-->

Umat Butuh Revolusi Sistemik


Oleh : Siti Nurhalizah, M.Pd (Pendidik)

Menurut data resmi Kementerian Ketenagakerjaan, sejak Januari hingga Juni 2025 tercatat 42.385 orang pekerja terkena PHK naik 32 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu (32.064 orang) (detikFinance, 22 Juli 2025). Survei GoodStats menunjukkan sekitar 67,6 % publik menyaksikan atau mengalami pemutusan hubungan kerja dalam enam bulan terakhir (GoodStats, 13 Agustus 2025). Seakan muncul tren baru dimana ratusan ribu keluarga kehilangan penghasilan, pinjol menjadi pilihan, konsumsi masyarakat melemah, negarapun semakin brutal menetapkan kebijakan pajak atau "pemalakan" serupa lainnya terhadap rakyat.

Lesunya ekonomi secara makro semakin nyata jika dilihat dari Pertumbuhan kuartal I-2025 tercatat melambat ke 4,87 %, turun drastis dibandingkan 5,91 % tahun sebelumnya dan di bawah target pemerintah (BPS, 2025). Beberapa analis menyebut stagnasi konsumsi rumah tangga akibat PHK dan inflasi sebagai biang utama (Unnes/KIMEFE, Mei 2025). Padahal, konsumsi masyarakat setara lebih dari separuh produk domestik bruto. Artinya jika rakyat menyusut belanjanya, ekonomi pun mengerut.

Menyoal inflasi, meski Bank Indonesia berhasil mempertahankannya di kisaran sasaran 1,87 % (YoY) pada Juni 2025, angka ini tetap membebani. Harga pangan mendadak melonjak 0,77 % (mtm) karena gangguan pasokan; sementara administered price (tarif angkutan, listrik, bahan bakar LPG) naik 0,09 % (mtm) (BI, 1 Juli 2025). Kenaikan ini menambah beban masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, di tengah stagnasi pendapatan.

Di saat harga melambung dan pendapatan menyusut, masyarakat terpaksa “memakan” tabungan. Ini bukan sekadar retorika: pertumbuhan ekonomi yang terpaan inflasi/pajak (PPN naik ke 12 %) memaksa rumah tangga menahan belanja, bahkan meniadakan konsumsi non-primer. Inilah potret ekonomi masyarakat yang jauh dari standar sejahtera sebagai dampak dari penerapan ekonomi kapitalistik. Sistem ekonomi ini telah mengkerdilkan peran negara dalam mengelola kekayaan alam, sebaliknya pengelolaan diserahkan kepada para kapital yang visinya untuk memperkaya diri sendiri bukan negara apalagi masyarakat. Walhasil besarnya kekayaan alam Indonesia bahkan tidak mampu untuk sekedar mencukupi basic needs masyarakatnya.

Selain penderitaan ekonomi, ada perampasan potensi generasi melalui “mode” ideologi. Promosi deradikalisasi, Islam moderat, dialog antar-agama sering dijadikan pembenaran untuk melemahkan tradisi pemikiran Islam yang shahih. “Moderasi” yang digembar-gemborkan sering menjadi tameng neoliberal untuk menjustifikasi sistem sekuler kapitalis yang eksploitatif.

Kondisi ini menimbulkan sebuah paradoks: umat Islam secara formal merdeka serta memiliki kebebasan beragama dan merayakan identitasnya, namun mentalitasnya dikerdilkan. Proses pendidikan dan budaya populer turut terkolonisasi nilai kapitalis, sehingga lahir generasi yang menjauh dari kesadaran sistem Allah sebagai solusi menyeluruh. Pemikiran Islam yang autentik tergeser oleh wacana “toleransi” dan “harmoni” versi negara, yang lebih sering justru merangkul struktur kapital.

Akibatnya, kemiskinan struktural makin mengakar. Kapitalis, entah itu korporasi besar, investor asing, atau oligarki lokal pun menguat. Kesenjangan pun semakin berjarak. Kehidupan seperti hutan rimba, yang miskin semakin tidak memiliki daya melalui pelumpuhan ekonomi, sedangkan para kapital semakin jaya bahkan memiliki kuasa yang tak tertandingi. Ketika mereka melanggar moral, hukum dengan seketika dapat dibeli. Terbukti meski telah 80 tahun merdeka, produk hukum di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Hal ini semakin terungkap ketika seorang pejabat menyatakan bahwa salah satu strategi pemutusan perkara adalah melalui menghitung resiko politik, bukan atas dasar keadilan. Demikianlah fakta yang terpaksa kita telan di tahun ke-80 merdeka, masyarakat mesti memiliki perspektif baru tentang kemerdekaan agar terhindar dari bayang-bayang palsu.

Kemerdekaan hakiki adalah saat rakyat tidak lagi terkekang oleh utang, pajak brutal, harga pangan tak wajar, kelaparan dan kemiskinan tersistem, dan serangan ideologi asing. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan—dijamin oleh baitulmal serta kebijakan publik yang berorientasi rakyat.

Islam menawarkan alternatif sistem: pertama, negara bertanggung jawab atas pemilikan sumber daya publik. Rasul dan para Khalifah telah gamblang memberikan contoh regulasi canggih dalam perekonomian salah satunya melalui pengelolaan harta milik umum yang tepat. Harta milik umum ini mencakup sumber energi, pertambangan, SDA yang memiliki jumlah besar serta tidak diperuntukkan bagi individu tertentu. Negara sebagai pengelola, masyarakat mendapatkan bagiannya tanpa "membeli". Sekalipun ada biaya pengelolaan, maka tidak akan fantastis seperti harga beli karena orientasinya bukan jual beli, tapi amanah pengelolaan. Tak hanya ekonomi yang akan membaik, bahkan pendidikan bisa saja gratis jika harta milik umum yang dikelola dikembalikan untuk rakyat.

Bagi masyarakat yang kurang mampu, negara menyalurkan zakat/sedekah melalui baitulmal sesuai dengan ketentuan golongan yang berhak menerima. Negara wajib menyediakan layanan dasar, menciptakan lapangan kerja melalui industrialisasi, dan memberi akses tanah pertanian kepada mereka yang ingin bercocok tanam. Fakir miskin menjadi prioritas, bukan objek belas kasihan semu.

Industrialiasi dan fondasi pertanian membuka peluang lapangan kerja, mengurangi PHK massal, dan membangun kemandirian. Arah pikir umat selaras dengan syariat, membebaskan diri dari penjajahan mental akibat ideologi asing. Pemikiran Islam yang shahih menjadi filter terhadap ideologi asing yang masuk. Dalam sistem Islam, umat dibekali nilai dan sistem yang melindungi mereka dari penjajahan mental, kognisi dan nilai yang sesuai syariat menjadikan mereka bukan hanya “merdeka” secara fisik, tapi juga kritis dan berdaya saing.

Sejarah mencatat, Khilafah Islamiyyah pernah menorehkan prestasi ekonomi yang tak sekadar angka, tetapi menghadirkannya dalam kehidupan nyata rakyat. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab r.a. membentuk Diwan untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran Baitul Mal dari zakat, jizyah, kharaj, dan ghanimah. Dana ini segera disalurkan tanpa menunggu lama, sehingga hampir tidak ditemukan rakyat miskin yang layak menerima zakat di Madinah (Al-Baladzuri, Futuh al-Buldan). Pajak hanya ditetapkan bagi para aghnia (orang kaya) dan pajak tanah (kharaj) hanya dikenakan pada penduduk non-Muslim di wilayah taklukan sebagai simbol kepatuhan terhadap negara. Tidak ditetapkan kepada rakyat secara merata seperti hari ini.

Keberhasilan ini berlanjut pada masa Bani Umayyah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjalankan reformasi besar-besaran dengan mengembalikan tanah dan harta yang dirampas secara zalim kepada negara, sekaligus menutup celah korupsi. Efeknya luar biasa: kas Baitul Mal di Afrika Utara dilaporkan kesulitan menyalurkan zakat karena seluruh penduduk telah sejahtera, hingga dana tersebut dikembalikan ke pusat (Al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa). Stabilitas ini mengangkat kepercayaan rakyat dan memperkuat basis ekonomi negara.

Di era Abbasiyah, Baghdad menjelma menjadi kota terbesar di dunia abad ke-9 dengan populasi lebih dari satu juta jiwa, menjadi simpul perdagangan global yang menghubungkan Timur dan Barat. Catatan Angus Maddison menunjukkan bahwa pada tahun 1000 M, dunia Islam menyumbang sekitar 25% PDB dunia (The World Economy: A Millennial Perspective, OECD, 2001). Kemajuan teknologi pertanian seperti irigasi skala besar di Irak dan Mesir memungkinkan panen dua hingga tiga kali setahun, sehingga kapas, gula, dan gandum diekspor ke pasar Eropa dan Asia.

Puncak kestabilan harga dan perdagangan lintas benua terjadi pada masa Khilafah Utsmaniyah. Data ekonomi dari Şevket Pamuk menunjukkan harga gandum di Istanbul relatif stabil dari abad ke-15 hingga ke-17, tanpa lonjakan inflasi seperti yang melanda Eropa pada masa yang sama (A Monetary History of the Ottoman Empire, 2000). Jalur perdagangan Laut Tengah, Laut Merah, hingga Asia Barat berada di bawah kendali Khilafah, dengan tarif pajak rendah yang menarik pedagang dari Venesia, Genoa, hingga India. Sistem awqaf yang masif membiayai sekolah, rumah sakit, dapur umum, hingga jaringan air bersih, tanpa membebani anggaran negara maupun mengandalkan utang luar negeri.

Rangkaian sejarah ini membuktikan bahwa keberhasilan ekonomi Khilafah tidak dibangun di atas utang, riba, atau eksploitasi, melainkan pada distribusi kekayaan yang adil, perdagangan bebas hambatan, ketahanan pangan yang kokoh, serta jaminan sosial yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat. Inilah sistem yang mengubah kekuatan politik menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia.

Tak hanya stabilitas ekonomi, Khilafah Islamiyyah pernah menjadi mercusuar pendidikan dan moral dunia. Sejak masa Khulafaur Rasyidin, masjid menjadi pusat ilmu gratis bagi Muslim dan non-Muslim, sementara hisbah menjaga adab publik. Bani Umayyah membangun sekolah formal dengan kurikulum bahasa Arab, matematika, sejarah, dan hukum Islam, menjadikan bahasa Arab bahasa ilmu lintas wilayah. Pada era Abbasiyah, Bayt al-Hikmah di Baghdad melahirkan ilmuwan besar dan ratusan perpustakaan. Utsmaniyah mengembangkan jaringan madrasah dari dasar hingga perguruan tinggi yang dibiayai wakaf. Pendidikan dan moral berjalan seiring, bebas riba, inklusif, dan membentuk generasi berakhlak mulia yang membawa cahaya peradaban dari Andalusia hingga Nusantara. Maka revolusi sistemik inilah yang kita butuhkan saat ini. Kembali ke sistem Islam dengan tegaknya daulah Khilafah Islamiyah.