-->

FENOMENA Fatherless, Ketika Ayah Hanya Nama Tanpa Makna


Oleh : Ummu Aqila

Fenomena fatherless—ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak—kian mengkhawatirkan. 
Jutaan anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran figur ayah yang utuh: ada secara biologis, tetapi absen secara psikis dan spiritual. 
Mereka tumbuh tanpa teladan, tanpa rasa aman, dan tanpa bimbingan kepemimpinan yang seharusnya hadir di rumah.

Media sosial kini dipenuhi kisah-kisah anak fatherless. Ada yang berjuang menata hidup tanpa kasih sayang ayah, 
ada pula yang menumpahkan keresahannya tentang sosok ayah yang terlalu sibuk bekerja. Kompas mencatat, dukungan kepada komunitas fatherless mengalir deras, 
namun di balik itu tersimpan persoalan mendasar: mengapa sosok ayah semakin “hilang” dari rumah?

BUAH PAHIT DARI SISTEM KAPITALISTIK-SEKULER

Kondisi fatherless tidak muncul dari ruang kosong. Ia adalah buah dari sistem kapitalisme-sekuler yang menempatkan materi sebagai tujuan hidup, 
sementara nilai spiritual dan tanggung jawab keluarga terpinggirkan. Dalam sistem ini, keberhasilan diukur dari penghasilan, bukan dari keberkahan rumah tangga.

Desakan ekonomi dan gaya hidup konsumtif membuat para ayah sibuk mengejar nafkah hingga kehilangan peran utamanya sebagai pemimpin dan pendidik keluarga. 
Waktu bersama anak dianggap “tidak produktif”, padahal di situlah pendidikan pertama dan terpenting berlangsung.  

Kapitalisme telah menjerat para ayah dalam rantai kerja tanpa akhir. Mereka kehilangan peran qawwam—yakni pemimpin dan pelindung keluarga—
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, 
dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa: 34)

Namun, sistem sekuler telah menggeser makna qawwam menjadi sekadar “pencari uang”. 
Padahal kepemimpinan ayah dalam Islam mencakup tanggung jawab moral, spiritual, dan emosional. 
Ketika peran ini hilang, anak tumbuh tanpa arah, tanpa panutan, dan tanpa rasa aman.

KRISIS QAWWAM DI TENGAH ARUS MATERIALISME

Krisis fatherless sejatinya adalah krisis kepemimpinan ayah. 
Banyak anak kini lebih mengenal konten kreator daripada mengenal suara ayahnya sendiri. 
Mereka belajar nilai hidup dari dunia maya, bukan dari hikmah dan teladan seorang ayah sebagaimana dicontohkan Lukman al-Hakim.

Allah mengabadikan nasihat Lukman dalam Al-Qur’an sebagai bukti pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak:

"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Lukman: 13)

Nasihat ini menunjukkan bahwa pendidikan tauhid dan akhlak bermula dari ayah yang berperan aktif dalam menanamkan iman. 
Namun hari ini, banyak ayah justru menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah atau ibu, tanpa terlibat langsung dalam pembentukan karakter anak.

Rasulullah ﷺ juga menegaskan tanggung jawab ini dalam sabdanya:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. 
Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini jelas menggugah: ayah bukan sekadar pencari nafkah, tapi juga penanggung jawab moral dan spiritual bagi keluarganya.

ISLAM MENAWARKAN SOLUSI PARIPURNA

Islam memiliki sistem kehidupan yang menempatkan keluarga sebagai pondasi utama peradaban. 
Dalam sistem ini, ayah dan ibu berperan saling melengkapi—ayah sebagai pemimpin dan pendidik, ibu sebagai pengasuh dan penjaga kasih sayang.

Negara dalam sistem Islam juga berfungsi menopang keluarga. 
Ia wajib menyediakan lapangan kerja yang layak dan upah yang cukup, agar para ayah tidak harus mengorbankan waktu berharga bersama anak. 
Dengan demikian, fungsi qawwam dapat berjalan optimal: ayah hadir secara ekonomi, emosional, dan spiritual.

Selain itu, Islam mengenal sistem perwalian (wilayah) yang menjamin setiap anak tetap memiliki figur pelindung. 
Tidak ada istilah “anak tanpa ayah” dalam masyarakat Islam. Bila ayah wafat, peran wali akan menggantikannya untuk menjaga hak dan pendidikan anak.

KEMBALI KE SISTEM ISLAM

Fenomena fatherless adalah alarm keras bagi bangsa ini. 
Ia menandakan rapuhnya pondasi keluarga akibat sistem sekuler yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. 
Kapitalisme menjadikan ayah korban dari tuntutan ekonomi, sementara anak menjadi korban dari ketidakhadirannya.

Solusi atas semua ini bukan sekadar penyuluhan atau pelatihan parenting, melainkan perubahan sistemik. 
Hanya dengan kembali kepada sistem Islam yang menyeluruh—yang menegakkan nilai tauhid dalam keluarga, ekonomi, dan negara—peran ayah dapat dipulihkan.  

Dari sistem Islam-lah akan lahir generasi yang kuat imannya, kokoh akhlaknya, dan seimbang perannya. 
Generasi yang tidak kehilangan figur ayah, karena hidupnya dipimpin oleh nilai-nilai yang bersumber dari wahyu, bukan dari logika kapitalisme. 
Wallahu ‘alam bishowab