-->

Tinggal Bersama, Berujung pada Pembunuhan, Liberalisme Pergaulan yang Menghancurkan


Oleh : Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Alvi melakukan pembunuhan dan memotong tubuh Tiara di tempat indekos yang mereka tempati di Lidah Wetan, Lakarsantri, Surabaya. Tindakan kejam ini terjadi pada malam hari Minggu, 31 Agustus 2025. Tanpa rasa iba, pelaku membagi tubuh korban menjadi lebih dari 500 bagian.

Sebagian besar potongan tubuh korban dibuang ke semak-semak di lembah Arjuno-Welirang-Anjasmoro, dekat Jalan Pacet-Cangar di Pacet, Mojokerto. Kasus ini terungkap setelah seorang warga menemukan jejak potongan tubuh manusia pada Sabtu (8/9/2025) siang. Kejadian ini diikuti dengan penangkapan pelaku oleh tim penyidik di tempat indekos pada pagi hari Minggu (9/9/2025). Dikutip dari Kompas id 22/9/2025.

Tragedi ini bukan hanya sebuah cerita tentang kejahatan brutal, tetapi juga merupakan gambaran suram mengenai tren kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang semakin diterima oleh sebagian generasi muda.

Beragam peristiwa kohabitasi yang berujung pada mutilasi menunjukkan betapa rusaknya interaksi sosial di masyarakat yang bisa berakhir dengan tindakan pembunuhan. Saat ini, kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan pernikahan semakin umum di kalangan generasi muda. Pria dan wanita yang bukan mahram tinggal bersama tanpa menikah selama bertahun-tahun. Mereka sudah tidak lagi mematuhi norma sosial ataupun hukum agama (Islam). Pola hidup sekuler yang liberal mendorong mereka untuk mencari kesenangan bersama pasangan. Yang terpenting adalah kebahagiaan dan pemenuhan kebutuhan biologis. Mereka tidak lagi mempedulikan mana yang halal dan haram.

Untuk mendapatkan keperluan materi, seperti tempat tinggal, pakaian modis, gadget, dan berbagai gaya hidup lainnya, beberapa wanita bersedia mengorbankan kehormatan mereka dengan tinggal bersama pacar. Mereka memilih langkah ini karena jauh dari pemahaman agama yang benar. Meskipun mereka Muslim, memiliki nama yang islami, dan mengenakan hijab, itu tidak menjamin mereka memahami Islam dengan baik. Pemahaman sekuler membuat mereka tidak merasa takut akan dosa besar dan siksaan dari Allah Taala, sehingga mereka berani melakukan perzinaan.

Kondisi masyarakat yang cenderung mementingkan diri sendiri berkontribusi pada meningkatnya kasus zina. Dalam sistem kehidupan yang mengutamakan kapitalisme, individu terfokus pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena pemerintah tidak memperhatikan warganya. Sebagian besar orang sudah kehilangan daya untuk memperhatikan orang lain karena masalah hidup yang mereka hadapi sudah sangat berat.

Di sisi lain, masyarakat juga lebih mengarah kepada sekularisme yang liberal. Hubungan pacaran tampaknya sudah dianggap biasa dan menjadi urusan pribadi setiap individu. Jika ada yang berbuat salah, masyarakat beranggapan bahwa dosa adalah tanggung jawab individu masing-masing, sehingga muncul pandangan untuk tidak mencampuri urusan dosa orang lain. Akibatnya, tindakan menyuruh berbuat baik dan mencegah yang buruk tidak dilaksanakan. Kemaksiatan semakin mendapat tempat dan berkembang pesat karena tidak ada yang berani menasihati.

Peningkatan kohabitasi terjadi tidak hanya disebabkan oleh faktor pribadi dan lemahnya pengawasan masyarakat, tetapi juga oleh struktur negara yang menganut paham sekuler liberal. Hukum pidana tidak menghukum pelaku yang hidup bersama tanpa ikatan resmi, kecuali jika yang melaporkan adalah pihak yang paling terkena dampaknya, seperti orang tua, anak, istri, atau suami.

Aturan pemerintah lainnya justru mendukung perilaku zina. Sebagai contoh, pengaturan media yang sangat longgar mengakibatkan penyebaran pornografi secara luas. Gaya hidup tanpa ikatan resmi juga dipromosikan melalui film, drama, musik, dan sebagainya, tanpa ada upaya dari pemerintah untuk melarangnya. Promosi zina ini justru dilindungi oleh negara dengan alasan hak asasi manusia serta seni. Media juga menampilkan konten yang berisi kekerasan.

Dalam hal pencegahan, negara juga gagal dalam membentuk generasi yang beriman. Arahan dan kurikulum pendidikan semakin sekuler, yang berujung pada terciptanya generasi yang tidak religius. Meskipun ada pendidikan agama di sekolah, durasinya semakin singkat dan materi yang diajarkan semakin moderat, jauh dari ajaran Islam yang komprehensif sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. Akibatnya, pendidikan tidak mampu membangun benteng karakter bagi anak sebagai perlindungan dari pengaruh pemikiran sekuler yang merusak, termasuk penerimaan zina.

Sementara itu, dakwah Islam secara menyeluruh yang ditujukan untuk generasi muda dicap sebagai gerakan radikal dan dilarang. Para aktivisnya mengalami kriminalisasi dan anggota jemaahnya ditekan. Lalu, siapa yang akan melaksanakan amar makruf nahi mungkar untuk menentang kemaksiatan? Akibatnya, interaksi di kalangan generasi menjadi semakin liberal.

Ketika hukum syariat mengenai zina sudah dilanggar, pasangan yang terlibat dengan mudah melanggar hukum lainnya, termasuk melakukan pembunuhan. Ketika pembunuhan dan mutilasi sudah terjadi, masyarakat dan pemerintah baru akan bereaksi. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian akan mengendur dan tidak ada langkah konkret untuk menghentikan liberalisasi perilaku. Kasus yang sama akan terulang lagi, hanya berbeda waktu, tempat, dan pelakunya.

Islam menempatkan zina sebagai suatu yang terlarang, bahkan pelakunya akan memperoleh dosa yang besar. Allah Taala berfirman: “Janganlah kamu mendekati perzinaan. Sesungguhnya (perzinaan) itu adalah tindakan yang buruk dan jalan yang paling jelek.” (QS Al-Isra’ [17]: 32). Negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai raa’in (pemimpin) dan junnah (pelindung) bagi masyarakat.

Sebagai pemimpin dan pelindung, negara bertanggung jawab untuk mengurus serta melindungi warganya agar terhindar dari perbuatan dosa (termasuk zina). Langkah pencegahan yang diambil negara adalah membangun akidah yang kokoh di generasi muda melalui pendidikan berbasis Islam. Dengan cara ini, generasi akan terlindungi dari tindakan maksiat.

Khilafah juga akan menerapkan tata cara bergaul dalam Islam, yang mencakup kewajiban menutup aurat untuk pria dan wanita, larangan mendekati zina, larangan berduaan (khalwat) antara pria dan wanita yang bukan mahram, larangan campur baur (ikhtilat) antara pria dan wanita yang bukan mahram, serta larangan terhadap zina.

Kadi hisbah akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan syariat tersebut. Masyarakat juga akan didorong untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar agar tidak terjadi aktivitas kumpul kebo atau kohabitasi. Negara juga akan melarang adanya konten pornografi dan liberalisasi pergaulan yang ditampilkan melalui media massa dan media sosial. Polisi siber (syurthah) akan melakukan pengawasan terhadap media dan memblokir konten yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, termasuk pornografi dan pergaulan bebas.

Khilafah juga akan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi pelaku zina. Bagi pelaku zina yang masih lajang (ghairu muhshan) akan dikenakan hukuman dera sebanyak seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Sementara bagi pelaku zina yang sudah menikah (muhshan) akan dikenakan hukuman dera seratus kali dan rajam.

Dengan penerapan syariat secara menyeluruh, masyarakat akan terhindar dari perbuatan zina dan kohabitasi. Selanjutnya, hal ini juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya pembunuhan yang disebabkan oleh kohabitasi. Maka sistem Islam dapat mencegah dan mengatasi masalah mutilasi dari awal hingga akhir. Masyarakat akan dilindungi dari perbuatan maksiat zina.