-->

Fenomena Job Hugging di Kalangan Kaum Muda


Oleh : Anisa Salsabila, Aktivis Dakwah

Fenomena job hugging kini tengah ramai dibicarakan oleh kaum muda. Job hugging sendiri sebenarnya adalah kondisi pekerja bertahan lama di suatu pekerjaan meski merasa tidak puas atau tidak berkembang. Para pekerja bertahan dengan pekerjaannya agar tidak mencari pekerjaan baru atau keluar dari pekerjaan lama. Padahal mereka tidak suka lagi dengan pekerjaan itu, misalnya karena penghasilannya rendah dan dibayar murah oleh perusahaan. 
Sebenarnya pernah popular fenomena job hugging di tahun 2021-2022 di mana pekerja berpindah dengan harapan dapat kenaikan gaji. Tetapi fenomena ini hilang dikarenakan kaum muda saat ini lebih takut untuk melepaskan pekerjaan yang ada. Hal ini terjadi karena keadaan ekonomi dan ketidakpastian lapangan kerja yang baru. Fenomena job hugging viral karena pasar kerja lesu dan perekrutan karyawan yang lambat.

Terdapat beberapa tanda-tanda job hugging yang dapat teridentifikasi, di antaranya stress meningkat yang terjadi pada karyawan karena banyakan tekanan yang diberikan dari atasan, performa berubah dengan menojolkan keahlian yang dimiliki tanpa melihat tugas yang harus segera cepat diselesaikan, terlalu banyak mengambil tugas tambahan di luar tanggung jawabnya, bertahan di posisi yang tidak sesuai dikarenakan takut penghadapi pasar kerja. 

Fenomena job hugging di kalangan kaum muda tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan dipengaruhi oleh sejumlah kondisi sosial dan ekonomi yang saling terkait. Salah satu penyebab utama adalah ketidakpastian pasar kerja yang semakin terasa pasca-pandemi. Lesunya perekrutan dan terbatasnya kesempatan kerja membuat banyak anak muda enggan mengambil risiko meninggalkan pekerjaannya meskipun mereka merasa tidak puas. 

Keadaan ini diperparah dengan stagnasi upah dan menurunnya daya beli. Data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan upah buruh sektor manufaktur hanya sebesar 1,29 persen pada Agustus 2024, jauh menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini mendorong pekerja untuk bertahan semata-mata demi kepastian penghasilan bulanan, meskipun pekerjaan tersebut tidak lagi memberikan peluang berkembang.

Selain faktor ekonomi, aspek psikologis juga turut berperan. Banyak anak muda diliputi ketakutan akan kegagalan ketika mencoba pekerjaan baru, sehingga mereka lebih memilih bertahan pada zona aman meski penuh tekanan. Budaya “takut gagal” ini kerap diperkuat oleh lingkungan sosial maupun keluarga yang lebih menghargai stabilitas kerja daripada keberanian mengambil risiko. Tidak jarang pula, minimnya akses terhadap peningkatan kompetensi—seperti pelatihan, kursus, atau sertifikasi; membuat kaum muda merasa tidak cukup percaya diri untuk bersaing di pasar kerja. Akibatnya, mereka cenderung menahan diri di tempat kerja lama dengan alasan lebih aman.

Kondisi ini tampak jelas dalam sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Meski sektor ini menyumbang hampir 19 persen terhadap PDB nasional, kesejahteraan buruh yang menopangnya masih jauh dari memadai. Banyak pekerja di kawasan industri, misalnya di Bekasi atau Karawang, memilih bertahan pada posisi dengan upah sekitar Rp3 juta per bulan karena khawatir tidak mendapatkan pekerjaan baru dengan gaji yang lebih tinggi. 

Hal serupa juga terlihat di sektor startup digital yang sempat booming pada 2021–2022. Setelah gelombang PHK massal di beberapa perusahaan teknologi pada 2023–2024, banyak karyawan muda lebih memilih bertahan meskipun beban kerja meningkat drastis dan ruang pengembangan karier semakin sempit.
Solusi Islam

Islam menempatkan usaha manusia sebagai hal penting; hasil akhir berada di tangan Allah. Ayat yang sering dirujuk dalam dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang artinya “Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm 53:39). Ayat ini menegaskan prinsip bahwa usaha adalah penyebab utama perolehan manusia, bukan sekadar mengharap tanpa usaha. Tafsir terhadap ayat ini menekankan bahwa setiap orang hanya akan menuai buah dari usaha yang dilakukannya.

Demikian pula, hadits Nabi Muhammad SAW menekankan keseimbangan antara tawakkul (percaya kepada Allah) dan mengambil sebab/ikhtiar. Kisah terkenal: ketika seorang menanyakan apakah ia harus mengikat unta lalu bertawakkal, Rasulullah menjawab: “Ikatlah, kemudian bertawakkal kepada Allah.” (Sunan At-Tirmidhi). Pesan inti: bertawakkal tidak menggantikan usaha, kedua hal harus berjalan beriringan.

Jika seorang Muslim terdorong untuk melakukan job hugging hendaknya evaluasi niat dan tujuan dalam bekerja apakah memberikan manfaat atau karena ketakutan yang tidak rasional, tetapkan tawakkul yang benar dengan cara ikhtiar doa dan penyerahan kepada Allah SWT, tingkatkan kompetensi untuk investasi diri sendiri serta menjaga etika dan akhlak kerja.

Di sisi lain, ekonomi Islam menekankan tanggung jawab menciptakan ruang kerja yang sehat dan produktif tidak hanya dibebankan pada individu, tetapi juga pada negara, pasar, dan komunitas. Instrumen keadilan distributif seperti zakat, wakaf, dan dana sosial. Islam dirancang untuk meminimalkan ketimpangan dan memberikan peluang mobilitas bagi pekerja yang terjebak dalam job hugging. 

Prinsip ‘adl (keadilan) dan iḥsān (kebaikan) menuntut agar dunia kerja menjadi ruang tumbuh, bukan sekadar zona nyaman yang menjebak. Dengan fondasi ini, pembangunan human capital dalam Islam diarahkan bukan hanya untuk meningkatkan daya saing, tetapi juga menjaga martabat manusia dan mewujudkan kesejahteraan kolektif. []