KRISIS KESEJAHTERAAN GURU, KEGAGALAN SISTEM KAPITALISME MULIAKAN PENDIDIK
Oleh : Ika Mutiara Sari
Gaji PPPK paruh waktu guru menjadi topik yang semakin banyak diperbincangkan, terutama bagi para pendidik yang ingin mengabdikan diri namun dengan waktu yang lebih fleksibel. Sebagai bentuk baru dalam sistem kepegawaian, gaji PPPK paruh waktu guru memberikan solusi bagi mereka yang menginginkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sekaligus tetap mendapatkan status resmi sebagai ASN. Dengan adanya berbagai perubahan kebijakan pada tahun 2024, penting untuk mengetahui secara jelas berapa gaji PPPK paruh waktu guru dan faktor-faktor yang mempengaruhinya agar tidak terjadi kesalahpahaman informasi.
Kondisi tenaga pendidik di Indonesia, khususnya yang berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), kini mencapai titik kritis yang mencerminkan sebuah kegagalan sistemik. Betapa ironisnya, para guru yang seharusnya menjadi ujung tombak peradaban dan banyak di antaranya telah berpendidikan tinggi setingkat magister (S2/S3), dihadapkan pada ketidakpastian nasib. Fakta menunjukkan bahwa status mereka sering kali tidak memiliki jenjang karier yang menjanjikan dan yang paling meresahkan, mereka tidak mendapat uang pensiun. Hal ini berarti dedikasi puluhan tahun mereka di kelas tidak disertai jaminan hari tua yang layak dari negara.
Problema ini semakin diperparah dengan persoalan finansial yang akut. Banyak guru PPPK menerima gaji yang sangat minim, bahkan ada laporan yang menyebutkan di bawah Rp1 juta per bulan. Kecemasan ini diperkuat dengan munculnya skema PPPK paruh waktu yang sempat memicu perdebatan mengenai upah yang terlalu rendah—seperti isu Rp18 ribu per jam meskipun pada akhirnya pemerintah menjanjikan minimal UMP. Namun, fluktuasi dan ketidakpastian ini sudah cukup untuk menunjukkan kerentanan mereka. Akibat dari gaji yang tidak memadai, sebagian besar guru PPPK terpaksa mengambil langkah ekstrem dengan terjerat utang bank atau pinjaman online (pinjol). Fenomena ini bukan lagi sekadar kasus individu, melainkan bukti nyata bahwa negara telah membiarkan para pahlawan tanpa tanda jasa ini tenggelam dalam kesulitan ekonomi.(sindonews.com 23/09/2025).
Jika ditelisik lebih jauh, krisis kesejahteraan guru ini bukan terjadi tanpa sebab. Analisis kritis menunjukkan bahwa akar permasalahan berada pada sistem ekonomi yang mendominasi, yaitu Kapitalisme. Dalam kerangka ini, negara seolah-olah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menggaji guru secara layak. Ironisnya, hal ini terjadi di tengah kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Sayangnya, Sumber Daya Alam (SDA) justru banyak dikelola dengan prinsip Kapitalisme, di mana hasilnya lebih banyak dialirkan kepada pihak swasta/asing atas nama investasi.
Konsekuensinya, pemasukan negara hanya bergantung pada pajak dan utang sebuah mekanisme yang justru semakin memberatkan rakyat. Di tengah skema keuangan yang pincang ini, profesi guru PPPK menjadi korban langsung. Mereka secara jelas mengalami diskriminasi dan kedzaliman karena dipandang sekadar faktor produksi. Guru diperlakukan layaknya komoditas yang bisa dipekerjakan dan diupah seefisien mungkin (baca: semurah mungkin), tanpa pengakuan atas peran mulia mereka sebagai pendidik generasi. Penghargaan terhadap guru terdegradasi dari pahlawan moral menjadi pekerja kontrak yang rentan.
Untuk memutus mata rantai masalah sistemik ini, dibutuhkan sebuah Konstruksi sistem baru yang berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemuliaan profesi. Mekanisme keuangan negara harus diubah total, yaitu dikelola oleh Baitul Maal (lembaga keuangan publik dalam Islam). Dengan Baitul Maal, sumber pendapatan akan berasal dari tiga pos utama: kepemilikan negara (kekayaan alam), kepemilikan umum, dan zakat.
Perubahan mendasar ini akan memastikan bahwa pembiayaan pendidikan, khususnya gaji guru, diambil dari pos kepemilikan negara yakni hasil dari pengelolaan SDA yang berlimpah sehingga tidak lagi membebani rakyat melalui pajak atau utang. Lebih penting lagi, gaji guru akan ditentukan berdasarkan nilai jasa yang mereka berikan dan urgensi profesi mereka, bukan berdasarkan status ASN/PPPK yang diskriminatif. Semua guru harus diakui sebagai pegawai negara penuh yang berhak atas gaji layak, jenjang karier, dan pensiun yang terjamin. Terakhir, visi dari konstruksi ini adalah menyediakan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis bagi seluruh rakyat dengan kualitas terbaik, mengembalikan fungsi negara sebagai pelayan utama rakyat, bukan pengumpul pajak. Solusi ini menawarkan jalan keluar yang adil dan berkelanjutan untuk mengangkat martabat para pendidik.
Wallahu a'lam bishowab.
Posting Komentar