-->

Fenomena Digital: Merasa Kesepian Di tengah Keramaian, Kok Bisa?

Fenomena Digital : Merasa Kesepian Ditengah Keramaian, Kok bisa? 

Oleh. Susi Ummu Musa

Media sosial bukanlah hal baru di era sekarang ini Global Digital Reports dari Data Reportal bahkan melaporkan ada 5,25 miliar orang yang aktif di media sosial.
Uniknya, perasaan terhubung ini tidak menghilangkan perasaan sepi.Linimasa yang dipenuhi video hiburan dan kisah personal masih membuat banyak pengguna merasa terasing dari dunia nyata.

Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka kemudian melakukan riset berjudul "Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual".

Penelitian ini berhasil lolos seleksi Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan memperoleh pendanaan dari Kemendiktisaintek.

Hal ini cukup menarik untuk  dibahas karena cukup mempengaruhi mental generasi dan masyarakat yang rata rata menggunakan gadget. 
Tak dapat dipungkiri penggunaan media sosial seiiring waktu memang menampakkan kemajuan pesat sekali, mereka juga memanfaatkannya bukan hanya untuk hiburan tapi mencari cuan, menghabiskan waktu berjam jam di depan ponsel  itu sudah menjadi hal biasa. 

Tak ayal hari haripun mereka berpacu didepan gadget bahkan untuk sekedar duduk bercengkrama membicarakan sesuatu   saja mereka tidak bisa lepas dari gadget sehingga hubungan terasa sangat jauh. 
Tak hanya itu dampak lain dari gadget seperti sikap asosial yaitu masyarakat sulit bergaul didunia nyata, merasa asing dan menarik diri. Padahal seharusnya mereka bisa menciptakan karya karya produktif lainnya. 

Menelisik fenomena merasa sepi ditengah hiruk pikuk dunia ini bagaimana pandangan para ahli, menurut Pakar psikologi sosial dari Baylor University Jamil Zaki mengatakan hubungan digital bisa menipu otak kita seolah-olah kita sedang berinteraksi secara sosial, padahal secara emosional masih kesepian. Bahkan, penggunaan media sosial, baik aktif (posting, komentar) maupun pasif (scrolling), justru memperburuk rasa kesepian. Dalam kondisi ini, generasi Z adalah kelompok yang paling terdampak sebab dunia digital mengalami perkembangan pesat pada era mereka.

Dunia digital memang menawarkan banyak fitur hiburan untuk atasi kesepian. Seperti fenomena ‘nongkrong digital’ yang sebenarnya justru bikin kosong hati. Ada pun tren baru seperti Digital Companionship. Diantaranya Replika, paraDot AI yang dianggap ‘teman ngobrol’ atau ‘pacar digital’, robot yang bisa mengirim emoji peluk, bahkan konten di TikTok atau film yang dapat mewakili kondisi pengguna namun semua itu tetap tak mampu mengisi kekosongan jiwa. Seramai apapun di medsos, di dunia nyata tetap menjadi orang yang kesepian.

Alhasil, rusaklah hubungan antara keluarga dan masyarakat. Lebih dari itu bahayanya bagi kualitas generasi. Muncul generasi alay, cengeng, tidak produktif, serba instan, cuek dan tak siap menghadapi masa depan.
Maka jelas dari yang sudah dipaparkan diatas bahwa semua adalah bagian dari industri kapitalisme. 

Kita harus sadar bahwa azas dari sistem ini adalah manfaat, jika kita tidak pandai dalam mengatur pola kehidupan diatas sekulerisme ini maka kita akan hancur bersamaan. 
Untuk itu harus dibarengi dengan sikap dan ilmu agama agar mampu menyeimbangkan jika tidak maka kita hanyalah korban dari produk kapitalis itu. 

Bayangkan saja jika kita sampai terperosok lebih dalam lagi menjadi pribadi yang tidak peduli karena merasa minder, malu atau kesepian padahal didepan mata begitu banyak kemaksiatan, apa yang akan terjadi pada negri ini? 

Jatuh, hancur karena banyak orang yang terdampak dengan istilah lonelinnes in the crowd alias kesepian di tengah keramaian. 

Peran negara sangat dibutuhkan dalam mengendalikan pemanfaatan digitalisasi untuk mendorong masyarakat terlebih generasi muda agar berkontribusi menyelesaikan problematika umat dengan memperjuangkan islam kaffah. 

Wallahu a lam bissawab