INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Oleh : Dewi Ummu Azkia
Berita Robohnya Pesantren Al Khoziny mewarnai berita Nasional beberapa pekan lalu. Proses evakuasi korban di Ponpes Al Khoziny resmi ditutup oleh tim SAR gabungan pada Selasa (7/10/2025) pukul 10.00 WIB. Selama sembilan hari operasi pencarian, tim berhasil mengevakuasi total 171 orang. Dari jumlah tersebut, 67 orang meninggal dunia—termasuk delapan potongan tubuh—sementara 104 orang lainnya selamat.
Para santri yang wafat di tempat menuntut ilmu, dalam kondisi bersuci sedang melaksanakan sholat, semoga Allaah tempatkan di tempat para syuhada, dan keluarga yang ditinggalkan Allaah beri kekuatan lahir bathin.
Pondok Pesantren Al Khoziny yang sedang dalam proses pembangunan lantai 4 itu tiba tiba roboh, tidak ada angin kencang, tidak ada gempa bumi, murni kesalahan konstruksi dengan istilah 'Gagal Teknologi' dan bukan karena bencana alam.
Tragedi ini sungguh menjadi bencana bagi banyak pihak; pengurus ponpes, semua santri, keluarga santri dan tentu juga masyarakat dan penguasa daerah serta penguasa nasional.
Paska bencana ini investigasi pun dilakukan, hal ini juga berimbas kepada pondok pesantren yang lain di seluruh Indonesia, yang ikut menjadi sorotan.
Dilansir dari berita di Metro TV, puluhan ribu pondok pesantren di Indonesia ini ternyata hanya sedikit sekali yang memiliki IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Total ada 42.000 pondok pesantren yang tersebar di Indonesia, namun hanya 50 pondok pesantren yang punya Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) maupun IMB.
Mengapa bangunan ponpes yang jumlahnya puluhan ribu itu tidak memiliki PBG dan IMB? Ternyata sudah menjadi rahasia umum bahwa pengurusan IMB ponpes itu ribet dan biayanya mahal, serta tidak memberikan manfaat yang memadai bagi ponpes yang memiliki IMB. Ibarat hanya secarik kertas yang tidak punya imbas apa-apa atas proses pembangunan sarana dan prasarana pesantren.
Sarana Pendidikan atau Bangunan tempat generasi muda mengenyam pendidikan yang rapuh sungguh menandakan abainya penguasa dalam periayahan pendidikan rakyatnya. Padahal pendidikan generasi muda adalah pilar penting dalam sebuah peradaban bangsa.
Seharusnya pemerintah mengalokasikan dana yang memadai untuk kepentingan pendidikan, dalam hal ini bangunan sekolah atau pesantren baik negeri ataupun swasta.
Karena sebuah bangunan tempat menuntut ilmu sangat menentukan kenyamanan para pelajar atau santri dan sangat menentukan pula kualitas pengajarannya.
Fakta bahwa pondok pesantren di negeri kita ini jumlahnya 42.000-an, sungguh ini adalah potensi yang luar biasa dalam pembentukan generasi berkualitas dengan karakter dan kepribadian Islam yang kuat.
Selama ini fakta yang terjadi bahwa bangunan pondok pesantren dibangun dengan dana wali santri dan donatur. Jika putra atau putrinya ingin mondok dengan kualitas dan fasilitas yang bagus, maka para wali santri harus mengeluarkan biaya uang gedung dan biaya bulanan yang sangat mahal. Jika ingin memondokkan di ponpes yang murah, konsekuensinya harus menerima fasilitas ala kadarnya.
Seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap pondok pesantren di negeri kita yang mayoritas muslim ini. Dari sisi pendanaan, sesungguhnya penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab individu (wali santri), masyarakat ataupun donatur.
HADIAH HARI SANTRI
Pada peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada tanggal 22 Oktober, Presiden RI Prabowo Subianto memerintahkan Kementerian Agama RI untuk membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren yang akan bertugas mengawasi seluruh pondok pesantren di Indonesia.
Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi'i menyampaikan bahwa perintah tersebut telah tertuang dalam surat nomor B-617/M/D-1/HK.03.00/10/2025 tanggal 21 Oktober 2025.
Perintah Presiden tersebut sebagai hadiah Hari Santri dan wujud perhatian pemerintah terhadap pondok pesantren di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak hingga 42.000.
Alasan Presiden Prabowo membentuk Ditjen Pesantren rupanya bermula dari peristiwa di Ponpes Al Khoziny.
"Dari peristiwa itu kita mendapatkan fakta bahwa nampaknya kita semua pemerintah perlu untuk memberikan perhatian yang lebih kepada pondok-pondok pesantren," beber Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Peristiwa yang terjadi belakangan seolah membuktikan masih ada bangunan ponpes yang tidak sesuai prosedur keamanan.
Demikianlah selama puluhan tahun bahkan sebagian sudah ratusan tahun pondok pesantren berjalan tanpa ada perhatian yang signifikan dari pemerintah.
Dan baru ada "perhatian" Setelah ada tragedi korban nyawa hingga 60-an lebih.
Namun apakah "hadiah" dari bapak presiden ini memberikan dampak positif terhadap pondok pesantren di negeri ini? terutama dari sisi biaya, yang memang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan seluruh warganegaranya.
Selama sistem pemerintahan negeri ini berparadigma kapitalis, seluruh kebijakan akan berlandaskan kapitalis. "Hadiah" ini hanyalah akan menjadi pengawas dan pengontrol bukan periayah.
Berbeda dengan sistem Islam kaffah, di mana pendidikan adalah salah satu pilar yang wajib menjadi periayahan negara.
Negara Islam dalam bingkai Khilafah akan membangun tempat-tempat pendidikan atau sekolah-sekolah yang berkualitas, baik dari sarana prasarana maupun kurikulum dan para pendidiknya. Bukan semata-mata untuk keuntungan akan tetapi sebagai kewajiban penguasa terhadap rakyatnya untuk melahirkan generasi yang cakap, mumpuni, beriman dan bertaqwa yang dipersiapkan sebagai penerus peradaban mulia.
Kita masih mempunyai kewajiban untuk terus mendakwahkan Islam kaffah ini supaya masyarakat tercerahkan dan akhirnya merindukan diterapkan di seluruh aspek kehidupan dengan tegaknya sistem khilafah.
Wallahu'alam bishowab

Posting Komentar