjadi bantuan modal usaha kecil berbasis syariah;
● Memperluas akses ke lembaga keuangan mikro tanpa riba;
● Mengelola hasil tambang dan energi sebagai milik publik, bukan komoditas bisnis;
● Menjadikan pendidikan dan pelatihan kerja sebagai hak rakyat, bukan peluang terbatas.
Negara wajib hadir bukan sekadar memberi uang, tapi menyiapkan sistem agar setiap warga memiliki peluang hidup layak dan bermartabat.
Belajar dari Masa Keemasan Islam
Sejarah telah mencatat masa ketika sistem Islam berhasil menghapus kemiskinan. Di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, petugas zakat di Afrika Utara kesulitan mencari mustahik karena semua rakyat telah tercukupi. Harta zakat akhirnya digunakan untuk membebaskan budak dan memperbaiki infrastruktur.
Ini bukan kisah utopia, tapi bukti nyata dari penerapan syariat yang menyeluruh (kaffah). Ketika negara menjalankan perannya sebagai pelayan rakyat, dan masyarakat membangun ekonomi berlandaskan nilai-nilai Islam, maka keadilan sosial benar-benar terwujud.
BLT dan Magang Nasional mungkin tampak solutif di permukaan, tetapi sejatinya hanyalah pereda sementara dari penyakit ekonomi yang kronis. Akar persoalannya adalah sistem kapitalistik yang menjauh dari prinsip keadilan Islam.
Kesejahteraan sejati hanya dapat terwujud bila kita berani kembali pada sistem yang menempatkan Allah sebagai sumber hukum, negara sebagai pelayan rakyat, dan harta sebagai amanah yang harus didistribusikan dengan adil.
Seperti sabda Nabi ﷺ, “Tidaklah beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Dalam konteks ekonomi, iman itu diwujudkan dengan sistem yang memastikan tidak ada satu pun saudara kita yang kelaparan di tengah kelimpahan.
Sudah saatnya kita berhenti menambal luka dan mulai menyembuhkan akar penyakitnya — dengan sistem Islam kaffah sebagai jalan penyembuhnya.
Wallahu bi shawab.

Posting Komentar