-->

Fenomena Job Hugging, Imbas Penerapan Ekonomi Kapitalis


Oleh : Ummu Ghazi

'Job Hugging' merupakan sebuah tren baru yang muncul dalam beberapa tahun terakhir di dunia kerja. Istilah ini mencerminkan keadaan di mana banyak pekerja memilih untuk tetap setia pada posisi yang mereka miliki saat ini.

Dulu, banyak orang yang sering berpindah kerja, atau yang dikenal dengan istilah job hopping, tetapi sekarang tren ini telah berubah menjadi job hugging. Sebelumnya, pekerja sering berpindah demi mencari kenaikan gaji atau pengalaman baru, namun kini kondisi itu telah berbalik.

Konsultan eksekutif, Korn Ferry, seperti yang dilaporkan oleh CNBC International pada Jumat (19/9/2025), menyatakan, "Banyak karyawan kini lebih memilih untuk tidak mengambil risiko dan tetap bertahan.” Fenomena loyalitas terhadap satu pekerjaan ini banyak dialami oleh generasi milenial dan Z, karena mereka merasa khawatir akan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru.

CNBC melaporkan bahwa tingkat pekerja yang meninggalkan pekerjaan hanya 2% dalam beberapa bulan terakhir, merupakan angka terendah sejak tahun 2016. Di sisi lain, survei dari ZipRecruiter menunjukkan bahwa 52% karyawan baru hanya berganti pekerjaan sekali dalam dua tahun terakhir, meningkat dari 43% pada tahun sebelumnya.

Meningkatnya fenomena job hugging ini disebabkan oleh kondisi pasar kerja yang tidak menentu. Pekerja merasa lebih aman untuk tetap di tempat kerja yang ada daripada mengambil risiko untuk berpindah kerja.

Pekerja Terjebak dalam Dilema

Meskipun tampak aman, job hugging memiliki dampak negatif. Karyawan yang bertahan terlalu lama berisiko kehilangan kesempatan untuk naik gaji. Selain itu, merasa terlalu nyaman dapat menyebabkan pekerja terjebak dan tidak berkembang. Pada akhirnya, mereka akan menjadi kurang bersaing ketika pasar tenaga kerja mulai aktif kembali. Yang lebih buruk lagi, jika dalam evaluasi kinerja mereka dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan, maka pemilik bisnis akan mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja.

Setelah ditelaah, tetap di satu pekerjaan mungkin terlihat baik. Namun, terus menerus melanjutkan situasi ini sebenarnya bukan pilihan yang bijaksana, jika tidak disertai dengan dorongan untuk berinovasi. Di sisi lain, motivasi untuk berinovasi tidak akan muncul jika seorang pekerja mengalami stres dan ketidakpuasan.

Jennifer Schielke, CEO dan salah satu pendiri Summit Group Solutions, menyatakan bahwa 'job hugging' menciptakan ilusi tentang loyalitas itu sendiri. Bukannya setia terhadap pekerjaan yang ada, bertahan di pekerjaan justru lebih tepat disebut sebagai bentuk stagnasi.

Ketakutan akan kegagalan saat mencoba hal-hal baru. Rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan pribadi. Ketergantungan pada kenyamanan posisi yang saat ini dipegang. Budaya organisasi yang tidak mendukung pergerakan atau inovasi. Ketidakpastian dalam ekonomi. Merupakan beberapa faktor yang membuat pekerja cenderung memilih job hugging.

Job Hugging Imbas Penerapan Ekonomi Kapitalis

Penurunan ekonomi sebenarnya sangat terkait dengan sistem kapitalisme yang digunakan sebagai standar untuk pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi kapitalis, produksi menjadi fokus utama yang harus selalu didorong. Namun, masalah muncul ketika, meskipun produksi meningkat, jika daya beli masyarakat menurun, maka hasil produksi tersebut akan menumpuk dan tidak terserap oleh konsumen.

Masyarakat mulai menyadari bahwa dalam beberapa waktu terakhir, daya beli mereka mengalami penurunan. Hal ini berdampak pada berkurangnya permintaan untuk barang dan jasa. Keadaan ini memaksa perusahaan untuk menurunkan tingkat produksi, mengurangi biaya operasional, dan dalam beberapa kasus, terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau mengurangi perekrutan karyawan baru agar tetap bertahan. Akibatnya, jumlah lapangan kerja berkurang, pengangguran bertambah, dan peluang kerja baru semakin sedikit.

Dari sudut pandang pengusaha, tujuan utama dalam berbisnis adalah untuk meraih keuntungan maksimal. Apabila terdapat kendala dalam arus kas perusahaan akibat pengaruh politik, lambatnya ekonomi, atau terhambatnya proses produksi, pengusaha dengan pola pikir kapitalis cenderung mengambil langkah paling cepat, yakni membatasi penambahan karyawan dan bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Keputusan ini dibuat dengan mempertimbangkan beban biaya yang ditanggung perusahaan, yang biasanya berhubungan dengan gaji karyawan. Di satu sisi, perusahaan bisa bertahan, tetapi di sisi lain, nasib karyawan menjadi terabaikan.

Jika situasi ini berlanjut tanpa ada evaluasi dari pemerintah, dampaknya akan dirasakan oleh para pekerja. Baik itu berupa pengurangan tenaga kerja maupun semakin sulitnya memperoleh pekerjaan baru. Pada akhirnya, memenuhi kebutuhan hidup masyarakat akan semakin menjadi tantangan.

Sistem kapitalisme yang mengusung prinsip liberalisasi dalam perdagangan, termasuk jasa, membuat negara tidak bertanggung jawab dalam memastikan warganya mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Walaupun ada usaha dengan menerapkan kurikulum yang lebih mudah disesuaikan dengan dunia kerja di lembaga pendidikan, baik di tingkat menengah maupun universitas, data dari BPS per Februari 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 1 juta lulusan sarjana merupakan bagian dari 7,28 juta pengangguran nasional, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi di kalangan lulusan universitas mencapai 6,23%.

Mekanisme Islam Menjamin Tersedianya Lapangan Pekerjaan

Dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 153, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menyatakan bahwa salah satu aspek vital dari tugas pengurusan adalah menyediakan pekerjaan bagi warga negara yang memiliki keterampilan, namun tidak mendapatkan kesempatan bekerja. Bahkan, tanggung jawab negara juga mencakup memberi nafkah kepada orang yang tidak mampu yang tidak memiliki kerabat yang mendukungnya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw. yang bersabda, “Siapa yang meninggalkan harta, itu adalah hak warisannya. Siapa yang meninggalkan individu yang lemah (yang tidak memiliki anak atau orang tua), itu adalah tanggung jawab kami.” (HR Bukhari dan Muslim).

Implementasi pengurusan negara dalam konteks hukum Islam adalah memastikan setiap pria dewasa mendapatkan pekerjaan, baik sebagai pegawai, pengusaha, petani, pedagang, atau lainnya. Jika ada yang menganggur, negara akan membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan melalui berbagai cara, seperti menyediakan pekerjaan, modal, atau pelatihan. Negara juga akan memberikan sanksi bagi pria dewasa yang malas untuk bekerja.

Untuk mendukung penciptaan lapangan kerja dalam jumlah besar, negara akan melakukan industrialisasi dan merekrut tenaga kerja yang terampil dan profesional. Selanjutnya, negara akan mengelola sumber daya alam seperti pertambangan agar menjadi milik bersama (bukan diserahkan pada pihak swasta atau asing) demi kesejahteraan rakyat. Di samping itu, sistem zakat dan keuangan negara yang adil akan mendistribusikan kekayaan secara merata, mengurangi kesenjangan, dan memastikan setiap individu mendapatkan pekerjaan yang layak.

Dengan semua peraturan yang berdasar pada syariat ini, negara Islam mampu menjamin tersedianya lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Wallahualam bissawab.